Beberapa hari belakangan, menjelang idulfitri 1444 H, 2023 M, saya menyaksikan beberapa teman saya mengunggah foto hamper atau bingkisan lebaran di Instastory. Dalam unggahannya, mereka sambil menulis, “Wah, aku dapat kiriman hampers lebaran dari teman, thank you. Tunggu balasan hampers-ku, ya.”
Praktik saling memberi hamper di momen lebaran memang bukan hal yang sepenuhnya buruk. Sebagiannya bernilai baik karena memungkinkan orang untuk saling berbagi.
Di masyarakat tempat saya tinggal, praktik saling memberi hamper ini relatif adalah praktik yang baru. Praktik ini mulai dilakukan beberapa tahun belakang terutama sejak pandemi Covid-19. Praktik yang kemudian lazim disebut hampers covid-19 ini berisi barang-barang seperti masker dan pembersih tangan. Semakin hari, praktik ini kemudian dinormalisasi.
Praktik memberi hamper ini menjadi bermasalah ketika didasari atas dasar gengsi dan keinginan untuk saling balas hamper. Salah satu teman saya di Instagram, misalnya, mencurahkan isi hatinya, “Aku sudah ngasih dia hampers lebaran tapi aku nggak dikasi balik. Andai aku tahu sejak awal aku nggak ngasih hampers.”
Dengan kata lain, memberi hamper saat lebaran sebagai praktik baru seolah-olah mewajibkan seseorang untuk saling balas memberi hamper. Apa yang diperlihatkan teman saya itu seolah memberi pengertian, ketika pemberian hamper tidak dibalas dengan pemberian serupa, maka hubungan sosial akan terganggu.
Fenomena saling memberi hamper di momen lebaran menjadi menarik perhatian saya karena banyak dilakukan oleh teman-teman saya di Instagram. Mereka memotret hamper yang mereka terima lalu mengunggahnya ke Instastory mereka.
Jika menggunakan kacamata kajian budaya media, praktik “saling memberi hamper lalu diunggah di media sosial” sebetulnya semacam praktik self-image-promoted. Melalui praktik ini, penerima hamper seakan memiliki citra sebagai “seseorang yang banyak teman,” sedangkan yang mengirimi hamper akan mendapat citra sebagai “teman yang peduli.”
Praktik Memberi Hamper di Beberapa Budaya
Praktik ini sebetulnya berasal atau bermula sejak Abad Pertengahan di Eropa ketika para bangsawan dan wanita memberikan hadiah makanan dan minuman kepada para pelayannya lewat sebuah keranjang sebagai hadiah atas kerja keras mereka sepanjang tahun.
Pada abad ke-19, hamper atau hampers (dalam Bahasa Inggris) menjadi hadiah yang populer untuk natal dan hari libur lainnya. Isinya mencakup barang mewah seperti anggur, cokelat, dan berbagai macam makanan kelas atas. Praktik memberi hamper ini kemudian berlanjut hingga abad ke-20.
Di pertengahan dan akhir abad ke-20, praktik memberi hamper paling banyak dilakukan oleh perusahaan bisnis sebagai cara untuk memberi penghargaan kepada karyawan mereka. Praktik ini juga dilakukan sebagai bentuk terima kasih kepada klien bisnis mereka.
Di beberapa budaya, seperti di Jepang, pemberian hamper adalah praktik sosial yang penting. Hamper, atau Oseibo dan O-chugen dalam Bahasa Jepang, diberikan pada bulan tertentu sebagai penghormatan dan rasa terima kasih kepada teman, keluarga, dan rekan bisnis.
Penjelasan lebih lanjut soal praktik pemberian hamper di Jepang bisa ditemukan, salah satunya, dalam Gift-Giving in Japan: Cash, Connections, Cosmologies yang ditulis oleh Katherine Rupp. Di buku itu, Rupp mengeksplorasi berbagai makna dan motivasi di balik praktik memberi hamper di Jepang.
Dari kronologi singkat di atas, kita dapat memahami bahwa praktik memberi hamper sebetulnya telah ada sejak dahulu dan telah mengalami perkembangan. Kini, misalnya, praktik ini bukan hanya untuk keperluan merawat relasi bisnis tapi juga sudah mulai masuk ke ranah praktik sosial-keagamaan.
Dalam tradisi muslim, terutama di masyarakat muslim tempat saya lahir dan dibesarkan, Sulawesi Selatan, praktik memberikan hamper juga mulai dilakukan. Beberapa orang di sekeliling saya melakukan itu saat pandemi Covid-19 datang, yang mereka sebut sebagai hampers Covid-19.
Praktik memberi hamper ini kemudian menjadi tren dua tahun belakangan. Bahkan, seperti yang saya singgung di awal tulisan, tahun ini, beberapa teman saya merayakan lebaran dengan saling mengirim hamper. Setelah saling menerima, hamper itu dipotret dan diunggah ke medsos masing-masing.
Dampak Negatif dari Budaya Hamper saat Lebaran
Seperti halnya budaya baru yang lain, praktik memberi hamper tidak datang tanpa turut mendatangkan dampak negatif. Praktik baru ini, tentu saja, punya dampak positif seperti mempromosikan solidaritas dan dukungan antar-individu di suatu komunitas warga, tetapi, praktik baru ini juga akan berdampak negatif.
Berangkat dari pengamatan saya, setidaknya, ada dua dampak negatif yang akan terjadi dari praktik ini. Pertama, jika ini dilakukan secara massal dan terus-menerus maka akan muncul hegemoni. Hal ini akan menimbulkan “keharusan” kepada setiap orang agar mereka semua turut memberi hamper.
Dengan begitu, muncul tekanan kepada individu yang tidak mampu untuk memberi atau membalas memberi hamper. Mereka yang tidak bisa memberi hamper menjadi merasa bersalah dan merasa malu. Mereka merasa tidak bisa berpartisipasi dalam praktik saling memberi hamper di hari raya. Padahal, hal itu tak lebih karena keterbatasan finansial mereka, misalnya,
Kedua, menyambung dampak negatif itu, praktik memberi hamper dapat memperparah kesenjangan sosial yang ada di suatu masyarakat. Artinya, budaya memberi hamper ini dapat memperkuat struktur sosial yang hierarkis dan timpang. Misalnya, para warga atau orang-orang yang tidak dapat berpartisipasi dalam praktik ini distigma “lebih rendah”.
Begitupun sebaliknya, penerima hamper yang lebih banyak dan lebih mahal akan dilihat lebih tinggi hierarkinya dan lebih layak mendapatkan pengakuan sosial. Sementara, mereka yang menerima hamper yang lebih sedikit atau tidak sama sekali, seakan dianggap “negatif”, dianggap lebih rendah sehingga layak untuk dipinggirkan.
Singkatnya, memberi hamper di momen lebaran sebagai budaya baru di beberapa komunitas di Sulawesi Selatan perlu disadari, terutama, potensi akan dampak negatifnya. Salah satu yang bisa dilakukan agar terhindar dari jebakan negatif itu adalah memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, dan tidak ada paksaan bagi siapapun untuk turut berpartisipasi.
Praktik ini juga bisa ditransformasikan. Pemberian hamper, misalnya, ditujukan pada kelas bawah atau dalam istilah agama Islam dikenal dengan sebutan mustadh’afin. Tujuan pemberian hamper juga harus ditransformasikan, yakni untuk tujuan kesejahteraan orang-orang lemah itu. Dengan demikian, praktik memberi hamper dapat menjadi manifestasi dukungan sosial-keagamaan yang lebih profetis.