Punya Banyak Hutang, Masih Wajibkah Berzakat?

Punya Banyak Hutang, Masih Wajibkah Berzakat?

Bagaimana jika kita terlilit hutang dalam jumlah besar? Masih wajibkah kita berzakat?

Punya Banyak Hutang, Masih Wajibkah Berzakat?

Mengeluarkan zakat, tujuannya untuk menyucikan harta dan jiwa selepas berpuasa sekaligus membatu para fakir miskin. Serta menjadi kewajiban bagi seluruh muslim. Ada banyak ayat Al-Quran yang menunjukkan kewajiban membayar zakat. Salah satunya sebagaimana termaktub dalam Al-Baqarah ayat 43:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.

Oleh karena itu, zakat dijadikan sebagai salah satu rukun Islam yang berarti wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam, baik laki-laki, perempuan, dewasa maupun anak-anak, bahkan balita.

Lalu bagaimana jika kita terlilit hutang dalam jumlah besar?

Dengan merujuk pada ayat tersebut, para ulama sepakat bahwa orang yang terlilit hutang tidak wajib membayar zakat fitrah, sebab mereka termasuk “gharim”.

Secara umum, gharim terbagi menjadi dua kategori. Pertama, orang yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan ia tidak mampu membayarnya dengan cara apapun, baik menjual barang yang dimiliki ataupun dengan cicilan.

Kategori ini statusnya sama dengan fakir-miskin. Maka mereka berhak menerima zakat. Mujahid mengatakan, orang yang termasuk gharim adalah orang yang hartanya terbakar dan orang yang tidak memiliki harta lantas berhutang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Kedua, orang yang berhutang untuk kemaslahatan umum seperti sekolah non-profit, yayasan yatim piatu, pesantren, dan sebagainya. Al-Mawardi berpendapat bahwa kategori ini diperbolehkan menerima zakat, meskipun dia kaya.

Orang yang membantu jalannya rekonsiliasi paska konflik dengan berhutang juga termasuk dalam kategori ini, sebagaimana disampaikan Imam Nawawi.

Adapun jika hutang tersebut digunakan untuk bermaksiat, setidaknya ada tiga pendapat ulama mengenai hal ini, sebagaimana disampaikan Al-Mawardi. Pertama, tidak berhak mendapat zakat, sebab ditakutkan justru ia gunakan untuk kembali bermaksiat.

Kedua, tetap berhak, karena hutang harus ditunaikan. Dan perbuatan maksiat harus diputuskan secara hukum. Ketika, jika ia memang telah bertaubat dari maksiat tersebut dan berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi, maka diperkenankan menerima zakat. Jika tidak, maka haram.

Di antara hikmah diperbolehkannya orang yang terlilit hutang untuk menerima zakat adalah, agar masyarakat tidak berpaling dari kebaikan sosial, agar saling bahu-membahu dalam membantu. Sebab setiap orang pasti pernah terjebak kesulitan ekonomi dalam hidupnya. Paling tidak, zakat dapat meringankan bebannya.

Wallahu a’lam.