Problem Hadis tentang Anjing

Problem Hadis tentang Anjing

Beberapa hadis terkesan anti terhadap anjing. Bagaimana memahami hadis-hadis itu?

Problem Hadis tentang Anjing

Persoalan yang terjadi dalam debat umat Islam mengenai status anjing tidaklah sesimpel ejekan terhadap keterbelakangan umat Islam yang, setelah menjejakkan kaki di abad 21, masih juga berdebat mengenai hukum anjing. Orang bisa saja melakukan kritik semacam itu. Silakan. Namun, kritik itu tidaklah menyentuh jantung problemnya. Kritik itu hanya mudah diterima oleh yang berpandangan “hadis yang bertentangan dengan nalar mestinya diabaikan”.

Kenyataannya, mayoritas muslim saat ini punya “iman” yang kuat terhadap teks hadis. Artinya, kita akan terus tidak layak didengar oleh mayoritas umat Islam selama argumen yang kita bangun berdasar penalaran semata dan tak berlandas pada teks atau metodologi yang diakui.

Faktanya ialah ada sekian banyak hadis sahih berbicara hal yang cenderung negatif mengenai anjing. Sebagian darinya termaktub di Shahih Bukhari dan Muslim. Dua kitab itu adalah kitab tersahih, terselektif dalam menyeleksi para perawi dalam transmisi (sanad), tervalidasi paling akurat setelah Al-Quran (ashahh al-kutub ba’da kitâbillâh). Ini kesepakatan mayoritas ulama. Umat Islam—terutama Sunni—saat ini tidak punya akses menuju apa yang dikatakan Nabi Muhamamd yang melebihi validitas kedua kitab sahih itu.

Di sini problemnya ialah: kalau kita semata-mata menolak suatu hadis atas dasar nalar semata, maka yang terjadi ialah cherry picking (mengambil yang manis [yang masuk akal], membuang yang sepah [yang tak rasional]). Dalam logika demikian, yang terjadi adalah inkonsistensi. Sikap semacam ini, menurut saya, kurang lebih sama dengan kecaman Al-Quran terhadap sikap Ahlul Kitab yang hanya mengambil yang enak saja dari kitab sucinya, dan mengabaikan yang pahit.

Karena itulah, sangat dimaklumi ketika mayoritas umat Islam, dalam menafsiri hadis-hadis tentang anjing yang “tak masuk akal”, berusaha sebisa mungkin melakukan kompromi, baik dengan menghadapkannya dengan Al-Quran yang lebih tinggi statusnya, membandingkannya dengan hadis lain, atau kalau tak bisa ya ditakwil. Yang penting tidak sampai membuang hadis itu, selama sanadnya sahih. [Sayangnya, kritik mata rantai periwayatan hadis (sanad) amat berkembang dalam khazanah Islam, namun kritik isi hadis (matan) masih minim].

Maka wajarlah bila sikap kebanyakan umat Islam amat hati-hati saat berbicara tentang hadis sahih—sekalipun itu tak masuk akal dalam nalar orang modern. Tulisan tentang status anjing dalam tinjaun hadis-hadis sahih ini hendak mengutarakan pandangan dalam kerangka itu: mencoba menggunakan metodologi yang diakui oleh argumen audien. Dua hal yang hendak dibahas di sini: status kenajisannya dan hukum memeliharanya.

***

Dalam soal status kenajisan anjing, sebenarnya tiada masalah berarti. Status kenajisan anjing menjadi bahan perbedaan yang masyhur di kalangan pakar hukum Islam klasik: (1) menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali, tubuh anjing seluruhnya najis; (2) menurut mazhab Abu Hanifah, hanya mulut dan air liurnya saja yang najis; (3) menurut Mazhab Maliki, anjing tidaklah najis secara mutlak.

Mengapa perbedaaan pandangan ini bisa terjadi? Redaksi asli hadis tentang najisnya anjing itu begini: “Sucinya bejanamu yang dijilat anjing ialah dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dengan debu” (HR Bukhari & Muslim). Kata kunci dalam hadis ini ialah “dijilat” (Arabnya: walagha, wulûgh).

