Ramadan lalu, saya terkenang masa-masa belajar kitab Ta’limul Muta’alim yang diajar oleh ibu saya sendiri di tingkat madrasah Tsanawiyah. Barangkali gara-gara saya mudik hanya untuk disambut suasana sepi rumah karena ibu masih berada di tanah suci. Tiga tahun saya belajar kitab ini di sekolah, tapi tidak khatam. Masalahnya ibu saya suka mengulang-ulang, memastikan semua murid sudah paham apa yang disampaikan. Kalau ada satu orang saja terindikasi melupakan materi minggu lalu, ya mengulanglah kami sekelas. Akibatnya, salah satu kitab lain yang diajarkan oleh ibu, yang saya lupa apa judulnya pokoknya tentang usul fikih, hanya berhasil kami selesaikan satu lembar atau malah satu halaman saja dalam satu semester. Yah begitulah. Mending sedikit tapi murid-murid benar-benar paham, ketimbang banyak tapi tidak ada yang nempel, begitu sepertinya prinsip ibu.
Sewaktu kuliah S2 kemarin, ada beberapa teman yang terkejut mendapati saya salat. Maklum, di antara semua mahasiswi muslim seangkatan, hanya saya yang tidak berjilbab. Mana mata saya agak sipit, jadi semakin ragulah mereka akan keislaman saya. Padahal sesungguhnya separuh umur saya habiskan untuk belajar ilmu-ilmu Islam. Sepertinya saya malah kenal huruf hijaiyyah lebih dahulu ketimbang aksara latin. Sejak TK saya sudah belajar kosa kata bahasa Arab, meski sekarang hasil hapalan itu sudah menguap entah ke mana.
Di saat ngelangut menikmati sepi rumah, saya merenungkan kenangan itu dan bertanya: apa yang tertinggal dari segala yang saya pelajari di madrasah? Jelas bukan bahasa Arab atau hapalan hadis dan ayat Al-Quran yang pernah menjadi bagian rutin kehidupan saya.
Setelah saya pikir-pikir, sepertinya yang tertinggal adalah nilai-nilai dan cara pandang akan hidup. Kitab ta’lim menjadi highlight di sini karena entah bagaimana itu salah satu hal berbau pesantren yang masih lekat menempel di kepala. Karena bukan santri, saya tidak terlalu terkenang akan kehidupan pesantren dan keakraban komunitasnya. Minimal tidak seperti mereka yang mengalaminya secara langsung. Saya cuma pengamat luar.
Saya ingat mendengar kakak kelas menyanyikan nadzom yang merdu untuk bagian tertentu kitab ta’lim dan jadi ingin segera sampai ke bagian itu. Saya juga ingat pembahasan soal adab mencari ilmu, kemuliaan para pencari ilmu, kewajiban mencari ilmu bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Samar-samar saya ingat bagaimana kitab itu menjelaskan perdebatan ulama mengenai mana yang lebih diutamakan: ilmu agama atau ilmu non agama.
Kenapa ini yang tertinggal? Sepertinya karena nilai soal mencari ilmu ini benar-benar dihidupi oleh kedua orangtua saya. Kami bukan keluarga yang sangat berada walau juga tidak bisa dibilang miskin. Pertama kali saya naik pesawat adalah berkah traktiran seorang teman. Namun keluarga teman yang sama ternyata harus berpikir dua kali untuk menyekolahkan anak perempuannya ke tingkat perguruan tinggi. Sementara di keluarga saya, tak pernah terpikirkan bahwa saya tidak akan lanjut ke perguruan tinggi.
Mencari ilmu adalah sesuatu yang sama mendasarnya seperti makan dan minum. Baju boleh jarang beli, tapi sekolah itu harus.
Lama setelah kuliah, baru saya sadar bahwa pesan ibu saya “belajarlah demi mencari ilmu. Jangan diniati untuk mencari kerja” bukan merupakan pesan standar seorang ibu pada anaknya. Banyak anak ternyata harus kuliah untuk mencari kerja. Banyak anak diarahkan orangtua untuk memilih jurusan yang kira-kira potensial dipasarkan di lapangan kerja. Saya beruntung bisa memilih apa pun yang saya suka.
Meskipun akhirnya diterima di fakultas psikologi yang lebih “kerjaable”, dulu setiap ditanya akan kuliah di mana saya selalu menjawab: sastra. Saya tak peduli jawaban itu kerap direspons orang luar dengan: “memang lulusan sastra mau kerja apa?”
Mungkin juga karena latar belakang ini, saya punya bias tersendiri dalam memahami Islam. Islam saya pahami sebagai agama yang menaruh nilai sangat tinggi pada ilmu dan akal. Lihat saja ayat pertama yang turun pada muhammad: Iqra. Bacalah.
