Puritanisme Tidak Selalu Berujung Pada Radikalisme

Puritanisme Tidak Selalu Berujung Pada Radikalisme

Puritanisme Tidak Selalu Berujung Pada Radikalisme

Nyatanya di negeri ini, populisme Islam bisa berjalan seragam dengan budaya pop. Hal ini bisa terlihat misalnya pada para perempuan muda berjilbab yang tetap menggilai K-Pop, atau seorang lelaki berjidat hitam, berjenggot panjang dan bercelana diatas mata kaki yang membawa anak dan istrinya makan di restoran cepat saji Amerika. Istrinya bercadar. Menarik sekali melihatnya makan dengan memasukkan makanan melalui sela-sela hijabnya.

Bahwa seorang lelaki jidatnya hitam, jenggotnya panjang dan celananya diatas mata kaki jelas menunjukkan bahwa ia sedang ingin menonjolkan ciri fisik kesalehan pribadinya. Demikian pula dengan perempuan berjilbab, berhijab, apalagi bercadar. Sebagian orang mengidentikkan mereka sebagai kelompok Islam Puritan, yakni sekelompok umat Islam yang mengidealkan keislaman generasi Nabi Muhammad dan tiga generasi sesudahnya untuk diterapkan di masa sekarang ini. Meng-copypaste penampilan fisik merupakan jalan termudah dan paling tertampakkan untuk menuju pada cita-cita mulia melaksanakan sunnah tersebut.

Para peneliti sering mengambil kesimpulan bahwa semangat puritanisme berbanding lurus dengan radikalisme dalam beragama. Orang yang mengidealkan masa lalu untuk diterapkan di masa sekarang tentunya menganggap bahwa apa yang telah terjadi di masa sekarang ini merupakan sebuah kecelakaan sejarah sehingga perlu ada upaya untuk melakukan proses purifikasi.

Pemurnian dari hal-hal yang menurut mereka menyimpang dari ajaran Islam sesungguhnya. Bagaimana proses pemurnian bisa berjalan? Tentunya dengan jalan yang radikal. Merubah langsung ke akarnya. Penampilan fisik perlu dirubah, dan hal-hal yang bersifat keduniawian pun mestinya perlu dihindarkan.

Tapi kenyataan di lapangan tak selalu berkesesuaian dengan apa yang dituliskan oleh para pakar dalam laporan ilmiah. Di negeri ini seringkali kita saksikan antara kesalehan pribadi yang nampak pada penampilan fisik bisa bersandingan dengan hal-hal duniawi yang kekinian atau pop culture.

Seperti yang baru saja terjadi pada perayaan tahun baru Islam di Bundaran HI, Jakarta. Ada shalat berjamaah di dalamnya, ada pengajian oleh ustadz-ustadz yang fasih berbahasa Arab, dan ada pula band Potret yang menyanyikan lagu “I Just Wanna Say I Love You”. Tentunya sulit untuk mengatakan bahwa lagu tersebut adalah lagu religi.

Oleh mereka yang bisa melakukan perpaduan tersebut, saya diberi penjelasan bahwa ada perbedaan antara hal-hal yang bersifat duniawi dan akhirat. Duniawi bersifat fana dan hanya senda gurau belaka, sedangkan akhirat ditunjang perlu ditunjang dengan ibadah yang benar-benar murni dan sesuai dengan ajaran awal. Mereka sebuah ibadah bagi mereka adalah sebentuk bid’ah yang perlu diberantas. Hal-hal yang bersifat duniawi tak mengenal bid’ah, maka kita bisa melakukan hampir apa saja asalkan tidak melupakan akhirat kita.

Meski demikian pola kepaduan tersebut tidak saya lihat sedemikian acaknya. Ada semacam garis penegas tertentu yang meski tak ternyatakan namun bisa terasakan. Maksudnya, kehadiran band potret di acara tahun baru Islam bukan berarti membuka kemungkinan semisal Isyana atau Raisa untuk tampil di acara tersebut. Tetap ada pembeda dan pemisah. Pembeda tersebut bernama “hijrah”. Teh Mely, vokalis Potret sudah hijrah, sementara Isyana dan Raisa belum. Entah apa pula makna hijrah itu sendiri.

Secara ekonomis, tentu perpaduan antara kesalehan pribadi dalam penampilan fisik dan pop culture ini jelas menguntungkan. Entah berapa banyak brand hijab yang mengeruk keuntungan dengan adanya fenomena ini. Demikian pula dengan komoditas lain yang mengembel-embeli produknya dengan label “halal”.

Melihat fenomena ini sebenarnya saya agak kecele. Tadinya saya sangka semangat puritnisme dan populisme Islam di negeri ini akan berbanding lurus dengan kemandirian kita sebagai muslim di Indonesia dalam segala hal. Entah ekonomi dan lain sebagainya. Nyatanya baru sekadar dalam kemasan dan penampilan saja. Tapi tak apalah. Kaidah menyatakan maa laa yudraku kulluh laa yutraku kulluh. Apa yang tak bisa kita dapatkan kesemuanya, setidaknya jangan tinggalkan seluruhnya. Semoga perubahan yang berawal dari penampilan fisik ini akan mengarah pada perubahan yang sifatnya lebih dekonstruktif dalam membangun peradaban muslim Indonesia ke depannya.