
Pemerintah Indonesia baru saja mencabut izin tambang nikel di Raja Ampat, salah satu kawasan ekosistem paling kaya di dunia. Keputusan ini menimbulkan perdebatan yang cukup sengit, mengingat potensi ekonomi yang terkandung dalam kegiatan pertambangan. Namun, lebih dari sekadar kontroversi politik atau ekonomi, keputusan ini membuka ruang untuk refleksi tentang bagaimana kita menilai kebijakan dalam lanskap yang lebih luas, yaitu kemaslahatan umat, keberlanjutan alam, dan keadilan sosial.
Dalam hal ini, fikih—sebagai sistem hukum Islam yang tidak hanya mengatur aspek ibadah, tetapi juga aspek sosial, politik, dan ekonomi—dapat memberikan perspektif yang penting untuk dipertimbangkan.
Pentingnya Pembaruan Pandangan dalam Fikih
Kaidah dalam fikih mengajarkan kita untuk tidak terpaku pada keputusan yang telah dibuat jika keadaan atau bukti yang ada berubah. Dalam kitab Jam’u al-Jawami’ terdapat sebuah kaidah yang menekankan pentingnya memperbarui pandangan hukum atau keputusan ketika situasi atau peristiwa yang sama terulang, tetapi muncul bukti baru yang relevan. Kaidah tersebut berbunyi:
مسألة إذا تكررت الواقعة وتجدد له ما يقتضي الرجوع ولم يكن ذاكرا للدليل الأول وجب تجديد النظر قطعا وكذا إن لم يتجدد لا إن كان ذاكرا
“Ketika suatu kejadian atau peristiwa terulang kembali, dan muncul argumen baru yang menuntut untuk meninjau ulang, namun argumen yang pertama tidak diingat, maka diperlukan pembaruan nalar atau cara pandang yang baru. Ini penting saat kebaruan itu muncul, bukan hanya ketika argumen lama disebut kembali.”
Secara sederhana, kaidah ini mengajarkan bahwa setiap keputusan atau fatwa yang pernah dikeluarkan, yang pada awalnya didasarkan pada argumen dan bukti yang ada pada saat itu, bisa saja perlu ditinjau kembali jika situasi atau ada bukti baru yang mengubah pandangan kita. Ini relevan dengan keputusan pemerintah mencabut izin tambang di Raja Ampat, karena faktor-faktor yang sebelumnya dianggap mendukung pertambangan, seperti potensi ekonomi dan lapangan kerja, kini harus dipertanyakan lagi mengingat kerusakan ekologis dan sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas tersebut.
Keputusan pemerintah, yang menutup kegiatan pertambangan di Raja Ampat, dapat dilihat sebagai suatu bentuk kebijakan yang mengedepankan prinsip maslahah (kemaslahatan). Dalam fikih, maslahah adalah konsep yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan umat manusia yang lebih besar, bukan sekadar keuntungan individu atau segelintir kelompok. Oleh karena itu, setiap keputusan politik atau ekonomi yang diambil haruslah mengutamakan kesejahteraan masyarakat luas, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Salah satu aspek penting dari maslahah adalah keberlanjutan (sustainability), yang tidak hanya mencakup kesejahteraan ekonomi, tetapi juga kelestarian lingkungan dan keadilan sosial. Keputusan untuk mencabut izin tambang di Raja Ampat sebenarnya adalah bagian dari upaya untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan terhadap alam. Ekosistem Raja Ampat, yang dikenal dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, menjadi salah satu kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Kerusakan yang ditimbulkan oleh pertambangan di kawasan ini berpotensi mengancam keberlanjutan ekosistem tersebut, yang pada gilirannya akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat setempat yang bergantung pada kelestarian lingkungan.
Keberlanjutan Alam dan Tanggung Jawab Sosial
Dalam perspektif fikih, keberlanjutan alam dan keadilan sosial adalah bagian dari tanggung jawab besar umat manusia sebagai khalifah di bumi. Kehancuran alam sebagai dampak dari eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan kelestariannya adalah bentuk ketidakadilan yang harus dicegah. Oleh karena itu, meskipun pertambangan dapat menghasilkan keuntungan, namun hanya jangka pendek, justru dampak negatifnya terhadap lingkungan dan masyarakat yang keberlanjutan, dan dapat merugikan generasi mendatang.
Keputusan pemerintah ini adalah langkah yang tidak hanya mencerminkan pengakuan terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi, tetapi juga sebagai upaya untuk melindungi hak-hak masyarakat yang terpinggirkan akibat eksploitasi alam. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah sejalan dengan prinsip adl (keadilan) dalam fikih, yang menuntut agar kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan sekelompok orang, tetapi juga memperhatikan hak-hak mereka yang terdampak, termasuk masyarakat adat dan warga lokal yang hidup di sekitar kawasan tambang.
Pembaruan Keputusan sebagai Tanggung Jawab Pemerintah
Keputusan untuk mencabut izin tambang ini bukanlah langkah yang mudah dan mungkin berisiko menimbulkan ketidakpuasan bagi beberapa pihak, terutama mereka yang bergantung pada industri pertambangan. Namun, dalam perspektif fikih, ini adalah bentuk tanggung jawab pemerintah untuk memperbarui kebijakan yang sudah ada dan mengambil langkah-langkah yang lebih bijak demi kemaslahatan umat dan kelestarian alam.
Alhasil, keputusan pemerintah untuk mencabut izin tambang nikel di Raja Ampat, meskipun kontroversial, adalah langkah yang sejalan dengan prinsip-prinsip fikih yang mengutamakan maslahah dan adl. Dalam hal ini, fikih mengajarkan kita bahwa keputusan yang diambil di masa lalu harus selalu ditinjau ulang apabila terdapat bukti baru yang menunjukkan kerugian atau dampak negatif. Keputusan ini mencerminkan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan keberlanjutan alam, serta menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengedepankan kepentingan umum, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial.
Dengan mencabut izin tambang di Raja Ampat, pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan dan sosial jangka panjang tidak dapat diterima. Ini adalah langkah yang seharusnya menjadi contoh bagi kebijakan-kebijakan lainnya yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
(AN)