Puisi dalam Pidato Prabowo Salah Kutip atau Ada Versi Lain?

Puisi dalam Pidato Prabowo Salah Kutip atau Ada Versi Lain?

Pidato Prabowo memakai puisi dan ia salah kutip berikut tafsirannya

Puisi dalam Pidato Prabowo Salah Kutip atau Ada Versi Lain?
Pidato Prabowo di JCC tanggal (14/1). Pict by Galih Pradipta/AntaraFoto

“Kita tidak sendirian, beribu-ribu orang bergantung pada kita, rakyat yang tak pernah kita kenal rakyat yang mungkin tak akan pernah kita kenal tapi apa yang akan kita lakukan sekarang akan menentukan apa yang akan terjadi kepada mereka.”

Kutipan di atas adalah puisi yang dibacakan oleh Prabowo Subianto saat pidato kebangsaan di JCC, Senin malam (14/1). Puisi tersebut, menurut Capres nomor urut 02, adalah sajak dari prajurit yang gugur pada 1946 saat terlibat pertempuran di Banten.

Siapakah prajurit yang dimaksud? Prabowo tak menjelaskannya secara rinci.

Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, besar kemungkinan peristiwa yang dirujuk Pak Prabowo adalah peristiwa Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada 25 Januari 1946. Saat itu, ada serombongan kadet Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang dipimpin oleh Mayor Daat Mogot.

Ada yang salah dalam puisi Prabowo

Dikutip dari buku ‘Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong’ yang ditulis oleh R. H. A Saleh tahun 1995, TRI akan melucuti senjata dari pasukan Jepang yang dipimpin oleh Komandan Abe. Namun, dalam peristiwa tersebut, terjadi miskomunikasi. Akhirnya, meletuslah pertempuran yang tak seimbang.

Selain Mayor Daat Mogot sendiri, banyak juga pasukan lainnya yang gugur dalam peristiwa tersebut. Salah satunya adalah Letnan Satu Soebianto Djojohadikusumo yang tak lain adalah paman dari Prabowo Soebianto sendiri.

Uniknya, di saku Lettu Soebianto itulah ditemukan secarik kertas yang berisi sebuah sajak. Sajak inilah yang kemudian diabadikan pada batu nisannya.

Namun, kutipan sajak di batu nisan Lettu Soebianto tersebut, berbeda dengan kutipan sajak dari keponakannya di atas. Sajak itu tertulis demikian:

Kami bukan pembangun candi
Kami hanya pengangkut batu
Kamilah angkatan yang mesti musnah
Agar menjelma angkatan baru
Di atas pusara kami lebih sempurna.

Menurut sejarawan Daradjadi, puisi tersebut adalah penggalan sajak dari sastrawan berkebangsaan Belanda, Henriette Roland Holst (1869-1952).

Wij zijn de Bouwers van de Tempel niet
wij zijn enkel de Sjouwers van de Stenen
wij zijn het Geslacht dat moest vergaan
omdat een betere oprize onze Graven

Pada masa revolusi, sajak-sajak Henriette Roland Holst memang menjadi favorit para pejuang. Kata-katanya yang heroik kerap menjadi penyemangat mereka. Tak hanya Soebianto yang menjadikannya sebagai jimat. Tokoh Komunis yang diasingkan di Boven Digul, Ali Archam (w. 1933), juga demikian. Di batu nisannya, ada potongan sajak HR Holst yang lain.

Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami yang neneruskan
Kerja agung jauh hidupmu
Kami tancapkan kata mulia
Hidup penuh harapan
Suluh dinyalakan dalam malammu
Kami yang meneruskan sebagai pelanjut angkatan

Jadi, kutipan Prabawo di atas dari mana asalnya? Apakah lagi-lagi ia salah kutip atau punya versi lain? Hanya BPN yang tahu.