Hampir setiap hari Minggu saya pergi Car Free Day (CFD) Solo untuk sekadar mencari hiburan murah bersama anak istri, menghirup udara segar dan menyicip kuliner. CFD menjadi menarik karena ia ruang publik yang sedemikian bebas. Di CFD Solo misalnya, di satu sisi ada senam ibu-ibu, di sampingnya ada yang memberi pelatihan membaca Alquran gratis, lalu tak jauh dari situ ada yang sedang menggalang dana. Sangat beragam.
Salah satu yang menarik dari CFD Solo adalah adanya komunitas yang memberi pelatihan membaca Alquran gratis. Beberapa orang (sebagian berusia lanjut) duduk lesehan belajar membaca Alquran dibimbing seorang ustad. Komunitas itu punya sejumlah ustad/ustadzah. Mereka juga membagikan hadiah untuk anak-anak kecil yang mau “setor hafalan” Alquran.
Gerakan itu sebetulnya sangat simpatis. Hingga pada Minggu lalu saya mendapati suatu hal yang ganjil. Salah satu ustad di pelatihan mengaji gratis itu mengkampanyekan gerakan #2019GantiPresiden. Beberapa orang pendukung gerakan itu berkumpul bersama mereka, di antaranya ada anak-anak kecil bertopi #2019GantiPresiden.
Sayang sekali, pelatihan mengaji yang semula menarik menjadi “ternoda” karena seakan membentengi diri dengan menyisipkan kampanye #2019GantiPresiden.
Saya bukan tidak setuju dengan penyampaian gagasan #2019GantiPresiden. Siapapun sah mengutarakan pendapatnya. Namun jika belajar mengaji sudah berkubu-kubu alangkah tidak elok. Mereka yang tidak setuju #2019GantiPresiden seolah tidak boleh belajar mengaji dengan mereka. Politik memang bebas nilai, tapi seringkali cara berpolitik yang tak dewasa dan tidak pada tempatnya malah dapat memecah belah persaudaraan.
Ya, banyak yang berubah dan bergeser di tahun politik. Lalu bagaimana dengan media Islam? Idealnya mereka bisa menjadi penyejuk di tengah suasana yang mulai memanas, dan bukan sebaliknya. Minimal bisa menulis berita yang cenderung proporsional.
Sayangnya, sejumlah media (yang berlabel) Islam cenderung partisan dan memihak salah satu kelompok. Bahkan tak jarang melakukan serangan tajam. Sesuatu yang akhirnya membuat kerja mereka tak layak disebut “kerja jurnalistik”, dan lebih tepat disebut “menulis selebaran”.
Eramuslim misalnya, terang-terangan memberi suara untuk Prabowo. Atau lebih luas mereka menyuarakan #2019GantiPresiden. Mereka menurunkan sejumlah tulisan, semisal: Amien Rais Yakin Prabowo Bisa Kalahkan Jokowi di 2019, Polling Viva: 71% Pilih Prabowo Jadi Presiden, Gerindra: Prabowo atau Bukan, Yang Penting 2019 Ganti Presiden. Membaca tulisan-tulisan itu jelas kemana arah dukungan Eramuslim, sebuah lama yang pernah diblokir pemerintah karena dianggap radikal. Eramuslim bahkan menjadi tameng paling depan menjawab serangan-serangan yang dialamatkan kepada Prabowo (soal 2030 contohnya).
Sayangnya, tulisan-tulisan berbobot rendah yang melukai nalar juga masih mereka hasilkan. Simak saja tulisan: Ini Identitas Dukun Yang Ingin Santet Prabowo, Lukisan Habis Gelap Terbitlah Terang, Ada Wajah Misterius di Samping Prabowo. Boleh jadi, tulisan-tulisan itu adalah tolok ukur mutu mereka. Jika benar, alangkah miris, kemunduran Islam justru disebabkan oleh kelompok-kelompok dalam Islam sendiri.
Lantas bagaimana cara mereka menulis tentang Jokowi?
Sebagaimana sudah bisa diduga, Jokowi “dihabisi” di Eramuslim (dan media serumpun). Perhatikan judul-judul ini: Pertemuan PA 212 dengan Jokowi Percuma, Ga Ada Hasil, Menag era Jokowi Gerah Dengan Ucapan Amien Rais soal Sisipan Politik di Pengajian, Elektabilitas Jokowi Katanya Tinggi, Kok Rupiah Nyungsep?, Iwan Sumule Yakin Jokowi Kalah Telak. Tulisan seperti itu akan terus direproduksi, tentu dengan mengabaikan kualitas. Bahkan mereka bisa membuat tulisan sekelas: Ust Tengku Zulkarnaen Bandingkan Biaya Makan Era SBY dan Jokowi.
Isu-isu yang terus dihembuskan adalah soal Jokowi yang tidak memihak Islam, isu asing-aseng dan hal-hal remeh lainnya. Seolah apapun harus ditulis dan dimuat selama bisa menjatuhkan citra Jokowi. Tak peduli ada atau tidak bukti yang menyertai. Sebagian besar tulisan bermuatan opini. Framing dalam media adalah sah dan lazim, tapi framing yang dikonstruksi mestinya jangan gitu-gitu amat.
Sejatinya kode etik jurnalistik memuat nilai-nilai Islam. Tentu saja pekerjaan ini sangat islami. Maka, jika media (berlabel) Islam itu abai etika jurnalisme, bahkan mengarah pada kebencian dan framing yang justru untuk politik jangka pendek semata, jenis tulisan seperti apa yang mereka hasilkan? Dan, yang lebih penting, masa depan islam seperti apa yang mereka bayangkan?