
Fenomena premanisme yang bersembunyi di balik bendera organisasi kemasyarakatan (ormas) telah menjadi momok dalam kehidupan sosial, ekonomi, bahkan politik Indonesia. Di berbagai daerah, kita menyaksikan ormas yang tidak lagi menjalankan fungsi sosial sebagaimana diamanatkan undang-undang, tetapi justru bertindak sebagai aktor intimidatif, pemalak, bahkan pelaku kekerasan terbuka. Ironisnya, tindakan tersebut sering kali berlindung di balik simbol agama, etnis, atau nasionalisme yang sulit disentuh secara hukum tanpa menimbulkan kegaduhan politik.
Pemerintah akhirnya membentuk Satuan Tugas Terpadu Penanganan Premanisme dan Ormas Meresahkan. Ini merupakan langkah yang perlu diapresiasi, karena untuk pertama kalinya negara menanggapi keresahan dunia usaha dan masyarakat sipil secara sistemik dan melibatkan berbagai elemen institusi negara seperti TNI, Polri, Kejaksaan, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Namun, patut digarisbawahi bahwa langkah ini hanya akan bermakna jika diikuti dengan konsistensi penegakan hukum dan keberanian politik untuk membersihkan ruang publik dari dominasi kekuasaan informal.
Mengapa premanisme ormas tumbuh subur di negeri ini?
Jawabannya tidak sederhana. Premanisme berbasis ormas muncul dari kekosongan negara dalam menjalankan fungsi pelayanan dan penegakan hukum. Ketika negara absen, aktor-aktor informal mengambil alih peran itu. Mereka menciptakan rasa “aman” palsu, menawarkan jasa perlindungan kepada pelaku usaha, mengatur distribusi proyek pembangunan, bahkan menetapkan tarif keamanan di lingkungan permukiman. Dalam praktiknya, banyak ormas menjelma menjadi kekuatan sosial yang sulit disentuh hukum karena kedekatannya dengan elite politik lokal.
Dalam konteks ini, negara bukan hanya gagal menghadirkan rasa aman, tetapi justru menjadi bagian dari masalah. Banyak kepala daerah, anggota legislatif, atau elite partai yang memelihara kedekatan dengan ormas preman untuk kepentingan elektoral. Mereka dijadikan alat mobilisasi massa, penggalang opini, bahkan penekan lawan politik. Hubungan simbiosis ini menciptakan jaringan kekuasaan informal yang sulit dibongkar hanya dengan pendekatan represif.
Data dari Himpunan Kawasan Industri (HKI) menyebutkan bahwa potensi investasi ratusan triliun rupiah bisa hilang akibat tindakan premanisme yang dilakukan oleh oknum ormas. Mereka melakukan pemalakan, meminta jatah keamanan, memaksa THR, bahkan memblokade jalan masuk kawasan industri. Ini bukan hanya menciptakan kerugian ekonomi, tetapi juga merusak citra Indonesia sebagai negara yang menjamin kepastian hukum bagi investor.
Dunia usaha juga mulai kehilangan kepercayaan terhadap perlindungan hukum dari negara. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa premanisme menjadi penghambat utama pertumbuhan investasi, terutama di daerah-daerah dengan tingkat kepatuhan hukum yang rendah. Bahkan dalam laporan World Economic Forum, salah satu hambatan utama berbisnis di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum dan tingginya biaya ekonomi akibat praktik informal yang tidak terkendali.
Masalah premanisme ormas bukan hanya kriminalitas biasa. Ini adalah persoalan struktural yang menuntut reformasi hukum dan politik. Negara harus menegaskan kembali monopoli kekuasaan koersifnya. Konsep negara modern menempatkan aparat hukum sebagai satu-satunya institusi yang sah untuk menggunakan kekuatan secara legal. Ketika kekuatan ini diambil alih oleh ormas-ormas yang tidak memiliki mandat legal, maka yang terjadi adalah negara dalam negara.
Sayangnya, langkah pemerintah masih cenderung reaktif. Pembentukan satgas hanya akan efektif jika dibarengi dengan langkah-langkah pencegahan jangka panjang. Perlu ada revisi terhadap Undang-Undang Ormas, terutama untuk mempertegas batasan aktivitas ormas dan sanksi tegas bagi pelanggaran. Selain itu, perlu ada audit terhadap seluruh ormas yang terdaftar dan tidak terdaftar, termasuk sumber pendanaan, kegiatan rutin, serta afiliasi politik mereka. Negara tidak boleh membiarkan ormas tumbuh sebagai entitas liar tanpa pengawasan.
Penting pula untuk membedakan ormas yang benar-benar menjalankan fungsi sosial dan keagamaan dari yang hanya menggunakan label ormas untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Banyak ormas keagamaan, pemuda, maupun adat yang telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan bangsa. Namun, masih ada juga ormas-ormas yang menebar ketakutan dan memperdagangkan kekuasaan yang harus segera diberantas.
Langkah pembentukan kanal pengaduan publik oleh pemerintah merupakan strategi yang tepat, tetapi tidak cukup. Keberhasilan kanal ini sangat bergantung pada jaminan keamanan bagi pelapor. Selama masyarakat dan pelaku usaha masih merasa takut untuk berbicara karena ancaman dari ormas tertentu, maka saluran pengaduan hanya akan menjadi formalitas. Pemerintah harus menjamin perlindungan saksi dan korban, bahkan membuka kemungkinan bagi pelibatan LPSK dalam menangani kasus-kasus premanisme.
Kita harus sadar, premanisme yang berbaju ormas bukan hanya mengancam pengusaha, tetapi juga merusak demokrasi. Ketika suara masyarakat dibungkam oleh intimidasi massa, ketika politik ditentukan oleh kekuatan jalanan, dan ketika hukum tunduk pada tekanan kelompok, maka demokrasi yang sehat tidak mungkin tumbuh. Premanisme adalah bentuk kekerasan politik, meskipun sering kali dibungkus dengan dalih kearifan lokal atau perjuangan rakyat kecil.
Di titik inilah ujian sejati negara hadir. Apakah negara akan tunduk pada tekanan ormas-ormas preman, atau berdiri tegak membela hukum dan keadilan? Apakah aparat penegak hukum akan berani bertindak tanpa pandang bulu, atau justru menjadi alat pelindung bagi kelompok tertentu?
Publik menunggu ketegasan negara. Para pelaku usaha menuntut kepastian hukum. Dan rakyat kecil berharap bisa hidup tanpa rasa takut di lingkungannya sendiri.
Premanisme yang berlindung di balik atribut ormas adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi, hukum, dan keadaban publik. Sudah saatnya negara membersihkan ruang publik dari kekuatan informal yang menggerogoti wibawa hukum dan kepercayaan rakyat. Negara tidak boleh kalah, apalagi tunduk, pada premanisme berkedok ormas. Ini saatnya membuktikan bahwa hukum adalah panglima, bukan kekuatan jalanan.
(AN)