Ali Mustafa Ya’qub merupakan salah satu tokoh hadis kontemporer di Indonesia. Dengan kepakarannya dalam bidang hadis menjadikannya dinobatkan sebagai Guru Besar Ilmu Hadis pada 3 Desember 1998 di Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Ali Mustafa dikenal sebagai tokoh yang melakukan kajian kritik sanad dan matan terhadap hadis untuk mengetahui apakah suatu hadis bisa diterima atau ditolak. Salah satu hadis yang ia kritik adalah hadis tentang shalat tarawih.
Tarawih, adalah shalat sunnah malam hari yang dilakukan khusus pada bulan Ramadhan. Pada zaman Nabi Muhammad Saw. tidak dikenal istilah shalat Tarawih. Hadis-hadis juga tidak menyebutkan istilah tarawih. Pada masa Nabi Muhammad Saw. shalat Sunnah khusus pada malam Ramadhan dikenal dengan qiyām ramadhān. Tampaknya, istilah tarawih muncul dari penuturan Aisyah istri Nabi Saw. dalam riwayat al-Baihāqi, Aisyah mengatakan: “Nabi Saw. shalat malam empat rakaat, kemudian yatarawwah (istirahat), dan kemudian shalat panjang sekali.”
Di Indonesia, ada dua versi pelaksanaan shalat tarawih. Pertama, dua puluh rakaat. Kedua, delapan rakaat. Menurut Ali Mustafa Ya’qub, berdasarkan kajiannya semua periwayatan dari Nabi Saw. yang dijadikan landasan jumlah rakaat, baik yang dua puluh maupun delapan didasarkan pada riwayat yang sangat lemah sekali, bahkan ada yang maudhu’.
Salah satu hadis lemah tentang shalat tarawih 20 rakaat adalah hadis riwayat al-Thabrani jalur Ibn Abbas yang mengatakan bahwa Nabi Saw shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan satu witir. Kelemahan hadis ini karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang beranama Abu Shaibah Ibrahim bin Uthman yang dinilai oleh para ulama sebagai seorang pendusta. Sehingga hukum hadis tersebut palsu minimal matruk (semi palsu). Sedangkan hadis lemah tentang shalat tarawih delapan rakaat adalah hadis riwayat al-Thabrani jalur Jabir bin Abdillah yang mengatakan bahwa “Rasulullah Saw. Shalat bersama kami di bulan Ramadhan 8 rakaat dan beliau melaksanakan witir, Dan ketika orang-orang telah berkumpul di masjid (hendak shalat bersama beliau), kami mengharapkan Rasulullah saw shalat bersama kami, namun beliau berkata:”sungguh aku khawatir atau aku tidak ingin hal ini menjadi suatu kewajiban bagi kalian”. Kelemahan hadis ini terdapat pada rawi Isa bin Jariyah karena ia adalah seorang pendusta.
Lebih lanjut, menurut Ali Mustafa hadis yang paling shahih untuk dijadikan dasar shalat Tarawih adalah riwayat Abu Hurairah di dalam Shahih al-Bukhari: “Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang menjalankan qiyām Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah Swt. maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni.” Berdasarkan hadis ini, Ali Mustafa menyimpulkan bahwa berapapun jumlah rakaat tarawih, baik 4 raka’at, 8 rakaat, 10 rakaat, 20 rakaat, 38 rakaat, atau bahkan 110 rakaat itu sah dan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Saw. Dengan catatan tetap ikhlas karena Allah Swt., khusyuk dan menjauhi segala yang mengurangi nilai atau bahkan membatalkan shalat tarawih itu sendiri. Namun Ali Mustafa menghimbau agar dalam melaksanakan shalat Tarawih tidak berdasarkan selera atau hawa nafsu dengan memilih pelaksanaan shalat Tarawih yang lebih cepat agar praktis. Karena beribadah itu menuruti perintah Allah melalui dalil-dalil agama bukan menuruti selera.
Adapun hadis shahih riwayat Aisyah Ra. yang dijadikan dasar oleh sementara orang shalat tarawih delapan rakaat menurut Ali Mustafa kurang tepat. Hadis tersebut terdapat di dalam Shahih al-Bukhari:
Bahwa Abi Salamah bin Abdurrahman menanyakan kepada Aisyah ra tentang Shalat Rasulullah saw. di bulan Ramadhan, Aisyah Ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan tanyakan tentang baik dan panjangnya shalat beliau, kemudian beliau shalat empat rakaat, maka jangan tanyakan tentang baik dan panjangnya shalat beliau, kemudian beliau shalat tiga rakaat, maka aku bertanya, wahai Rasulullah saw. engkau tidur sebelum melakukan witir?, Rasulullah Saw. menjawab: “mataku tidur, namun hatiku tidak”.
Menurut Ali Mustafa, hadis tersebut merupakan hadis tentang shalat witir, bukan hadis shalat Tarawih. Dan di dalam riwayat tersebut dengan tegas Aisyah ra. mengatakan bahwa Nabi Saw. tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan. Shalat yang dilakukan pada malam hari sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan, tentu bukan shalat Tarawih. Sebab shalat Tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadhan.
Para Ulama’ pun berpendapat bahwa hadis Aisyah ra. tersebut adalah hadis tentang shalat witir. Mereka pada umumnya menempatkan hadis Aisyah itu pada bab shalat witir atau shalat malam, bukan pada bab shalat Tarawih. Seperti dalam Ṣaḥīḥ Muslim, Sunan Abi Daūd, Sunan al-Nasāī dan al-Muwaṭa’. Ali Mustafa juga menganggap kurang tepat sementara orang yang menjadikan hadis Aisyah ra. tersebut sebagai dalil untuk shalat tarawih delapan rakaat dan witir tiga rakaat, karena menjadikan dalil satu paket shalat witir dipenggal menjadi dua, delapan rakaat untuk tarawih dan tiga rakaat untuk witir.
Sementara itu, Ali Mustafa mengatakan bahwa shalat tarawih yang berjumlah dua puluh rakaat itu bukan bid’ah sebagaimana anggapan sebagian orang, bahkan dalilnya jelas. Pertama, hadis shahih dimana Nabi Saw. tidak membatasi jumlah rakaat tarawih seperti yang tersebut di atas. Kedua, hadis mauquf, bahwa Sahabat Ubay bin Ka’ab diperintah oleh Umar bin Khaṭṭāb untuk menjadi imam Shalat Tarawih di masjid dua puluh rakaat. Sedangkan hadis mauquf itu statusnya sama dengan hadis marfu’ atau Hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw. apabila hal itu tidak berkaitan dengan masalah ijtihadiyyah, sedangkan shalat tarawih tidak termasuk masalah ijtihadiyyah. Ketiga, ijma’ atau kesepakatan para sahabat yang diikuti oleh Abu Hanifah, al-Syāfi’ī, dan Aḥmad bin Ḥanbal.
Demikianlah, salah satu kontribusi pemikiran Ali Mustafa Ya’qub yang mencoba menengahi perbedaan pendapat tentang shalat tarawih di Indonesia dengan riwayat yang shahih, bahkan karena fatwanya yang mengatakan berapapun shalat tarawih dilaksanakan tetap sah itu sehingga masjid Mujahidin yang letaknya di belakang kediaman Ali Mustafa setiap bulan Ramadhan dilaksanakan shalat tarawih berjumlah 10 rakaat. Wa Allahu A’lam bis Shawab.
Penulis adalah pegiat kajian hadis di el-Bukhari Institute