Interpretasi ulama fiqh terhadap kata “dijilat” itu tak sesederhana yang terlintas di pikiran awam. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah: kalau jilatannya saja najis, sementara lidah hanya menjilat yang bersih-bersih, apalagi tubuhnya yang belepotan kotoran. Di sini berlaku qiyas-awlawy (contoh lainnya: logika tafsir terhadap ayat “jangan dekati zina” yang kemudian dihasilkan kesimpulan “kalau mendekati saja tak boleh apalagi melakukannya”). Maka tubuh, kulit, dan keringat anjing pun najis.

Menurut Hanafiyah, anjing itu tidak najis di dalam dirinya sendiri (najis al-‘ain). Al-Quran hanya menyebut babi sebagai satu-satunya hewan yang najis (rijs) di dalam dirinya sendiri (lihat QS 6:145). Maka, Hanafiyah berpegang pada teks hadis itu semata: Karena hadisnya hanya menyebut jilatan, maka mulut & liurnya saja yang najis. Selebihnya tidak.

Sedang menurut Malikiyah, bahwa ada perintah membasuh tujuh kali itu sama sekali tak berhubungan dengan kenajisan anjing. Logikanya simpel saja: bukan saja anjing, ayam, kucing, burung, dan hewan-hewan lain yang minum di gelas anda pun kemudian akan anda basuh gelas itu. Alasan di balik hadis itu adalah faktor kebersihan belaka. Adapun ketentuan “tujuh kali dan salah satunya pakai debu” itu tak lain bersifat ta’abbudi (ritual; tak punya rasionalisasi).

Tentang perbedaan pandangan tentang kenajisan anjing ini sebenarnya bukan hal baru. Bagi yang akrab dengan studi fikih lintas mazhab, beda interpretasi semacam itu sudah biasa.

[Note: Di sini ada pelajaran menarik. Yakni, bahwa teks hadis yang segamblang itu ternyata menghasilkan tiga pendapat yang berbeda. Jangankan satu teks, satu kata—bahkan satu harakat dalam sebuah kata—di dalam teks yang sama saja, bisa menyisakan perbedaan mazhab. Karena itu hindarilah pikiran simplistis dalam menafsirkan teks, baik ayat maupun hadis.]

***

Persoalan yang lebih rumit terkait hukum anjing sebenarnya adalah hukum memeliharanya. Ada setidaknya dua hadis sahih yang nampak tidak masuk akal.

Pertama, hadis sahih riwayat Bukhari (no. 3225, 3322, & 4002—sesuai penomoran di al-Maktabah asy-Syamilah). Ketiga hadis itu menyatakan dengan redaksi berbeda, tapi intinya sama: “Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar/patung.” Hadis yang senada juga ada di Shahih Muslim (no. 5633, 5635, & 5636—sesuai penomoran di al-Maktabah asy-Syamilah)

Kedua, hadis sahih riwayat Bukhari (no. 2145) & Muslim (no. 2974, 2943), yang intinya: siapa yang memelihara anjing maka dikurangi pahalanya di setiap harinya sebesar satu qîrâth, kecuali dengan alasan untuk berburu atau menjaga ternak. (Note: Saya agak tergelitik baca hadis ini: kok pahala punya ukuran dengan satuan berat: qirath [sekitar setengah gram, bahkan ada yang bilang sebesar gunung Uhud]?)

Dari kedua hadis itu, sebagian besar ulama, bahkan yang terhitung moderat seperti lembaga fatwa Mesir (Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah) yang berisi ulama Al-Azhar, menyatakan: haram hukumnya memelihara anjing kecuali atas alasan untuk berburu dan menjaga ternak/rumah. Jadi, kalau memelihara anjing atas dasar hobi, menurut sebagian besar ulama, itu haram hukumnya.

***

Ada tiga hal yang perlu jadi pertimbangan sebelum kita bulat menerima kedua hadis anjing itu.
Pertama, terhadap kedua hadis di atas, tentu nalar kita dengan segera akan mengajukan banyak pertanyaan: Bukankah Al-Quran justru menghargai anjing dengan menjadikanya hewan yang terlatih untuk berburu (QS 4:107) juga bagian dari kisah magis Ashabul Kahfi? Mengapa anjing dipandang sedemikian hitamnya di hadis di atas?

Bukankah hadis shahih Bukhari sendiri juga mengisahkan seorang lelaki (menurut cerita yang populer tapi belum saya tahu validitasnya: seorang pelacur) yang masuk surga dengan wasilah memberi minum anjing yang kehausan? Bukankah kalau rumah yang ada anjingnya tak dimasuki malaikat maka orang bisa bebas berbuat dosa & tak akan mati di dalam rumah itu (sebab malaikat Izrail, Raqib, & ‘Atid masih menunggu di luar rumah)? Singkat kalimat, keliaran akal dalam mengambil kesimpulan dari hadis di atas tak bisa dibendung.

Hadis tentang memelihara anjing itu rentan jadi bahan tertawaan. Ia menyentuh bukan saja status anjing melainkan juga bangunan teologi Islam. Nyatanya, pertanyaan-pertanyaan itu sudah dirasakan oleh bukan saja orang modern, tapi ulama klasik. Maka, agar tak terjadi paradoks, sementara iman kepada malaikat adalah salah satu dari 6 rukun iman, sebagian ulama kemudian melakukan spesifikasi (takhshish).

Diketengahkan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani terhadap hadis “malaikat tak masuk rumah yang ada anjingnya itu” bahwa Ibn Waddhah dan al-Khattabi menyatakan: “Malaikat hafazhah (penjaga, pencatat amal) tetap ikut masuk, sebab malaikat hafazhah harus terus membersamai manusia di segala kondisi.” Sebagian ulama lain menyatakan, kata “malaikat” di situ hanya berlaku spesifik untuk Jibril, berdasar pada asbabul-wurud bahwa suatu ketika Rasulullah tiba-tiba tak mau keluar dari rumah yang ada anjingnya tersebab malaikat Jibril tak mau masuk ke dalam rumah itu, sehingga wahyu tak bisa tersampaikan.

Tentang memelihara anjing (kecuali atas tujuan syar’i) yang mengurangi pahala itu pun beda pendapat terjadi. Beda pendapat terjadi sebab satu nalar: bukankah seseorang berkurang-bertambah pahalanya sebab amalnya, dan bukan sebab anjing? Terhadap pertanyaan ini, pandangan terkuat menyatakan: pahala itu dikurangi karena si pemiara melanggar teks hadis larangan memelihara anjing itu sendiri. Sangat tampak dalam kesimpulan ini, sekalipun menyisakan banyak kritik, teks hadis itu tetap dipaksakan agar dipertahankan.

Pendapat-pendapat terkait interpretasi terhadap hadis itu amat banyak. Anda bisa membacanya di syarah hadis-hadis itu (Fath al-Bari, ‘Umdah al-Qari, & Syarh Shahih Muslim). Tentu akan memanjangkan tulisan ini jika semua pendapat diketengahkan. [Note: saya sendiri merasa capek baca komentar-komentar ulama tentang hadis itu. Pendapatnya amat beragam. Kadang-kadang, komentar mereka ada yang sangat tak logis sebab kuat terasa adanya kehendak ingin memaksakan agar hadis itu tetap bisa diterima; tidak diabaikan, sebab sudah diriwayatkan al-Bukhari]

Poin saya adalah: jelas bahwa sejak masa ulama klasik pun sudah dirasakan ada yang paradoks di dalam hadis anjing itu. Selain bertentangan dengan statemen Al-Quran bahwa setiap jiwa senantiasa diiringi oleh “malaikat” penjaga (in kullu nafsin lama ‘alayha hâfizh), hadis itu juga mengandung idhtirâb (kacau): tafsir harfiah dari hadis itu menyisakan tak sedikit silogisme yang tak sinkron dengan bangunan teologi.

***

Kedua, setelah mendapati bahwa komentar mayoritas ulama tetap berusaha agar hadis itu diterima, kita layak bertanya: Bagaimana anjing diperlakukan di masa Nabi Muhammad?

Di Shahih Bukhari sendiri terdapati riwayat, di bab Wudhu, tepat di bahwa hadis tentang pemberi minum anjing kehausan yang kemudian masuk surga: “Anjing-anjing kencing, masuk-keluar masjid di masa Nabi, dan para Sahabat tidak menyiramnya” (kânat al-kilâb tabûlu wa tuqbilu wa tudbiru fi zaman an-Nabiy shallallâhu ‘alayhi wa sallam falam yakûnû yarusysyûna syai’an min dzâlik).

