Pribumi, Tionghoa, dan Agnez Mo

Pribumi, Tionghoa, dan Agnez Mo

Pribumi, Tionghoa, dan Agnez Mo

Musisi Agnez Monica dalam sebuah wawancara dengan Kevan Kenny dalam acaara Build Series by Yahoo mengatakan bahwa “I actually don’t have Indonesian blood whatsoever. So, I’m actually German, Japanese and Chinese, I was just born in Indonesia and I’m also Christian, [but] the majority [of people] there are Muslim.”

“Sebenarnya saya tidak memiliki darah Indonesia sama sekali. Jadi, saya sebenarnya (keturunan) Jerman, Jepang, dan Tionghoa. Saya hanya lahir di Indonesia dan saya juga beragama Kristen, tetapi mayoritas masyarakatnya adalah beragama Islam.”

Demikianlah petikan wawancara Agnez Mo yang membikin kontroversi publik Indonesia. Banyak komentar yang menilai bahwa Agnez Mo sebagai musisi yang sudah mendunia menjadi “kacang yang lupa kulitnya”. Ia dianggap tidak mengakui dan tidak bangga menjadi seorang warga negara Indonesia.

Terkait dengan ucapan kontroversial Agnez Mo “sebenarnya saya tidak punya darah Indonesia sama-sekali” tersebut. Saya menafsirkan bahwa ucapan tersebut berlatar pada  problem rasialisme kepada minoritas, dalam konteks Agnez Mo adalah warga negara keturunan Tionghoa.

Problem rasialisme kepada warga negara keturunan Tionghoa hingga kini masih terus berlanjut. Fenomena kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah bentuk aktual dari kasus rasialisme kepada etnis Tionghoa yang tak berkesudahan.

Problem rasialisme kepada warga negara keturunan Tionghoa ini bermula dari sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Pada masa negara jajahan Hindia Belanda menerapkan kebijakan kewarganegaraan bertingkat di Indonesia. Kaum kulit putih Eropa menduduki status warga negara pertama. Sedangkan etnis Tionghoa dan Arab menduduki status warga negara kedua.

Sedangkan kalangan pribumi (walaupun istilah ini menyesatkan) mendapat status ketiga. Hirarki status kewarganegaraan tersebut berpengaruh kepada privilese akses bisnis. Warga negara keturunan Tionghoa banyak mengisi aktivitas perdagangan di negara jajahan Hindia Belanda.

Kebijakan rasialisme tersebut kemudian dilanjutkan oleh rezim kekuasan Presiden Suharto. Zaman Presiden Suharto, warga negara keturunan Tionghoa dieksklusikan hanya diberikan kesempatan untuk berdagang. Warga negara keturunan Tionghoa dilarang untuk berpolitik dan beraktivitas di luar dunia dagang.

Ketika banyak warga negara keturunan Tionghoa yang berdagang, menjadikan rasialisme kepada keturunan Tionghoa ini semakin gencar terjadi. Mereka dianggap sebagai antek pemerintah China yang komunis dan serakah menguasai ekonomi.

Puncak dari rasialisme kepada warga keturunan Tionghoa ini adalah peristiwa kekerasan pada masa transisi dari Orde Baru menuju Reformasi tahun 1998. Kalangan warga keturunan Tionghoa dijadikan kambing hitam dan dianggap sebagai penyebab kesulitan ekonomi Indonesia saat itu. Banyak perempuan Tionghoa pada saat itu menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya.

Dari latar rasialisme dan anggapan sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap warga keturunan Tionghoa bukan bagian dari penduduk pribumi tersebut yang membuat Agnez Mo merasa insecure dengan identitasnya sebagai warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Dan sehingga membuatnya mengatakan bahwa ia “tidak berdarah Indonesia sama-sekali”.

Penulis di tulisan ini tidak hanya mengkritik praktik rasisme kepada warga negara keturunan Tionghoa yang mengakibatkan Agnez Mo insecure dengan identitas dirinya sebagai warga negara Indonesia.

Penulis juga menyayangkan cara berfikir Agnez Mo sendiri yang masih menggunakan logika yang sama dengan para pelaku rasialisme kepada warga keturunan Tiongoa. Yakni “logika rasialisme” bahwa ada yang disebut penduduk pribumi dan penduduk non pribumi.

Padahal, apakah benar-benar ada yang disebut sebagai “berdarah Indonesia” asli?

Ternyata tidak ada. Kita semua adalah pendatang. Tidak ada penghuni asli kepulauan Indonesia ini.

Jawaban tersebut merujuk kepada tulisan Risa Herdahita Putri berjudul “Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika” di Historia. Dalam tulisannya, Risa mengutip perdapat dari peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, bernama Herawati Supolo Sudoyo.

Menurut Herawati bahwa penduduk yang kini menghuni kepulauan Indonesia (yang sering dianggap sebagai pribumi dan penduduk asli), asal-usulnya berasal dari daratan Afrika dan Cina daratan (Cina Selatan/Taiwan).

Jadi, sebenarnya bahwa penduduk yang kini dianggap sebagai penduduk pribumi tersebut adalah nenek moyangnya berasal dari daratan Afrika dan Cina daratan. Herawati mencontohkan bahwa suku Jawa memiliki genetika dari gen Austo-asiatik dan Asutronesia.

Singkatnya, kita semua bukanlah pribumi dan penduduk Indonesia asli. Jadi tidak ada yang namanya “berdarah Indonesia” seperti yang dikatakan Agnez Mo. Kita semua adalah pendatang. Dan yang membedakan barangkali hanya siapa yang datang duluan saja. Tapi yang jelas adalah kita semua bukan penduduk Indonesia asli. Kita semua pendatang.

Agnez Mo juga jangan khawatir lagi dengan menganggap ia “tidak berdarah Indonesia sama-sekali”. Karena itu tidak ada. Semuanya pendatang. Dari daratan Afrika dan Cina daratan. Wallahua’lam.

M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.