Proses KB dengan Mencabut Alat Kelamin Suami saat Bersetubuh.

Proses KB dengan Mencabut Alat Kelamin Suami saat Bersetubuh.

Hukum mencabut alat kelamin suami saat bersetubuh dengan maksud ingin menjaga kemaslahatan pertumbuhan anak yang masih minum air susu ibunya.

Proses KB dengan Mencabut Alat Kelamin Suami saat Bersetubuh.

Hukum mencabut alat kelamin suami saat bersetubuh dengan maksud ingin menjaga kemaslahatan pertumbuhan anak yang masih minum air susu ibunya, atau karena khawatir akan keselamatan anak balita tersebut jika ibunya sampai hamil lagi, maka hal itu boleh dilakukan.

Namun, apabila dalam ber-KB itu menggunakan alat kontrasepsi yang dapat merusak rahim, semisal menjadi dingin sehingga tidak lagi (aktif) menerima kehadiran seorang anak atau organ dalam hahim itu dirusak (dirubah sedemikian rupa), maka usaha semacam itu dilarang dalam syariat Islam. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Arobi dan Abdul Salam serta Imam al-Ghazali.

Adapun menggunakan sesuatu (alat kontrasepsi) yang bisa merusak bentuk dan fungsi air mani saja (sehingga sperma yang terdapat dalam air mani itu menjadi tidak produktif), sedangkan rahim tetap utuh dan berfungsi menerima kehadiran seorang anak, maka hal semacam itu hukumnya seperti hal mencabut alat kelamin suami saat bersetubuh dengan istrinya (A’zel).

Syaikh Abu Abbas al-Wansyarisi dalam sebuah jawabannya tentang suatu masalah, ia mengatakan; “Bahwa apa yang telah ditentukan hukumnya oleh para Imam kita, yaitu tentang haramnya menggunakan apa saja yang bisa mengeluarkan sperma yang sudah bersarang di dalam rahim, menurut keterangan ulama yang ahli tentang meneliti dan mengkaji suatu masalah, adalah haram hukumnya tidak sedikitpun diperbolehkan”.

Selanjutnya Abu Abbas juga berkata; “Tentang pendapat Syaikh al-Lahmi, bahwa diperbolehkan mengeluarkan sperma yang sudah masuk dan berproses di dalam rahim, sepanjang belum lewat 40 hari, adalah tidak perlu diperhatikan.”.

Bahkan menurut Abu Abbas, sang ibu justru harus memerdekakan budak dan harus diberi sangsi serta pengetahuan, mana kala ia menggugurkan apa yang ada dalam rahim tersebut. Kecuali jika suami telah membebaskannya kewajiban memerdekakan hamba sahaya tersebut.

Sedangkan hukum aborsi, duduk persoalan pelarangan penggugurannya itu adalah tatkala janin yang ada dalam kandungan itu belum ada peniupan ruh (sebelum bernyawa) atau usia kandungan di bawah empat bulan. Apabila pengguguran janin sesudah janin bernyawa, maka pengguguran itu sama halnya dengan membunuh seseorang, demikian menurut kesepakatan para ulama.