Salah satu syarat sah melakukan shalat Jumat adalah tinggal di tempat asalnya (mustauthin). Syarat seperti ini menjadi perdebatan di tengah ulama terkait masalah-masalah yang timbul akibat syarat ini. Salah satunya adalah terkait bagaimana jika seseorang memiliki dua rumah di daerah yang berbeda. Di manakah dia memiliki kewajiban untuk shalat Jumat?
Misalnya, Adi memiliki rumah di Jakarta dan di Jawa Timur. Karena ia adalah seorang pengusaha yang memiliki mobilitas tinggi, bisa jadi dalam seminggu ia melakukan perjalanan dan tinggal ke Jawa Timur atau di Jakarta.
Lalu, yang jadi masalah adalah saat tinggal di mana Adi diwajibkan melakukan shalat Jumat dan saat berada di mana Adi boleh untuk menggantinya dengan shalat Dhuhur dengan status sebagai seorang mufassir.
Menyikapi hal ini, Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Muin menjelaskan bahwa orang yang memiliki rumah di daerah yang berbeda, maka ia diwajibkan melakukan shalat Jumat saat berada di rumah yang lebih sering ia tinggali.
من له مسكنان ببلدين فالعبرة بما كثرت فيه إقامته فيما فيه أهله وماله
“Orang yang memiliki dua rumah di daerah yang berbeda. Maka yang dihitung (sebagai kewajiban untuk melakukan shalat Jumat) adalah rumah yang sering ia tinggali, bersama keluarga dan harta, tempat bekerja.”
Dalam penjelasan di atas, maka orang yang rumahnya hanya ditempati ketika liburan saja, maka ia terhitung musafir di rumah itu. Lalu bagaimana jika di satu rumah ia tinggal dengan keluarganya, sedangkan di rumah lain ia hanya tempati untuk bekerja saja?
Hal ini juga dijelaskan oleh al-Malibari dalam pernyataannya,
وإن كان بواحد اهل وبآخر مال فبما فيه أهله، فإن استويا في الكل فبالمحل الذي هو فيه حالة إقامة الجمعة
“Jika satu rumah ditempati keluarga, dan rumah lain untuk menyimpan harta, maka yang dianggap adalah tempat yang ditinggali keluarga. Namun jika kedua rumah itu memiliki fungsi yang sama, maka ia diwajibkan shalat di manapun ia tinggal.” (AN)
Wallahu a’lam.