Puasa Ngrowot: Sebuah Perjalanan Spiritual

Puasa Ngrowot: Sebuah Perjalanan Spiritual

Menjalankan puasa ngrowot adalah bagian dari mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, sebagai laku batiniah dan bukan sekadar urusan perut belaka.

Puasa Ngrowot: Sebuah Perjalanan Spiritual
keutamaan puasa

“ Mengapa manusia gampang tersulut emosi? Apa akar masalahnya?”

Pertanyaan ini merupakan renungan saya selama menjadi asisten salah satu Psikolog di Jogja 2019 lalu. Meskipun tidak terlibat langsung dalam problem solving para klien, tetapi saya mengamati dan kemudian membuat riset kecil-kecil tentang kondisi orang-orang hari ini: banyak yang rentan mengalami masalah psikis. Tidak pandang usia, mulai dari anak-anak sampai lansia.

Tidak sabaran, grusa-grusu, dan gampang diadu domba adalah manifestasi dari kurangnya kemampuan diri dalam mengendalikan hawa nafsu. Perilaku yang demikian jika dibiarkan akan menjadi penyakit, dan ujung-ujungnya membuat hidup menjadi kacau. Jika sudah begini, di mana esensi kebahagiaan manusia itu sendiri? Bukankah yang diharapkan dari setiap manusia adalah bisa hidup bahagia, lahir dan batin?

Freud mengatakan bahwa ada tiga bagian dalam diri manusia yang selalu bekerja: id, ego, dan super ego. Setiap bagian memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Id (segala dorongan/keinginan) yang terlalu dominan bisa mengacaukan self itu sendiri. Demikian juga super-ego (batasan moral) yang terlalu besar bisa menghilangkan esensi id dan ego. Self control menjadi penting untuk kita kuasai. Bagaimana cara melatihnya?

Di tulisan sebelumnya, saya membahas sekilas tentang salah satu tradisi pesantren yang merupakan bentuk riyadhoh Ulama Nusantara terdahulu: Puasa Ngrowot. Bagaimana puasa ngrowot  tersebut bisa membantu kita meningkatkan kemampuan self control dalam diri?

Secara sederhana, puasa ngrowot merupakan aktivitas mengekang kebutuhan jasmani dari makanan yang enak-enak, termasuk nasi sebagai makanan pokok (Hadikoesoemo, 1985). Aspek mendasar ketika seseorang melakukan puasa ngrowot adalah kemampuan memilih makanan yang masuk ke dalam tubuh. “Dilarang mengonsumsi beras dan segala olahannya,” berarti harus siap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap nasi yang sudah menjadi makanan pokok sejak lahir.

Makanan menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan perilaku karena berkaitan dengan fungsi-fungsi dalam tubuh. Secara metafisik, sifat makanan yang dimakan oleh manusia juga ikut terserap oleh sel-sel tubuh. Contohnya, mengonsumsi daging kambing berpengaruh terhadap regulasi peredaran darah, sifat materinya yang panas dapat meningkatkan gairah seks. Bukan berarti tidak boleh mengonsumsi daging kambing, tetapi jika jumlahnya berlebihan akan berdampak negatif terhadap tubuh yang nantinya berpengaruh terhadap perilaku.

Dalam pandangan kaum sufi, sifat dan akhlak individu juga bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa dalam dirinya. Apabila jiwa seseorang didominasi oleh nafsu hewani, maka perilaku yang ditampilkan pun mengarah pada perilaku hewani juga (Anwar, 2010).

Tubuh membutuhkan nutrisi untuk menjalankan fungsinya dengan baik, tidak hanya bentuk makanan saja yang penting, tetapi juga bagaimana proses makanan itu diolah sampai masuk ke dalam tubuh. Jenis makanan yang sifatnya alami atau didapatkan langsung dari alam berupa palawija menjadi sumber makanan alternatif bagi para pelaku puasa ngrowot (Hadikoesoemo, 1985). Seperti halnya jagung, umbi-umbian (ubi jalar dan ubi kayu), kacang tanah, gembili, irut, dan ganyong.

Ada banyak tantangan yang dihadapi oleh para pelaku puasa ini. Selain harus menahan diri dari godaan nasi, mereka juga harus bersabar ketika berada di lingkungan yang baru dan masih awam dengan laku yang sedang dijalani. Tidak sedikit yang justru dipandang sebelah mata, dianggap aneh, bahkan dituduh mengikuti aliran sesat.

Nah, di titik inilah kemampuan mengontrol diri diuji. Sikap selektif terhadap makanan, upaya adaptasi, dan keistikomahan dalam mengamalkan wirid wajib puasa ngrowot  adalah bagian dari pembentukan self control itu sendiri.

Spiritualisme Puasa Ngrowot

Pada dasarnya puasa ngrowot merupakan salah satu bentuk laku prihatin mengolah hawa nafsu melalui media makanan. Laku prihatin seperti ini juga dianjurkan dalam Serat Wedhatama yang tercantum pada pupuh II: Sinom.

Adapun bunyinya adalah “Nuladalaku utama, tumrape wong tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksida, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing ersua.”

Makna petikan dalam serat tersebut adalah: contohlah perilaku utama bagi kalangan orang Jawa, orang besar dari Ngeksida (Mataram), Panembahan Senopati yang tekun, mengurangi hawa nafsu, dengan jalan prihatin, serta siang dan malam selalu berkarya membuat hati tenteram bagi kasih sayang. Dalam serat tersebut juga dijelaskan adanya anjuran untuk berlaku prihatin melalui makanan.

Samangsane pesasmuan, mamangun martana ersuas, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teka-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra”

Artinya adalah: dalam setiap pergaulan membangun sikap tenggang rasa. Setiap ada kesempatan, di saat waktu longgar, mengembara untuk bertapa, menggapai cita-cita hati, hanyut dalam keheningan kalbu. Senantiasa menjaga hati untuk prihatin (menahan hawa nafsu) dengan tekad kuat, membatasi makan dan tidur (Abimanyu, 2014).

Pengalaman spiritual dalam menjalankan puasa ngrowot antara individu yang satu dengan individu yang lain bisa berbeda. Riyadhlah melalui puasa ngrowot didasari sebuah konsep perjalanan spiritualitas melalui tahapan yang dimulai dengan cara mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela atau tidak baik (takhalli) yang dilanjutkan dengan menghiasi hati dengan sifat terpuji (tahalli) yang pada akhirnya akan mendapatkan pencerahan dari Allah SWT (tajalli).

Ringkasnya, puasa ngrowot sebagai jalan atau cara yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan ridho Allah SWT sejatinya juga menggunakan metode latihan-latihan jiwa untuk mengekang hawa nafsu, mulai dari tingkatan nafsu terendah (nafsu ammarah), nafsu lawwamah, nafsu muthmainnah, nafsu mulhamah, nafsu radhiyah, nafsu mardhiyah, dan tingkatan paling tinggi yaitu nafsu kamaliyah (Masyhuri, 2014). Menjalankan puasa ngrowot, dengan demikian, adalah bagian dari mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, sebagai laku batiniah dan bukan sekadar urusan perut belaka.