Program Jalan-jalan Islami: Antara Agama, Modern dan Konsumsi

Program Jalan-jalan Islami: Antara Agama, Modern dan Konsumsi

Program Jalan-jalan Islami: Antara Agama, Modern dan Konsumsi

Apakah anda pernah memiliki kaus bertuliskan “My Trip My Advanture” (MTMA)? Dalam pengalaman saya, seseorang yang memiliki kaus tersebut menjadi penanda diri sebagai traveller atau suka petualangan. Arkian, kaus MTMA tersebut begitu populer di kalangan anak muda yang memiliki jiwa traveling atau berpergian. Bahkan, bermunculan  komunitas MTMA di berbagai daerah sebagai wadah berkumpul dan berbagi cerita.

Di sisi lain, MTMA tidak sekedar program televisi yang mengeksplorasi pelbagai tempat wisata alam di seluruh Nusantara, namun juga mengemas gaya hidup masyarakat modern, yakni travelling, dalam model yang baru. Terlebih, berpergian ke sebuah tempat wisata tidak lagi hanya bermakna liburan, namun juga berarti modal konten untuk kepentingan media sosial.

Tidak heran jika kemudian kamera kecil atau lebih akrab dengan nama “Action Camera” dengan berbagai merek begitu populer di kalangan anak muda. Hal ini merupakan dampak dari gaya hidup baru yang dimunculkan oleh sebuah program televisi.

Lain padang, lain ilalang. program televisi lain yang mengeksplorasi tempat wisata pun turut bermunculan, di antaranya adalah “Muslim Traveller” (MT) dan “Halal Living” (HL). Jika anda seorang muslim memiliki jiwa traveling maka kemungkinan besar anda akrab dengan kedua program televisi tersebut.

Acara “Halal Living” sebelum menjadi program Televisi merupakan modul feature mingguan yang tayang di Indonesia Morning Show, NET. Usai mendapatkan perhatian dari pemirsa televisi, modul halal living akhirnya berubah menjadi program TV pada tahun 2018 hadir tiap sabtu dan minggu. Sayangnya, Halal Living tayang terakhir di Juni 2019.

Dipandu di antaranya oleh Ayu Indirati dan Bella Tamimi, keduanya adalah Selebgram, program HL menghadirkan nuansa baru dari hanya sekedar jalan-jalan atau liburan ke sebuah tempat wisata. HL menghadirkan eksplorasi lebih berorientasi pada kehidupan manusia atau lebih tepatnya mereka menggabungkan konsep dokumenter, reality show, hiburan dan petualangan.

Adapun MT adalah sebuah program di NET selama bulan Ramadan. Program MT pernah dipandu oleh beberapa orang, mulai dari Muthia Amalia, Shaza Belladona, Gita Savitri, Ni Made Landra hingga Chika Fawzi, anak dari pasangan Ikang Fawzi dan Marissa Haque. Kedua program televisi ini memiliki kesamaan. Pertama, acara dibawakan oleh host perempuan berjilbab, modis dan akrab dengan teknologi, terutama fotografi.

Kedua, fokus narasi kedua program adalah menceritakan tentang kisah kehidupan umat muslim. Bedanya, MT menarasikan kehidupan muslim di seluruh dunia dan mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah di berbagai negara. Sedangkan, HL lebih banyak mengambil spot berbagai lokasi di Nusantara.

Tayangan televisi bergenre petualangan Islami sepertinya mulai menjamur pasca Orde Baru. Setelah lebih tiga dekade, negara mayoritas Muslim ini menjadi tampak lebih saleh dengan meningkatnya jumlah organisasi dan partai Islam, banyak film, sinetron (sinetron), musisi, media cetak dan online condong ke kepentingan agama dan lebih banyak perempuan yang mengenakan cadar.

Tidak saja sinetron dan film, berbagai program televisi bergenre Islam pun turut “beranak pinak” dengan atensi masyarakat Muslim yang terus meningkat. Seperti, program MT dan HL yang menghadirkan dakwah Islam yang mencakup sekaligus kepentingan komersial, agama dan gaya hidup masyarakat modern.

