Ahli tafsir kenamaan Indonesia, Quraish Shihab memberikan pandangannya terkait wasathiyah atau moderasi beragama. Menurutnya untuk bersikap moderat diperlukan kehati-hatian dan tidak mudah emosi dalam beragama.
Selain itu, Quraish Shihab juga memberikan tiga kunci agar mampu melaksanakan sikap moderat atau wasathiyah dengan baik. Pertama, memiliki pengetahuan. Baik pengetahuan agama, maupun pengetahuan tentang kondisi kebutuhan dan kondisi masyarakat yang ada.
“Bisa jadi hal baik yang ada di Indonesia, kurang cocok di negara lain,” tutur Quraish Shihab dalam acara Shihab & Shihab di masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan.
Penulis Tafsir Al Mishbah ini menguraikan lebih lanjut pentingnya pengetahuan agama dan pemahaman yang baik atas kondisi masyarakat. Ia mencontohkan bahwa pendapat ulama bisa berbeda sesuai dengan konteks masyarakat tempat hidupnya. Selama tidak berbeda dalam prinsip beragama Islam, segala perbedaan pendapat bisa tertampung dalam konsep moderasi atau wasathiyyah.
Baca juga: Quraish Shihab: Pilihlah Ustadz yang Tidak Memaki-maki!
Kedua, jangan emosi dalam menjalankan agama. Emosi beragama mesti diganti dengan cinta.
“Emosi dan semangat beragama yang berlebihan, bisa jadi penyebab melakukan hal yang dilarang agama.” ujar Quraish Shihab.
Ayah Najwa Shihab ini memberi contoh, termasuk emosi dan berlebihan saat menjalankan agama adalah tidak menyegerakan berbuka puasa karena ingin puasa lebih lama, atau menggunakan air terlalu banyak saat wudhu agar lebih afdhol, padahal itu boros memakai air.
“Agama ini sudah memberi banyak kemudahan. Terlalu banyak kemudahan beragama yang kita tolak karena sikap emosi berlebih dalam beragama,” lanjutnya.
Selain hal ini, sikap moderat ini juga mesti merambah dalam perilaku pada non-muslim, “Kepada non-muslim, kita tidak klaim di hadapan agama lain bahwa kita yang paling benar. Namun sebagai muslim, harus yakin seratus persen ke dalam diri bahwa Islam itu agama yang benar.”
Baca juga: Ini Tips Menahan Amarah dan Emosi dari Rasulullah SAW
Ketiga, bersikap selalu hati-hati. Mengapa kita perlu hati-hati? karena setan bisa saja menggoda kita. Misalnya dengan menggoda bahwa kita sudah moderat dan harus memaksakan pemahaman kita kepada orang lain.
“Setan itu berupaya menjadikan manusia rugi, atau setidaknya tidak mendapat untung dalam perbuatannya. Tidak ada satu kegiatan positif pun yang tidak digoda setan, baik itu dari segi ingin menambahkan atau mengurangi amalan yang sudah dilakukan,” tukasnya.
Dengan berhati-hati, seorang muslim bisa terhindar dari hal kurang sesuai dalam tindakan amal kebaikan. Manusia bisa saja salah, karena manusia adalah makhluk yang diberikan inisiatif untuk memakmurkan bumi, sedangkan manusia berbeda dengan malaikat yang tidak memiliki inisiatif.
“Manusia ini unik karena punya inisiatif, tidak seperti malaikat. Karena berinisiatif, manusia bisa salah. Oleh sebab itu harus hati-hati.” Namun dalam terjadinya kesalahan itu, Allah pun banyak mengampuni kesalahan dan dosa hamba-Nya. “Tidak perlu takut kembali kepada Allah, selama mau bersahabat dengan Dia.” pungkas penulis Tafsir Al-Misbah ini. (AN)
Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI