Prediksi 2021: Politik Elektoral Tidak Ada, Polarisasi Naik?

Prediksi 2021: Politik Elektoral Tidak Ada, Polarisasi Naik?

Politik elektoral memang tidak ada 2021 mendatang, tapi tampaknya intoleransi dan polarisasi akan tetap ada dan tugas kita bersama untuk terus melawan

Prediksi 2021: Politik Elektoral Tidak Ada, Polarisasi Naik?
Contoh salah satu sikap intoleransi. Gambar hanya ilustrasi terkait perisitwa intoleransi di Yogya beberapa waktu lalu. Pict by Toni Malakian

Tahun 2021 tidak politik elektoral. Lalu, bagaimana kondisi politik dan keagamaan tahun 2021 yang sudah di depan mata? Abdul Gaffar Karim dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM menjelaskan, meskipun politik elektoral sudah tidak ada lagi, tapi bukan berarti kaitan antar agama dan politik juga mereda. Apalagi jika mengaitkan dengan polarisasi, apakah juga hilang?

“Politik elektoral  yang menurutnya memberi ruang ekspresi terhadap persoalan-persoalan dalam relasi keagamaan juga akan terus ada, tidak berartiketiadaan politik elektoral lantas menghilangkan problematika dalam kehidupan keberagamaan. Jadi meskipun tidak ada politik elektoral tahun 2021, tetap saja akan tetap ada (polarisasi, intoleransi dll-ed),” tuturnya. dalam konferensi pers rekomendasi Temu Kader Penggerak (TUNAS) Jaringan Gusdurian 2020 secara daring (16/12).

Jadi, meskipun tidak ada politik elektoral di tahun 2021, tegas Gaffar, Jaringan GUSDURian tetap memandang penting untuk tetap menjaga relasi keberagamaan yang sejuk, keberagamaan yang ramah satu sama lain, keberagamaan yang menghargai perbedaan. Ia juga menambahkan, karena problem dalam relasi keberagamaan muncul dan bersifat permanen ketika orang tidak bisa menerima perbedaan dan keragaman.

“Meskipun 2021 tidak ada politik elektoral, tidak ada pilkada, tidak ada pemilu, di tahun 2021 paling pilkades adanya, tapi, saya kira kerja-kerja untuk mempromosikan keberagamaan yang ramah itu harus tetap dilakukan. Itu prinsip.” Abdul Gaffar menambahkan paparannya.

Dalam penuturan Abdul Gaffar Karim, terkait isu HAM menurutnya memang perlu upaya juang yang konsisten dan kontinyu dalam penegakkan HAM agar persoalan di masa lalu bisa memperoleh tindakan hukum yang seharusnya. ia juga  menerangkan sebagian kekuatan politik yang punya andil dalam persoalan HAM di masa lalu itu masih memiliki kuasa di masa kini.

GUSDURian diharapkan mampu untuk terus memerjuangkan upaya penegakan HAM sampai kapanpun. Minimal dengan meluruskan sejarah dan memurnikannya dengan memberikan informasi yang real kepada publik tentang beberapa persoalan masa lalu yang masih dicatat atau disampaikan kepada publik dengan cara yang distorsi.

“Nah, kita tidak ingin kejadian seperti penulisan sejarah pada tahun 1965 yang penuh distorsi itu terulang kembali, jadi, kita minimal menargetkan agar kejadian-kejadian itu bisa memeperoleh kejelasan. Tentu saja yang lebih ideal adalah untuk memastikan bahwa siapapun yang bertanggungjawab dalam kejadian HAM masa lalu itu memperoleh tindakan yang setimpal, akan tetapi, uapaya untuk mecapai itu perlu kita lakukan tanpa menimbulkan persoalan baru di masa kini yang hanya akan membuat kita kesulitan menjaga konsensus kebangsaan.”

Lebih jauh lagi, Gaffar juga menjelaskan bahwa, perlunya upaya yang benar-benar terukur, persisten dan terus menerus. Tidak eksesif dan tidak terburu-buru. Ia juga mengontari soal pilkada dan sikap GUSDURian sejak bulan September  menyampaikan sikap tegasnya soal pertimbangan kesehatan dan kesejahteraan dalam kontestasi pilkada kemarin dengan meminta kepada pihak yang mempunyai wewenang untuk mengundurnya untuk mencegah adanya penyebaran Covid-19 sehingga menjadikan pilkada ini sebagai titik persoalan baru di Indonesia.

Baca juga: Kata Jokowi, Jangan Karena Pilkada Persaudaraaan Retak

“Akan tetapi, sebenarnya kita bisa melihat bahwa konsen yg disuarakan oleh banyak kalangan justru membuat pelaksanaan pilkada 2020 itu nampak betul-betul sangat memerhatikan protokol pandemi, saya kira ini merupakan salah satu esensi utama seruan jaringan GUSDURian,” tambahnya.

Meskipun target kita untuk meminta agar pilkada ditunda sampai pandemi bisa betul-betul terkendali tidak tercapai, akan tetapi, setidaknya kita melihat bahwa pelaksanaanya betul-betul memerhatikan protokol pandemi. Tegasnya.

Menurutnnya, bila dilihat secara objektif peningkatan kasus positif covid-19 yang terjadi dibeberapa titik itu sebenarnya karena ada pemeriksaan yang cukup intensif kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab di lapangan jelang pilkada.

“Nah, artinya sistem deteksi berjalan dengan baik yang terpenting yang bersama-sama telah kita observasi adalah bahwa pelaksanaan pilkada itu telah dilaksanakan dengan betul-betul memerhatikan protokol pandemi, sejauh ini menurut saya kita patut mensyukuri bahwa sebagian dari tuntutan jaringan GUSDURian pada bulan September yang lalu itu sudah terpenuhi,” tutupnya.

Konferensi Pers Tunas GUSDURian 2020 yang laksanakan secara daring via zoom bisa juga disaksikan di laman Facebook KH. Abdurrahman Wahid. Konferensi Pers ini sebagai sarana penyampaian rekomendasi-rekomendasi pandangan Jaringan GUSDURian untuk Indonesia, yang sebelumnya sudah dibahas dalam forum-forum isu strategis yang melibatkan lebih dari seratus dua puluh tiga panelis /tim ahli yang kemudian diambil gagasannya untuk dirumuskan kembali menjadi sembilan point. Kesembilan poin itu disampaikan oleh tiga orang penyampai yaitu, Savic Ali, Nur Rofiah, Bil, Uzm., dan Alissa Wahid secara bergantian.