Sebetulnya Ramadan di Solo tak jauh bebeda dengan Ramadan di kota-kota lain: masjid-masjid ramai, banyak penjual takjil di pinggir jalan, toko sembako dan baju diserbu pembeli, jalanan sedikit lebih macet, kegairahan beragama tampak di mana-mana. Kuliner Ramadan? Saya kira juga sama. Penjaja takjil (dadakan) menjual makanan khas Ramadan, kolak misalnya. Mereka juga menjual sayur, lauk dan jajanan pasar. Suasana itu sama belaka dengan, setidaknya, tiga kota di mana saya pernah tinggal: Ponorogo, Ciputat, Yogya.
Tradisi yang dijalankan masyarakat sebelum bulan puasa juga relatif sama. Di Solo ada tradisi ziarah dan bersih-bersih makam serta kenduri untuk menyambut Ramadan yang disebut nyadran/sadranan. Ada pula tradisi padusan, yakni ritual mandi di sungai, sendang, telaga, atau pantai dengan niat membersihkan diri sebelum masuk bulan puasa. Selain itu juga terdapat tradisi megengan atau selamatan. Tradisi megengan hampir serupa dengan tradisi dugderan di Semarang dan dandhangan di Kudus.
Jika ada yang sangat khas Solo barangkali adalah tradisi membagikan Bubur Samin di Masjid Darussalam, Jayengan, Serengan, Solo. Bubur Samin sebetulnya adalah bubur khas Banjar, Kalimantan. Bubur dimasak dengan rempah khusus, dicampur daging dan sayuran (wortel, daun bawang) dan ditambah minyak samin. takmir masjid mengolah 45 kg beras untuk 1.050 porsi bubur. 850 porsi dibagikan untuk umum, 200 porsi lainnya untuk jamaah yang berbuka puasa di Masjid Darussalam. Masyarakat biasanya sudah mengantri bubur sejak habis ashar. Tradisi itu telah berlangsung bertahun-tahun.
Di pinggiran Solo, lebih tepatnya di Kartasura, tempat tinggal saya, puasa dijalankan dengan semangat toleransi. Banyak warung makan dan angkringan buka di siang hari. Untungnya tidak ada sweeping atau semacamnya, tindakan meresahkan yang mungkin mengingatkan kita pada warung Bu Saeni di bulan puasa tahun lalu. Di sini juga tidak terdengar perdebatan tentang siapa harus menghormati siapa selama bulan Ramadan.
Mereka yang tidak berpuasa bisa dengan tenang sarapan dan makan siang di warung-warung. Warung soto daging tetap ramai orang sarapan seperti hari biasa, warung tahu kupat juga disesaki pembeli di siang hari. Sejujurnya, warung makan buka di siang hari bulan Ramadan sangat membantu saya, karena ketika istri sedang tidak berpuasa saya tidak kesulitan mencari warung.
Suasana tenang ketika bulan Ramadan di Kartasura ini semoga juga dialami kota-kota lain. Mereka yang berpuasa tidak perlu ngotot minta dihormati dengan memaksa warung tutup. Saya teringat perkataan Gus Dur mengenai hal ini: kalau kita muslim terhormat, kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa.
Puasa dan Mahbub
Pun demikian, berpuasa di tanah kelahiran presiden Jokowi mau tak mau mengingatkan saya pada novel Dari Hari ke Hari (Mahbub Djunaidi). Potret bulan puasa di Solo pada masa revolusi diabadikan dengan baik dalam novel itu. Misalnya pada penggalan berikut ini:
Di mana-mana anak suka naik. Naik apa saja. apalagi naik menara masjid Solo yang langsing tinggi menuding langit, dengan tangga putarnya yang elok, dan lebih leluasa dinaiki di bulan puasa. Tarhim, menyerukan puji-pujian sehabis makan sahur menunggu subuh menjadi kegemaran anak-anak. Sebuah corong bekas gramofon tua tersedia untuk mengeraskan suara. Satu perebutan kecil oleh beberapa tangan sudah cukup menjatuhkan corong itu ke bawah, melayang-layang bagai parasut, kemudian terguling di tanah sambil mengeluarkan bunyi yang menggelikan. Apabila ini terjadi pegawai masjid memaki-maki, memerintahkan anak-anak turun pada detik itu juga.
Mahbub bercerita ‘keusilan’ anak-anak Kauman saat bulan puasa tiba. Betapa bulan puasa di Solo pada masa itu tetap mengasyikkan bagi anak-anak: meski lapar dan haus tapi tak lupa cara bersenang-senang. Mereka seolah tak terusik karut marut zaman (agresi militer Belanda). Simak gambaran lain puasa di Solo yang dilukiskan Mahbub:
Dunia anak-anak, apa mereka susahkan? Sedangkan kehidupan bulan puasa berjalan sebagaimana mestinya. Berayun-ayun di akar beringin yang terletak di belakang kantor pos, merupakan perintang puasa yang digemari. Kemudian tiarap di ubin serambi masjid yang sejuk, menekan perut yang telanjang di atasnya, supaya haus berkurang. Tapi haus dan lapar tidak pernah berkurang sampai saat berbuka tiba. Tiada pilihan lain.
Masjid agung jadi latar kisah yang dipilih Mahbub. Kiranya Mahbub ingin mengirim pesan kepada bahwa masjid bukan tempat ibadah an sich. Masjid adalah ruang perjumpaan. Penduduk dari beragam golongan dan kalangan bertemu di situ. Lebih-lebih jika yang digambarkan Mahbub adalah masjid agung Solo yang memang berdekatan dengan Pasar Klewer, alun-alun dan keraton. Masjid akan selalu ramai tak hanya di lima waktu salat.