Terkait hadis ini, perdebatan ulama berkisar di persoalan “mengapa para Sahabat tidak menyiramnya?” Itu bahasan tersendiri, tidak diketengahkan di tulisan ini. Tapi bahwa di masa Nabi ada anjing-anjing berkeliaran di masjid (menurut satu pendapat itu maksudnya di emperan masjid), adalah fakta sejarah yang sahih teriwayat oleh al-Bukhari.

Mungkin atas dasar fakta sejarah itulah, kemudian Mazhab Maliki—disamping alasan di bagian awal tulisan ini—menyatakan anjing itu tidak najis. Data sejarah itu merupakan the living sunnah (tradisi yang hidup). Mazhab Maliki menjadikan ‘amal ahl al-madînah (praktek kehidupan orang Madinah) sebagai salah satu sandaran epistemologis.

Data sejarah di Madinah itu menarik, sebab dengan data itu kita tahu tentang tradisi yang hidup di Madinah. Dari data itu kita tahu: Bukan sekedar di rumah, bahkan di masjid yang mestinya suci pun berkeliarannya anjing bukan persoalan yang menimbulkan anti-pati sebagaimana masyarakat muslim kini. Artinya, kenyataan itu kontradiktif dengan praktek di masyarakat muslim saat ini—khususnya di komunitas muslim bermazhab Syafi’i dan Hanbali—yang menistakan anjing.

Poin saya: data sejarah tentang anjing di Madinah di masa Nabi itu ialah sunnah. Sedangkan informasi bahwa malaikat tak masuk rumah yang ada anjingnya ialah hadis. Sunnah itu lebih umum daripada hadis. Sunnah itu kenyataan yang cair, sedangkan hadis adalah catatan yang beku. Kita mestinya tidak membekukan fakta cair itu dan mereduksinya dalam tafsiran yang simplistis nan beku sebagaimana termaktub dalam hadis.

Sunnah (tradisi) menjelaskan generasi muslim awal tiada memiliki masalah berarti dengan anjing. Problem terhadap anjing mulai membudaya sejak hadis-hadis ahad soal anjing itu menyebar luas.

***

Ketiga, hadis ahad (bukan mutawatir), meski sahih, statusnya adalah zhannyyul-wurûd (spekulatif berasal dari Nabi). Status zhanny berarti kemungkinan besar ia pernah dikatakan Nabi, tapi tetap saja ia tidak pasti 100 persen dari Nabi; tidak qath’iyyul-wurud. Yang tersepakati qath’iyyul-wurûd ialah Al-Quran dan hadis-hadis yang mutawatir.

Bagaimana Al-Quran berbicara tentang anjing? Al-Quran tidak pernah menista anjing. Al-Quran justru memberi penghargaan bahwa anjing adalah hewan yang terlatih—bahkan yang paling terlatih—untuk diajak berburu (QS 4:107). Al-Quran mengisahkan tentang anjing yang setia menjaga Para Pemuda Gua (QS 18: 20-22).

Kalau kita sepakat bahwa yang zhanny (spekulatif) mestinya tidak boleh dominan dibanding yang qath’iy (pasti), maka kita mestinya lebih memenangkan bagaimana Al-Quran mencitrakan anjing dibanding statemen hadis yang menista anjing. Lagipula, apa yang salah terhadap anjing, padahal mazhab Maliki dan Hanafi tidak menganggapnya najis secara mutlak? Bukankah yang tidak najis pada dirinya sendiri itu adalah bukti bahwa ia juga sebagaimana hewan bersih lainnya? Sayangnya, mayoritas umat Islam lebih mengutamakan apologi, menerima hadis anjing di atas tanpa tanpa rasionalisasi; memang benar-benar tak memerlukan alasan.

***

Dari bahasan soal anjing ini, ada satu pelajaran penting: hadis-hadis itu begitu superior mencengkeram dan mendikte budaya umat Islam, bahkan kadang lebih populer dari Al-Quran sendiri. Begitu kencangnya hadis dalam membentuk adat masyarakat Islam, sampai-sampai yang sudah tahu bahwa Mazhab Maliki tak menganggap anjing itu najis pun masih tetap mengalami kegoncangan psikologis saat didekati anjing.

Budaya dominan dalam masyarakat Islam akan terus begitu selama tiada rekonstruksi, reintepretasi, reformasi, atau apalah namanya, pada bagaimana kita semestinya berinteraksi dengan hadis. Wallahu ‘alam.