Peristiwa penting yang tak bisa dinafikan pada bulan Ramadhan dan Kenabian Muhammad adalah turunnya wahyu pertama (nuzulul Qur’an) dimulai dengan Iqra Bismi rabbika (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu). Dari sinilah, Nabi Muhammad mengemban amanah sebagai Nabi/Rasul dan Islam sebagai agama.
Perintah Iqra bismirabbika memberi dua catatan penting. Pertama, konsep kenabian tak bisa dipisahkan dengan tradisi “membaca”. Mengapa awal kenabiannya dengan perintah membaca? Karena tak mudah mengembang misi umatnya jika Nabi SAW tak membaca dan memahami.
Kedua, napak tilas peradaban Islam diawali dengan membaca bukan perintah menulis, sebuah tradisi baru yang berbeda dengan kondisi sosial sebelum kedatangan Nabi SAW masyarakatnya, orang orang Arab, gemar menghafal .
Karena itu, sejarah turunnya al-Qur’an memberikan dimensi yang berbeda beda. Hal itu tampak pada respon umat Islam yang membaca, mendekati dan memahami posisi kehadiran al-Qur’an. Paling tidak dalam tiga kelompok
Pertama, mendekati dengan lisannya. Orang seperti mereka, hanya akan menjadikan al-Qur’an tak ubahya wirid atau bacaan dzikir. Ia akan sibuk bicara panjang pendeknya bacaan bahkan dengan suara nan merdu. Tak heran, mengapa suara suara di pojok masjid terdengar lantunan yang menamatkan berkali kali saat Ramadhan? Karena al-Qur’an hanya sebatas bacaan. Dampaknya apa? Tak lebih dari hanya ganjaran pahala saja.
Kedua, mendekati al-Qur’an dengan akal dan pikirannya. Al-Qur’an kitab yang berbahasa Arab tapi tak seperti bahasa Arab, ia kaya akan makna dan kedalaman sastranya, butuh dikaji, direnungi, didekati dengan pemahaman dan pendalaman. Semakin didekati, terasa memperliatkan kekuatan maknanya, ajarannya dan sisi kemanusiaannya
Dari memahami, mengkaji dan mendalami lahirlah agamawan, kiai, pakar tafsir hingga cendekiawan karena proses dialognya dengan al-Qur’an. Tak ayal Nabi SAW mendoakan Ibnu Abbas untuk diberi ketajaman dan pemahaman terhadap al-Qur’an (allhumma faqqihhu fi al-din, wa allimhu al ta’wil).
Tapi, orang yang hanya sekedar memahami dan mendekati al-Qur’an dengan akal pikirannya bukan jaminan pula menjadikan al-Qur’an baginya petunjuk, yang mengayomi, memumpuk cinta mengubur kebencian. Mengapa? Tak sedikit yang paham tentang cinta kasih, toleransi dan perdamaian dalam al-Qur’an, justru ia tak paham dan tak sadar darinya sumber kebencian dan provokasi.
Ketiga, mendekati al-Qur’an dengan sentuhan hati dan perasaannya. Itulah iman. Ia tak sekedar membaca teks al-Qur’an, memahami tafsiran ayatnya tapi al-Qur’an hadir dalam perilaku sehari harinya. Jika demikian, kita melanjutkan kembali peradaban Islam di mana awal diletakkan yaitu bismirabbika.
Alhasil jika kita bukan lagi hanya sekedar membaca, tahap memahami ditelusuri dan dijajaki sampai hati kita bicara tentang al-Qur’an yakinlah nafas Islam tetap akan tinggi selama umatnya demikian, jika tidak, rasa hina dan rendah itu akan di rasakan umat Islam. Karena buah dari membaca alimtu wa amiltu (saya tahu dan paham, maka saya pun mengamalkan), tegas Imam Ali.