Puasa yang Kerdil

Puasa yang Kerdil

Puasa justru membuat kita kerdil. Tulisan lama (Alm) AE Priyono layak kita baca lagi

Puasa yang Kerdil

Berhati-hatilah dengan dirimu. Puasa justru bisa menyebabkan batinmu menjadi kerdil. Rasa marah yang timbul dari kelaparanmu adalah kekonyolan, adalah kezaliman, sebab tak ada hakmu untuk membuat orang lain ikut lapar karena puasamu. Begitu kau membiarkan amarah itu terbersit, maka sia-sialah puasamu, gugur pula niatmu.

Ini jenis kejahilan umum orang-orang yang berpuasa. Merasakan rasa lapar tapi membuat imanmu blingsatan, sungguh kekanak-kanakan. Karena sebaik-baik puasa adalah tidak memamerkan kesengsaraanmu, sedangkan seburuk-buruk puasa adalah yang membuatmu menjadi merasa mendadak-suci.

Mereka yang berpuasa tapi ribut dengan rasa laparnya; dan menganggap kelaparannya harus dikasihani dan dihormati, sesungguhnya mereka ini masih berpuasa pada tingkat raga. Nabi memandang rendah orang-orang yang berpuasa di level ini dan setengah mencerca bahwa mereka hanya akan mendapatkan haus dan laparnya saja. Mereka ini tak lebih tinggi dari kelompok lain yang juga marah-marah terhadap ucapan untuk menghormati orang yang tidak berpuasa. Daripada mengapresiasi anjuran itu, mereka menyebarkan meme untuk lebih memilih menghormati kucing, kambing, dan anjing.

Kekerdilan lain orang-orang yang berpuasa adalah yang melarikan rasa laparnya ke dalam keasyikan pelenaan ragawi, agar kelaparan memperoleh kompensasi atau agar kehausan bisa disubstitusi. Bentuk pelenaan tertinggi adalah tidur yang tak peduli. Mereka melakukan “uncivil-sleeping” ini dengan landasan sebuah hadits yang mengatakan bahwa tidur itu ibadah bagi mereka yang berpuasa — padahal hadits itu mengandung sindiran untuk meledek.

Jenis lain kekerdilan yang lebih norak adalah yang berpuasa tapi sepanjang hari terus menumpuk makanan untuk dilantak-habis pada saatnya, ketika azan Magrib tiba. Inilah kekerdilan yang memalukan — sejenis kemusyrikan yang ontohot, yang meletakkan perut pada posisi disembah dan disujudi. Mereka ini sesungguhnya tak pantas berpuasa, dan kalau berpuasa terus merintih dan menyebar-luaskan rintihannya melalui twitter — seperti kelakuan Sang Mantan.

Saya tak pernah bisa solider pada perilaku-perilaku ekstrovert dalam berpuasa seperti contoh-contoh di atas. Tapi persis perilaku-perilaku itulah yang selalu “menciptakan” suasana puasa menjadi keramaian komunal. Merekalah yang berteriak-teriak melalui seribu pengeras suara sejak jam 2 dinihari, agar seluruh kota bangun untuk sahur — termasuk para bayi dan orang-orang sakit.

Dalam suasana komunalistik seperti itulah kita bisa melihat alasan mengapa kita tak lagi mendengar orang mengutip hadits yang mengatakan bahwa puasa kita adalah rahasia kita, bahwa Tuhan juga akan membuat puasa kita sebagai rahasia-Nya. Hadits mengenai puasa yang introvert memang tak-layak-kutip untuk perilaku puasa yang ekstrovert dan ekshibisionistik. []