Meski membaca bisa berarti banyak hal, namun saya rasa membaca sesuatu yang tertulis amat sangat masuk dalam perintah pertama itu, mengingat lanjutan surah tempat ayat pertama itu berada berbunyi “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena (96:3-4) ”. Anehnya, tak banyak umat Islam yang mati-matian mencoba mengerjakan perintah yang ini. Mereka lebih memilih menjalankan perintah yang menegaskan identitas, yang membedakan mereka dengan umat lain, seperti soal pakaian dan ibadah.
Iya, saya bukan ahli tafsir, hanya pernah nyaris jadi mahasiswa jurusan tafsir hadis. Tapi setahu saya banyak sekali ayat Al-Quran yang berakhir dengan kata-kata “apakah kamu tidak berpikir?” “Apakah kamu tidak menggunakan akalmu?” “Apakah kamu tidak mengetahui”
Berpikir, menggunakan akal, mencari tahu, adalah hal-hal yang berulang kali diperintahkan dalam Al-Quran.
Belum lagi ada begitu banyak hadis tentang wajibnya mencari ilmu. Juga masih terngiang di benak saya penjelasan salah seorang guru tentang buruknya taklid buta, alias patuh, membebek begitu saja, tanpa tahu nalar yang mendasari suatu pendapat atau keputusan fikih.
Jadi, saat melihat ada orang-orang yang mendaku Islam, merasa membela Islam, tetapi tak memancarkan semangat berpikir, menggunakan akal, dan mencari tahu, jelas saya terheran-heran. Juga sedih dan bertanya-tanya: apa ini yang dimaksud Sayyidina Ali ketika mengatakan bahwa kerusakan agama itu karena banyaknya ahli ibadah yang bodoh alias tidak berilmu?
Ternyata jauh lebih banyak orang terpukau dengan, dan terpaku pada, tanda-tanda kesalehan luaran seperti baju dan ucapan bertabur bahasa Arab tanpa mengecek substansi. Banyak orang Islam tak paham bahwa ajaran Islam tidak pernah tunggal, minimal sejak Nabi tercinta wafat. Penafsiran selalu beragam. Sudah sunnahnya begitu.
Mungkin kemuakan dengan fakta itu merupakan salah satu pendorong keputusan saya untuk melepas jilbab meski sebenarnya jilbab sudah jadi zona nyaman saya. Saya lelah mendengar tudingan sesat pada Quraish Shihab dan Gus Dur hanya karena putri-putri mereka tidak berjilbab.
Apa pernah mereka yang menuding-nuding ini membaca tulisan-tulisan Quraish Shihab dan Gus Dur? Apa mereka sadar keluasan ilmu dan pengetahuan agama tokoh-tokoh ini? Meski sah saja untuk tidak setuju dengan suatu pendapat, mereka tak berhak menghakimi kualitas keimanan seseorang hanya karena tampilan luar.
Jadi meski akhir-akhir ini gairah keislaman tampak seolah meningkat dilihat dari larisnya lapak online maupun offline yang berjualan jilbab, gamis, atau mukena mahal berharga jutaan; belum lagi larisnya paket umrah, panjangnya antrean haji, banyaknya sumbangan untuk anak yatim dan masjid, atau banyaknya orang-orang yang demonstrasi bela ini itu.. saya tidak terlalu merasa senang atau bahagia.
Sejak awal kehidupan, saya mengasosiasikan agama ini dengan sesuatu yang sangat rasional dan penuh semangat keilmuan. Apalah arti semua gairah tadi bila masih banyak umat Islam menyebar suatu berita tanpa mencari tahu kesahihannya terlebih dahulu. Bila tingkat literasi masih saja rendah. Bila perintah mencari ilmu hanya diartikan mengikuti kajian-kajian lisan tentang agama yang dipenuhi retorika dan pembangkitan emosi kelompok semata, atau teori konspirasi tanpa dasar. Bila ulama hanya disematkan pada mereka yang tampak rajin ibadah, tampak saleh, lihai menggugah emosi khalayak, dan bisa merapalkan ayat-ayat atau hadis-hadis, padahal kadang tidak menguasai keluasan khazanah keilmuannya secara memadai.
Islam seharusnya adalah rahmat bagi alam semesta. Ketika kita diperintahkan mencari ilmu, sudah jelas ilmu itu bukan hanya ilmu agama dalam artinya yang sempit. Menjadi khalifah di bumi berarti seharusnya menguasai segala ilmu yang diperlukan untuk merawat bumi dan segala isinya dengan baik. Jadi fisika, biologi, psikologi, geologi, dan segala ilmu lain yang tidak berlabel agama, merupakan bagian di antara ilmu-ilmu yang diperintahkan agama untuk kita pelajari. Apa masih bisa disebut menjalankan perintah agung ini, bila sehabis mengikuti suatu “kajian”, alih-alih semakin memahami segala perbedaan yang menjadi sunnah Tuhan, malah kebencian dan permusuhan pada segala yang berbeda yang semakin berkobar?
Sudah waktunya kita berhenti mengagung-agungkan simbol tanpa menimbang substansi. Sudah waktunya kita kembali pada perintah Tuhan yang pertama: membaca.