Betapa lamban sejarah bergerak meninggalkan masa lalu. Dua jenderal gemuk inilah penyebabnya. Yang satu adalah mantan menantu Soeharto, dan yang satu lagi menantu Sarwo Edhi — dua sosok monster genosida 1965 setara Hitler dan Himler.
Jika Hitler membayangkan kekuasaan The Third Reich-nya berlangsung seribu tahun — namun gagal mewujudkannya karena hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun ambisinya telah menghancurkan Eropa dan menimbulkan perlawanan seluruh dunia — kekuasaan Orde Baru berjalan relatif tanpa perlawanan selama tiga dekade dan cukup leluasa menanamkan benih-benih penerusnya hingga generasi ketiga.
Mereka masih malang-melintang di jagad politik demokrasi elektoral — sebuah medan yang sangat memungkinkan kalangan elite-politik lama untuk berkiprah leluasa. Bukan kebetulan jika dua jenderal gendut ini pada akhirnya berkoalisi untuk melawan Jokowi.
Diselingi oleh sebuah “interlude” lucu dari mereka yang menamakan diri ijtima-ulama yang mencalonkan pasangan Prabowo dan Salim Segaf/ Dul Somad sebagai Capres dan Cawapres, hari ini dua jenderal mantu itu kembali bikin kongkalikong baru. Tampaknya mereka sedang menyusun jurus pamungkas untuk mengalahkan Jokowi.
Bagi mereka, secara genealogis Jokowi dianggap sebagai “wong njobo,” berasal dari luar trah kekuasaan para jenderal yang gagah perkasa, dan yang terpenting tidak punya hak warisan untuk melanggengkan kejayaan para kstaria leluhur Orde Baru. Hanya dengan memahami percaturan kekuasaan yang sedang berlangsung riuh-rendah sekarang dari perspektif para jenderal generasi kedua ini, kita bisa mengerti mengapa dua orang ini masih kelihatan punya kepercayaan diri yang sangat tinggi bisa memenangkan pertarungan.
Maka, dengan sisa-sisa modal kekuatan ekonomi yang masih di genggaman, dengan jaringan para pendukung kedua jenderal di jajaran birokrasi dan militer, serta dengan perkoncoan saling-memanfaatkan di kalangan para petualang Islamis-jalanan, kita segera akan menyaksikan manuver-manuver berikutnya hingga sepuluh hari ke depan ini.
Bagi kita, generasi yang sudah terlalu “fed-up” dengan manuver-manuver politik para jenderal, mereka betul-betul membosankan. Melihat mereka masih petakilan di berbagai penjuru penglihatan membuat kita merasa sejarah seperti berhenti di tempat.