Menghadapi kejenuhan sehingga perlu liburan adalah alasan paling populer di kalangan masyarakat modern, khususnya perkotaan. Seorang filsuf Perancis, Jacques Ellul, menyebut pekerjaan sekarang menuntut banyak kepada manusia, sehingga mereka mengalami situasi yang melebihi daya tahannya,  seperti kebisingan, gerak, banyak alat yang dijalankan dan lain-lain.

Kondisi tersebut menyebabkan kehidupan masyarakat modern yang lekat dengan teknologi berimbas pada tekanan psikologis yang berat. Ellul mencontohkan dengan persaingan antar manusia adalah salah satu rangsangan dalam masyarakat modern. Persaingan antar manusia yang terasa semakin menjadi-jadi akibat hadirnya teknologi berdampak pada kejenuhan yang makin memuncak.

Namun, “menjadi modern” dalam pengertian Ariel Heryanto, akademisi di Australia, adalah dipahami dengan memiliki peluang khusus atau keterampilan baru dalam menikmati kesenangan sehari-hari dengan mengonsumsi komoditas modern, menggunakan teknologi terbaru, dan menjalani gaya hidup yang sedang tren.

Aspek material dan isu-isu konseptual seputar modernisasi, pembangunan negara-bangsa, ekonomi, agama, perang, atau korupsi utamanya sering dipandang sebagai kegiatan tentang dan untuk kaum laki-laki. Bersamaan dengan ini kita bisa memahami kemudian terdapat segregasi yang sering dijumpai sehari-hari namun tidak pernah digugat, sinetron untuk emak-emak (baca: perempuan) dan siaran berita untuk laki-laki.

Pembagian bias gender seperti itu sekarang sudah sangat usang, walau masih terdapat beberapa sisa-sisanya dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun, dengan perjuangan yang sulit tapi menggairahkan kaum muda kelas menengah perkotaan dan para professional ketika mereka menegosiasikan (memperbaiki, merumuskan ulang, menegaskan) atau mentransformasikan identitas sosial mereka yang sudah lama dengan berbagai kebebasan yang baru didapatkan, segregasi tersebut tidak lagi menjadi acuan dalam kehidupan.

Upaya meraih kenikmatan duniawi serta hasrat terhadap gaya hidup yang baru dan keren, diiringi kepuasan mengonsumsi, menjadi bagian penting dalam proses tersebut. Kehidupan modern tidak lagi sekedar dipandang dalam sebuah akurasi kerja atau hitung-hitungan yang menjemukan dan menjenuhkan. Semua itu berkelindan atau bertatap muka dengan berbagai tanggapan yang kadang bertolak belakang sejak bangkitnya Islamisasi di Indonesia.

Kehadiran tentu acara seperti MTMA tentu menghadirkan nuansa kehidupan modern yang mengonsumsi lebih dominan, ketimbang pelarian dari rasa jenuh akibat pekerjaan. Namun, program acara seperti MT dan HL menambahkan narasi agama dalam bingkai jalan-jalan. Tentu, dalam program tersebut perbincangan identitas sosial keagamaan yang telah bernegosiasi atau bertransformasi lebih dominan muncul.

Dari pemilihan host perempuan, baik sendiri atau duet dengan teman perempuan lainnya, menjadi simbol bahwa kehidupan perempuan yang lebih mandiri dan modis namun tetap Islami adalah narasi utama dalam program tersebut. Bahkan, anak muda yang hadir dalam program tersebut terlihat lebih nyaman menghadirkan Islam dalam bentuk jalan-jalan dalam versi mereka sendiri.

Menariknya, wacana wisata halal sepertinya tidak begitu berperan besar dalam tayangan ini. Padahal, dalam keterangan resmi Kementerian Pariwisata, wisata halal ditetapkan menjadi salah satu prioritas mereka dalam lima tahun terakhir. Indonesia sendiri sudah menetapkan 10 destinasi wisata halal untuk merebut pasar itu wisatawan Muslim, dan Lombok tampil dominan. Baik di dalam negeri atau di luar sekalipun, program ini malah berada di luar dari narasi parawisata halal. Hal ini kemungkinan besar narasi Islam yang dihadirkan tidak sebagai komoditas ekonomi belaka, namun lebih berupa identitas yang terkoneksi dengan narasi Islam yang lebih luas namun tetap nyaman dalam bingkai konsumsi.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin