Protes Warga Hutan kepada Umat Manusia

Protes Warga Hutan kepada Umat Manusia

Alam beredar dengan hukum yang pasti, tapi selalu menempatkan penghuninya pada ketidak-pastian. Melalui sains dan teknologi, manusia meminimalisir ketidak-pastian itu.

Protes Warga Hutan kepada Umat Manusia

Di malam keseratus tujuh puluh empat, Ratu Syahrazad menceritakan Hikayat Burung-Burung. Hikayat tentang sepasang merak dan binatang-binatang lain (itik, anak singa, macan tutul, unta, kuda dan rusa) yang ketakutan karena pulau d/a hutan tempat mereka tinggal mulai dijamah manusia.

Saat sepasang merak itu asik mencari makan di hutan, itik tiba-tiba muncul dengan tergesa-gesa. Si itik ketakutan, karena ia baru saja melihat manusia telah menjamah pulau ini. Sebelumnya, Si Itik pernah bermimpi buruk tentang manusia, dan kini mimpi itu menjadi kenyataan. Demikian Si itik berkisah kepada sepasang merak. Dalam mimpinya, Si Itik mendengar suara gaib:

“Berhati-hatilah kau terhadap kejahatan manusia, jangan sampai kau terjerumus ke dalam tipu daya mereka. Manusia adalah makhluk yang suka melakukan tipu daya dan dusta. Perlu kau ketahui bahwa manusialah yang telah menangkapi ikan di laut, memburu burung-burung dengan senjata dan menjebak gajah dengan kejamnya. Manusia adalah makhluk berbahaya yang tak satu binatang pun yang dapat menghindar dari kebuasannya.”

Karena kekhawatiran itu, mereka mengadu ke pada Si Pangeran Hutan, anak singa.

“Wahai pangeran, maksud kedatangan hamba ke tempat ini adalah untuk mengajak paduka memikirkan cara membunuh manusia. Sebab hamba benar-benar takut kepada mereka,” kata itik kepada anak singa.

Sejurus kemudian, datanglah Si Keledai dengan teruburu-buru.

“Hai pandir! Ada apa? Apa kau takut juga terhadap manusia?” Tanya si itik dan anak singa kepada si keledai. “Apa kau takut juga akan dibunuh manusia?”

“Tidak Pangeran, yang hamba takutkan adalah tipu daya yang mereka lakukan terhadap diri hamba. Manusia memiliki sebuah alat untuk mengendalikan hamba. Alat itu disebut tali kekang. Mereka juga memiliki cemeti untuk mencambuk hamba ketika hamba enggan berlari,” tukas Keledai.

“Tapi anehnya,” keledai melanjutkan, “jika hamba berlari terlalu cepat, mereka akan menghardik hamba. Tidak hanya sampai di situ, saat hamba sudah tua dan tidak lagi mampu memikul beban, mereka akan menjual hamba kepada pengangkut air.”

“Dan, setelah semua kekejaman yang mereka lakukan, ketika kelak ajal hamba tiba, mereka tidak akan mengubur hamba dengan baik, melainkan hanya melemparkan mayat hamba untuk menjadi makanan anjing. Coba Pangeran bayangkan, adakah makhluk yang leih kejam dari makhluk Allah yang bernama manusia?”

Begitulah Si Keledai mengadu. Pun, seterusnya berdatangan hewan-hewan lain mengadukan kepada Pangeran Hutan tentang rupa-rupa kekejaman manusia.

Melalui hikayat di atas, Abu Abdullah Muhammad Al-Jihsiyari—Penulis Kisah 1001 Malam—menyindir antroposentrisme, atau anggapan bahwa manusia adalah pusat dari segala sepesies (human-centrist), dan segala spesies (termasuk juga lingkungan) berakhir untuk melayani manusia.

Antroposentrisme berbentuk segitiga. Manusia di puncak segitiga, dan makhluk lain berada di bawahnya. Padahal, alam menempatkan semua makhluknya secara sejajar, tidak ada yang lebih tinggi atapun lebih super.

Berangkat dari segitiga ini, perasaan ‘super’ manusia terhadap makhluk lain, lahir. Karena merasa ‘super’ manusia sulit untuk mengontrol naluri eksploitatifnya. Kerusakan lingkungan adalah perpanjangan dari perasaan ‘super’ itu.

Dalam perkembangannya, gugatan terhadap antroposentrisme banyak diutarakan oleh banyak kelompok. Pun, sepanjang perkembangannya, antroposentrisme banyak berkaitan erat dengan kapitalisme dan segala bentuk turunan industrialisasinya. Dengan kata lain, antroposentrisme telah ada sejak lama dan berkaitan erat dengan banyak aspek kehidupan manusia. Termasuk mempengaruhi sikap manusia terhadap konsep ‘kehilangan’ karena alam.

Gesture sikap antroposentris menganggap kehilangan karena alam adalah sesuatu yang seharusnya tidak menimpa manusia. Kalaupun tetap masih menimpa, gestur antroposentris akan mencari-cari penjelasan—terlepas dari entah itu penjelasan rasional, irasional ataupun suprarasional—yang mampu memuaskan ketidak-terimaan manusia terhadap sikap alam yang dianggap ‘mengancam’ posisi superiornya.

Alam beredar dengan hukum yang pasti, tapi selalu menempatkan penghuninya pada ketidak-pastian. Melalui sains dan teknologi, manusia meminimalisir ketidak-pastian itu. Namun, ternyata lebih jauh dari itu, antroposentrisme mendorong manusia menggunakan sains dan teknologi untuk menindas alam dan melanggengkan kesuperioritasannya.

Manusia telah sejak lama tinggal dalam kenyamanan antroposentris hingga nyaris tidak pernah membayangkan bertukar nasib dengan Si Itik ataupun Si Keledai yang setiap waktu dicekam oleh rasa takut akan kehilangan (entah itu diri ataupun kerabat terdekat).

Kenyamanan antroposentris membuat manusia menjadi angkuh dan semena-mena terhadap alam. Luasnya sains dan teknologi yang manusia miliki berkebalikan dengan keluasan manusia dalam mengikhlaskan kehilangan akibat alam.

Tidak bermaksud menjadi fatalis, tapi, ada ketidak-seimbangan antara keangkuhan manusia terhadap alam dan konstruk mental manusia terhadap kenyataan bahwa manusia tidaklah superior, dan kenyataan bahwa ia tidak berada di puncak segitiga, tapi berada di garis horizontal.

Dan lagi-lagi, kesulitan untuk ikhlas muncul karena kenyamanan antroposentris tidak pernah mengajarkan manusia belajar keluar dari sifat kemanusiawiannya (sifat superior, sifat eksploitatif dan sifat banal lainnya). Selama sifat kemanusiawian yang banal belum dipungkas, selama itu juga sifat kemanusiaan tidak akan muncul.

Akhirnya, meskipun jika manusia berada di pucuk segitiga antroposentrisme, selama manusia masih nyaman berpihak pada sifat kemanusiwian yang banal, ia akan tetap menjadi penindas alam, yang dengan halusinasi superioritasnya justru semakin mendekatkan dan memantaskan dirinya untuk dibinasakan oleh alam.

Rasa ikhlas terhadap kehilangan tidak akan bisa tumbuh di atas kenyamanan antroposentrisme yang angkuh. Apa yang dirasakan oleh itik, keledai dan kawan-kawannya lewat hikayat di awal tulisan ini seyogianya perlu kita dengar dan renungi sebelum membersihkan hutan, lalu menyulapnya menjadi pabrik, atau “pohon-pohon” beton dan pencakar langit lainnya. Atau, dalam sekenario terburuk, mudah saja sekiranya alam akan mebinasakan manusia yang enggan mendengar.

BACA JUGA Pandemi Corona dan Fenomena Muslim Anti-Sains ATAU Artikel-artikel menarik lainnya