agi banyak orang, termasuk saya, pilpres ini sudah berakhir sejak kita mencoblos pada 17 April 2019. Namun, bagi Prabowo momem itu adalah abadi yang terus-menerus menghantui dan terkait dengan dirinya. Ia menganggap pada hari itu justru kemenangan sebagai orang nomor satu ini yang diraihnya.
Momentum itu kemudian dipercaya olehnya juga para pendukungnya. Akibatnya, pilpres benar-benar tidak pernah selesai, melainkan sebagai proses bahwasanya kemenangannya tertunda karena faktor kecurangan yang sejak awal dicurigainya. Sikap ini bukan hanya delusif, tetapi menjadi bagian paranoia tentang dirinya dan realitas yang dilihatnya.
Akibatnya, karena merasa bahwasanya dirinya menang, logika berpikirnya tidak jauh dari tanggal tersebut. Takziyah yang seharusnya ritual sakral sebagai bentuk ekspresi duka tidak luput dari momentum yang tidak pernah berakhir tersebut. Orang boleh saja menganggapnya tidak pantas dan elok, tapi hidupnya memang masih masuk dalam kerangkeng momentum itu.
Meskipun bagi SBY dan masyarakat kebanyakan, membicarakan dukung mendukung politik itu tidak pantas dan elok, karena sedang mengalami fase sedih dan berkabung, yang kemudian diamini oleh masyarakat. Ini karena, hal itu sebenarnya standar minimal moralitas yang bisa dilakukan saat kita melakukan takziyah dan menyatakan kesedihan atas perasaan kehilangan.
Ironisnya, kondisi ini seharusnya cukup beliau saja yang mengalaminya. Tidak perlu diikuti oleh pendukungnya. Namun, jika diamati di akun media sosial Twitter dan sejumlah WhatsApp group, sikap delusionalnya ini memiliki titik persinggungan yang sama. Jika seperti ini, bagaimana kita bisa menempuh jalan rekonsiliasi, kalau tidak ada keterbukaan?.
Di tengah struktur sosial Indonesia yang patriarki dan patron-klien, pilpres sebenarnya bisa selesai pada 17 April 2019 tersebut. Namun, selama elit politiknya menganggap ini adalah tahun yang tidak pernah berakhir, bukti kekalahan apapun tidak akan mempan untuk disuguhkan. Akibatnya, kondisi normalisasi pasca pilpres akan sulit diwujudkan.
Kita akan terus-menerus mengalami kondisi turbulensi politik ke depan.