Para politisi atau Capres-Wapres seperti Prabowo-Sandiaga maupun petahana kerap pura-pura atau hal-hal aneh demi politik. Saya jadi teringat waktu di kampus. Pura-pura miskin. Begitulah olok-olok yang mafhum disematkan kepada PPM–partai milik PMII untuk pemilu di kampus UIN Ciputat. Dalihnya lantaran kader dan simpatisan PPM cuma berkedok miskin saja dengan pakaian yang compang-camping. Beda dengan anak Parma–partainya HMI, yang terkesan parlente. Padahal banyak kader dan simpatisan PPM berasal dari keluarga berada di kampungnya. Bahkan banyak sekali anak kiai dengan ribuan santri.
Namun, justru gaya pura-pura miskin ini yang bikin anak-anak PPM lebih mudah diterima dalam pergaulan lintas tongkrongan. Di kalangan mahasiswa elitis, masuk. Karena mereka dianggap bukan pesaing buat adu gengsi. Di kalangan kutu buku dan ahlul diskusi ngemper, masuk. Lebih-lebih di kalangan majelis pohon rindang dan jamiyah kresek hitam.
Pendeknya, golongan pura-pura miskin ini jadi bukti kelas intelektual kampus tak selamanya bertengger di atas menara gading. Perkara PPM tak selalu menang, itu soal lain. Politik lebih rumit dari sekadar diterima lintas tongkrongan kampus. Namun toh, ketika kalah, anak PPM bisa mengklaim sebagai people champion buat sekadar menghibur diri sendiri.
Dalam konteks politik nasional kiwari, saya melihat strategi pura-pura miskin ini sedang dimainkan kubu Prabowo-Sandiaga. Lewat permintaan donasi dari kader partai-partai pengusungnya hatta simpatisannya. Lewat curhatan Sandiaga yang jual saham perusahaannya buat biaya kampanye.
Pilpres memang butuh dana besar. Namun, rasanya aneh jika sekelas Prabowo dan Sandiaga yang sudah lama dikenal sebagai bagian dari sedikit orang superkaya di negeri ini sampai kesulitan menggalang dana kampanye. Mereka pasti punya jejaring bisnis yang luas. Tak terbatas di dalam negeri saja.
Bil khusus Prabowo, bahkan sudah mewarisi gen oligark dari bapaknya. Ditambah lagi dia pernah jadi mantu orang terkuat di negeri ini: Soeharto. Susah buat bilang dia bagian dari kaum miskin, seperti klaimnya selama ini.
Kekayaan mantan Danjen Kopassus ini pada 2014 senilai Rp1,67 triliun plus US$7,5 juta atau setara Rp108 miliar. Uang sebanyak itu kiranya tak bakal habis buat kontestasi di pilpres yang lalu. Apalagi wakilnya saat itu, Hatta Rajasa juga berduit dan disokong banyak pengusaha seperti ARB yang superkaya.
Belum lagi di belakangnya ada Hashim Djojohadikusumo yang kekayaannya mencapai Rp12,3 triliun dan dinobatkan Forbes sebagai orang paling kaya ke-35 di negeri ini.
Oiya, kekayaan Sandiaga senilai Rp4,3 triliun tentu berlipat-lipat dari harta Ma’ruf Amin yang cuma Rp11,64 miliar. Sementara, pada Pilgub DKI Jakarta saja Sandiaga menyumbang dana kampanye sampai lebih kurang Rp60 miliar.
Jokowi disokong banyak oligark di belakangnya juga betul. Surya Paloh, Eric Thohir, sampai Jusuf Kalla. Namun, pengakuan Sandiaga bahwa Eric adalah karibnya, justru membuktikan kalau bos Saratoga ini tak benar-benar terkunci soal pendanaan kampanye.
Sependek pengetahuan saya, tak ada pebisnis yang bakal menanam modal cuma buat satu politikus saja. Itu sama saja bunuh diri. Karena politik selalu 50:50. Siapa saja bisa menang.
Lantas kenapa strategi pura-pura miskin ini penting bagi pasangan oposisi ini? Hemat saya, Prabowo dan timnya belajar dari kekalahan Pilpres 2014.
Saat itu, selain karena menjadi media darling, popularitas dan elektabilitas Jokowi cepat terkerek lantaran dianggap representasi wong cilik. Sosok baru yang bersih dari pengaruh kekuasaan politik dan modal lama. Sangat berbeda dengan Prabowo yang dilekatkan sebagai kepanjangan tangan Orde Baru dan ancaman bagi demokrasi. Masih pula diberatkan dengan isu pelanggaran HAM yang menjerat dirinya.
Apa Jokowi benar-benar bebas dari pengaruh pemodal waktu itu? Tentu tidak. Harus diakui, PDIP sebagai penyokong utama mantan Wali Kota Solo ini juga bagian dari sisa kekuatan politik masa lalu lewat gen Soekarno yang mengalir di tubuh Megawati. Surya Paloh juga mendukung Jokowi.
Namun, publik masa bodoh dengan semua itu. Jokowi terlanjur dianggap sebagai “kita”–wong cilik dan kelas pekerja. Anti tesa gaya SBY yang elitis selama 10 tahun memimpin Indonesia.
Maka, meskipun Prabowo-Hatta saat itu membawa aneka konsep dan gagasan peningkatan daya ekonomi Indonesia, publik terlanjur ingin dipimpin Jokowi yang dipandang bisa kerja nyata.
Saat ini, setelah banyak janji tak terpenuhi dan kondisi perekonomian yang tak menentu, Jokowi adalah kita mulai luntur. Tapi Jokowi adalah cebong dan bakul omong.
Dan, di sinilah strategi pura-pura miskin Prabowo-Sandiaga efektif membalik keadaan. Meskipun Prabowo masih dianggap sebagian pihak sebatas baki omong saja dan kerap ngawur, tapi dia dinilai punya ketegasan buat melawan dominasi ekonomi segelintir wong sugih di belakang Jokowi.
Sementara, Sandiaga dianggap mampu menjadi tukang kerja kerja kerja buat pemerintahan baru dengan energi mudanya blusukan ke setiap pelosok Indonesia. Sebuah hal yang hampir mustahil bisa diharapkan dari Ma’ruf Amin.
Terbukti, elektabilitas pasangan nomor urut 02 ini sudah berada di angka 30,6 persen per Desember 2018 menurut sigi Lingkaran Survei Indonesia. Naik lebih kurang 10 persen dari sigi setelah deklarasi pasangan ini, Agustus lalu. Tren baik dibandingkan pasangan Jokowi-Ma’ruf yang stagnan di kisaran 53-54 persen di sejumlah sigi lembaga survei.
Masih tersisa 3 bulan sampai pencoblosan. Kalau kubu Jokowi-Ma’ruf tak segera ambil sikap pada strategi pura-pura miskin Prabowo-Sandiaga ini, hemat saya, bukan tidak mungkin hasil pasangan nomor urut 01 itu bakal mengikuti nasib Megawati Soekarnoputri di 2004. Petahana tapi kalah.