Puasa Ramadhan Tidak Identik dengan Menutup Warung Makan

Puasa Ramadhan Tidak Identik dengan Menutup Warung Makan

Jika logika berpuasa hanya dikaitkan dengan makan dan minum yang implikasinya berdampak pada kebijakan menutup warung, maka makna puasa telah mengalami pendangkalan makna.

Puasa Ramadhan Tidak Identik dengan Menutup Warung Makan

Setiap bulan Ramadhan biasanya muncul isu penutupan warung makan. Alasannya untuk menghormati orang yang berpuasa. Bulan Puasa merupakan bulan yang suci. Harus dijaga kesuciannya dengan menutup warung makan.

Penulis jadi teringat kasus ibu Saeni, seorang ibu pedagang makanan di Serang Banten beberapa tahun yang lalu. Satpol PP merazia barang dagangannya hingga menyitanya tanpa ampun karena berjualan pada siang hari di bulan puasa. Sebenarnya apakah menutup warung makan di bulan Ramadhan keharusan? Apakah begini maunya Islam?

Islam Rahmat untuk Semua

Islam sendiri merupakan agama rahmat (cinta kasih). Nabi Muhammad diutus di muka bumi bukan menjadi rahmat bagi kaum muslimin saja, melainkan bagi alam semesta. Sama halnya yang termaktub dalam Q.S Al-Anbiya ayat 107, Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semetsta.

Tentu pernyataan rahmat bagi alam semesta ini menjadi pembahasan yang menarik. Apakah itu sesama kaum muslimin, sesama manusia atau pun sesama makhluk ciptaan Tuhan. Kalau kita sudah sepakat demikian, kita tidak akan mau mengusik ketenangan orang lain hanya demi sepatah kata penghormatan.

Menyuruh menutup warung di bulan puasa demi penghormatan sepihak terhadap suatu golongan adalah tindakan yang kurang tepat. Kita hidup berbangsa dan bernegara berdampingan dengan umat beragama lain yang tidak menjalankan ibadah puasa. Bahkan kaum muslimin sendiri ada yang tidak berkewajiban berpuasa, seperti anak-anak, orang sakit, musafir (orang yang bepergian jauh), perempuan haid, hingga perempuan menyusuhi.  Alangkah egoisnya kita, bila menyuruh orang yang tidak berkewajiban puasa untuk berpuasa.

Belum lagi para pedagang kecil yang sehari-hari menggantungkan nasibnya dari hasil dagangannya. Singkatnya, kalau hari ini tidak berjualan besoknya tidak bisa makan, bila mereka dilarang berjualan apalagi barang dagangannya disita. Apalagi kalau tindakan penutupan itu dilegitimasi oleh aparatur negara.

Sebagai umat Nabi Muhammad seharusnya kita meneladani akhlak beliau yang tidak diskriminatif apalagi gila hormat. KH. Musthofa Bisri (Gus Mus), seorang ulama kenamaan pernah meyatakan dalam tulisannya perihal penutupan warung di bulan Ramadhan.

Begini kutipannya,”Apakah hanya pedagang-pedagang warung yang harus menghormati Ramadhan dan mereka yang merusak tatanan justru bisa terus melenggang melecehkan kesucian Ramadan? Atau apakah sebenarnya maksud kita dengan penghormatan terhadap Ramadan itu?”

Dari pernyataan itu bisa dipetik tiga poin. Pertama, ketika warung-warung saja yang dipaksa tutup untuk menghormati Ramadhan, hal ini bisa dipahami  diskriminatif terhadap pedagang-pedagang. Karena sebenarnya esensi puasa Ramadhan justru lebih kepada seberapa tangguh insan muslim mengendalikan diriya. Menahan nafsunya dari segala perbuatan tercela yang bisa merusak puasanya. Bukan hanya sekedar menahan untuk tidak makan dan tidak minum.

Kedua, yakni pernyataan “mereka yang merusak tatanan justru bisa terus melenggang melecehkan kesucian Ramadan.” Kalimat ini menegaskan bahwa negara atau umat Islam jangan hanya fokus pada hal yang sifatnya tampak diluar atau dangkal, sehingga orang-orang yang melakukan maksiat serta melanggar aturan agama dan negara yang justru mencederai makna Ramadhan bisa bergerak bebas.

Ketiga, apakah sebenarnya maksud kita dengan penghormatan terhadap Ramadhan itu? Sudah benarkah logika kita melakukan penutupan warung demi menghormati bulan Ramadhan serta juga orang yang berpuasa. Atau mungkin itu hanya dalih kita (muslimin) yang minta dihormati. Padahal ibadah puasa merupakan ibadah yang samar dan jauh dari pamer apalagi ingin dihormati.

Lebih jelasnya, mari kita pahami lagi makna puasa dari bahasa arab shaum berarti menahan. Di sini yang dimaksud menahan, yakni menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Bisa juga mengendalikan hawa nafsu kita. Oleh sebab itu, kalau logika berpuasa hanya dikaitkan dengan makan dan minum yang implikasinya berdampak pada kebijakan menutup warung, maka makna puasa telah mengalami pendangkalan makna.

Wallahu A’lam.

Ahmad Solkan, saat ini melanjutkan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta aktif di LPM Paradigma UIN Sunan Kalijaga