Prabowo-Jokowi, Partai Islam dan Politik Kebohongan

Prabowo-Jokowi, Partai Islam dan Politik Kebohongan

Jejak partai islam harusnya menghindari diri dari kebohongan, lalu bagaimana kubu Prabowo dan Jokowi bekerja?

Prabowo-Jokowi, Partai Islam dan Politik Kebohongan
Ada potensi politisasi agama di tiap calon. rakyat harus jernih melihatnya, termasuk janji untuk umat Islam

Kondisi politik menjelang tahun 2014 terulang kembali saat ini. Hal ini dikarenakan pada Pilpres tahun 2019 besok menampilkan dua calon presiden yang sama, yaitu Ir. Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Sebagian besar kekuatan yang berada di balik mereka pun masih sama. Kalangan yang mengeklaim sebagai kelompok partai Islam ada di kubu Prabowo Subianto, seperti PAN dan PKS. Bahkan, calon wakil presiden dari kubu Prabowo Subianto, yaitu Sandiaga Salahudin Uno, dinobatkan menjadi santri meski tidak memiliki rekam jejak belajar di pesantren secara berkesinambungan dan intensif.

Dalam setiap perhelatan politik, selalu ada manuver atau pola perilaku yang bertujuan menarik simpati masyarakat. Tak terkecuali dari Sandiaga Uno yang mendampingi Prabowo Subianto. Kita masih ingat beberapa pernyataan Sandiaga Uno yang mengejutkan, misalkan tempe setipis kartu ATM dan makan siang di Indonesia lebih mahal dibanding di Singapura.

Ketika menilik data faktual, jelas pernyataan ini salah besar. Seperti diungkap Tirto, biaya hidup di Singapura 130 persen lebih mahal dibanding di Jakarta. Lebih spesifik lagi, biaya makan siang di Singapura berada di harga Rp 134.000,00 atau SGD 12, sedangkan di Jakarta seseorang bisa makan siang dengan harga Rp 87.000,00.

Begitu pula pernyataannya tentang tempe setipis kartu ATM. Menurutnya, untuk menjaga harga agar harga tidak meningkat akibat harga bahan tempe meningkat, maka ukuran tempe ditipiskan menjadi setipis kartu ATM. Sama halnya tahu, katanya tahu sekarang ukurannya semakin kecil karena untuk menjaga harga tidak naik sedangkan harga bahan untuk membuat tahu meningkat.

Faktanya, tahu dan tempe yang besar dan tebal masih banyak ditemui di pasar. Pernyataan tak kalah mengejutkan pun pernah dilontarkannya tentang uang Rp 100.000,00 yang hanya bisa digunakan untuk membeli bawang dan cabai, meski pada faktanya uang Rp 100.000,00 bisa membeli lebih dari itu.

Pernyataan-pernyataan Sandiaga Uno ini, meski mengaku tidak ada kaitannya dengan politik praktis, tetapi tetap saja ada muatan untuk mengkritik pemerintah dan menarik simpati masyarakat. Pernyataan tersebut seolah-olah memperlihatkan bahwa kubu Prabowo-Sandiaga memperhatikan keluhan rakyat kecil. Meski demikian, apakah memperhatikan keluhan rakyat kecil harus disampaikan dengan bahasa-bahasa yang hiperbola dan tak berdasar?

Seperti yang telah diulas oleh Tirto, menyebut dengan mengutip pendapat Orwell dalam esainya yang berjudul Politics and the English Language bahwa bahasa politik Sandiaga Uno jauh dari kebenaran. Lebih lanjut, Tirto menganalisis sikap Sandiaga dengan ilmu retorika dan mengutip bab The Range of Rhetoric dari buku Modern Rhetorical Critism. Bahwa pernyataan-pernyataan Sandiaga tersebut tidak memenuhi empat aspek retorika, yaitu tak berbasis fakta, pernyataannya cenderung tidak bernilai, tidak memperhatikan fondasi moral, dan tidak bermanfaat memecahkan kermaslahatan bersama.

Menarik mencermati fenomena Sandiaga dan siapa saja yang mendukungnya. Partai yang mengeklaim partai Islam seperti PAN dan PKS berada di belakang Sandiaga. Bahkan, dirinya dinobatkan menjadi santri milenial. Namun, sikapnya pun menunjukkan tidak berdasar nilai Islam. Tidak ada korelasi positif antara klaim partai Islam dengan sikap orang-orang yang berada di lingkarannya. Termasuk, Sandiaga yang kerap melontarkan pernyataan unik namun tidak berdasarkan data faktual, alias bohong.

Maka dari itu, Nurcholis Majid pernah mengatakan bahwa Islam Yes, Partai Islam No. Meski sempat mengoreksi pernyataannya pada 2004, namun pernyataan itu kembali relevan di saat partai yang mengeklaim sebagai Partai Islam tidak bisa merepresentasikan nilai-nilai Islam. Hal ini dikarenakan adanya kerentanan mereduksi Islam menjadi sebatas alat untuk mencapai kepentingan kelompok. Padahal, Islam atau Partai Islam bukan soal klaim, tetapi soal bagaimana orang-orang yang berada di dalamnya memiliki dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam.

Di sisi lain, jika ada klaim Partai Islam namun perilaku oknum tidak sesuai dengan nilai Islam, maka yang tercoreng bukan hanya partai tersebut tetapi juga Islam itu sendiri. Sehingga, klaim Partai Islam ini menjadi sikap buruk dalam politik di Indonesia. Terlebih lagi ketika muncul perilaku-perilaku yang mengindikasikan kurang paham agama dari unsur Partai Islam itu. Belum lama ini, lagi-lagi Sandiaga Uno membuat ulah dengan melangkahi atau melompati makam KH. Bisri Syansuri, seorang ulama besar Nusantara yang juga pendiri Nahdlatul Ulama.

Menata dirinya memenuhi nilai-nilai Islam saja masih kerepotan, bahkan cenderung mereduksi Islam sebagai alat politik. Peristiwa ini pun juga memperlihatkan bahwa tidak perlu menjelek-jelekkan kompetitor politik karena kejelekan itu sangat mungkin terjadi pada dirinya. Tinggal tunjukkan saja prestasi dan rencana pembangunan, tanpa harus merendahkan.