Dalam buku saya yang berjudul Ilmu at Tafsir: Ushuluhu wa Manahijuhu, saya mengenalkan salah satu metode tafsir Al-Quran yang termasuk dalam kelompok Manahij at Tafsiir an-Naqly, yaitu Manhaj al-Qira’at al Mufassirah, sebuah metode penafsiran Al-Quran yang bersandar kepada berbedaan qiraat sebagai acuan penafsiran.
Dan berikut ini, saya ingin memberi contoh beberapa manfaat perbedaan qiroat dalam penafsiran Al-Quran:
Pertama, mengumpulkan dua hukum yang berbeda dari dua qiraat. Contoh: Qs. Al-Baqarah: 222.
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”
Ayat ini dibaca oleh Imam Hamzah, al-Kisa’i, Kholaf dan Syu’bah dengan يطَّهَّرْنَ, dan yang lain membacanya يَطْهُرْنَ.
Bacaan يَطْهُرْنَ menunjukkan makna bahwa wanita haid boleh didekati jika sudah berhenti haidnya, yang merupakan asal kesucian. Sedangkan bacaan يطَّهَّرْنَ menunjukkan makna bahwa wanita haid baru boleh didekati setelah mereka mandi. Penggabungan dua qiroat ini menghasilkan hukum bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan mandi.
Kedua, menunjukkan dua hukum yang berbeda tapi dalam keadaan yang berbeda. Contoh: Qs. Al Maidah: 6.
فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”
Ayat ini dibaca oleh Imam Nafi’, Ibnu Amir, al-Kisai, Ya’qub dan Hafsh dengan manashabkan lam dalam kata وَأَرْجُلَكُمْ (wa arjulakum), sedangkan yang lain membacanya dengan mengasrah lam وَأَرْجُلِكُمْ (wa arjulikum) dengan mengathafkan kata tersebut pada برؤوسِكُم (Biruusikum).
Pembacaan nashab menuntut pembasuhan kaki ketika berwudhu’ dan ini berlaku bagi yang tidak memakai sepatu khuff, dan pembacaan jar (kasrah) mencukupkan mengusap kaki dan ini berlaku bagi yang memakai sepatu khuff.
Ketiga, menegaskan aqidah yang benar. Contoh: Qs. Al Insan: 20.
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
“Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.”
Jumhur Qurra’ membaca مُلْكًا (mulkan) dengan mendhommahkan mim dan mensukunkan lam, bermakna kerajaan,
tapi ada qiroat syadzah yang membacanya مَلِكًا (malikan) dengan memfathah mim dan mengkasrah lam, bermakna Raja/Allah.
Bacaan kedua ini menegaskan bahwa ahli surga nanti bisa melihat Allah, dan membantah pendapat kaum muktazilah yang mengingkarinya.
Keempat, memperkaya makna yang terambil dari ayat. Contoh: Qs. Al-Baqarah: 37.
فَتَلَقَّىٰٓ ءَادَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٍ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya.”
Imam Ibnu Katsir membaca ayat di atas dengan menashabkan kata َءادم (Adama) dan merafa’kan kata كلمتٌ (Kalimatun), yang lain membacanya sebagaimana yang tertulis di atas.
Bacaan pertama menunjukkan bahwa Nabi Adamlah yang antusias untuk bertaubat kepada Allah, sedangkan bacaan Ibnu Katsir menunjukkan bahwa Allah sangat menyayangi Nabi Adam sehingga mengilhami Adam kalimat-kalimat untuk bertaubat.
Kelima, menjelaskan kesahihan salah satu bahasa Arab. Contoh: Qs. An Nisa: 1.
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ
“Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.”
Imam Hamzah membaca kata والأرحامِ 9 (wal arhami) dengan mengkasrahkan mim. Bacaan ini menunjukkan kebolehan dalam bahasa Arab untuk mengathafkan isim dhohir pada dhomir.
Dan masih ada contoh-contoh yang lain.
Wallahu A’lam.
Jombang, 5 Oktober 2018