Prabowo Bertelanjang Dada: Hegemoni Maskulinitas Sang Capres

Prabowo Bertelanjang Dada: Hegemoni Maskulinitas Sang Capres

Prabowo bertelanjang dada dan menunjukkan bahwa ia kuat

Prabowo Bertelanjang Dada: Hegemoni Maskulinitas Sang Capres
Prabowo dan partai harusnya bisa jadi oposis bagi pemerintahan Jokowi, nyatanya tidak konservatif Pict By Beritagar

Prabowo bertelanjang dada dan menunjukkan kepada khalayak: ia kuat. Hal itu dilkukan usai rapat Rapart Kordinasi Nasional (Rakornas) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat pada 11 April 2018, muncul di media sosial dan menjadi viral, yaitu Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra diarak dengan bertelanjang dada sambal mengepal tangan kanannya ke atas. Pertanyaan yang muncul, apa sebenarnya maksud dari telanjang Prabowo tersebut yang ingin disampaikan ke publik?

Bagi ketua DPP Gerindra Nizar Zahro, video itu sebenarnya ingin menunjukkan bahwa Prabowo masih bugar untuk mengikuti Pemilu Presiden 2019 (www.tribunnews.com, 12 April 2018). Kebugaran inilah yang menurut Fadli Zon menunjukkan bahwasannya Prabowo itu sama dengan Putin, yang terlihat fit dan gagah. Meskipun saat menyamakan Prabowo dengan Putin saat bertelanjang dada, warganet sebenarnya sudah bisa melihat mana yang proporsional dan tidak. Dengan menunjukkan diri telanjang dada inilah Fadlin Zon juga menantang Jokowi untuk memperlihatkan dadanya untuk menunjukkan kegagahan tersebut. Di sisi lain, bagi Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal Gerindra, apa yang dilakukan Prabowo tersebut merupakan tradisi militer untuk menunjukkan solidaritas pemimpin terhadap anak buahnya (www.tempo.co, 14 April 2018).

Meskipun menunjukkan kegagahan dan kebugaran, secara visual, telanjang dada itu ditunjukkan Prabowo ini kontra-produktif dari kesan yang ingin dimunculkan karena dua hal. Pertama, bentuk tubuh yang tidak proporsional. Meskipun diusia 65, ia masih dianggap segar bugar sehingga memungkinkan untuk maju dalam Pilres 2019, telanjang dada tersebut justru menunjukkan bahwasanya sebagai mantan anggota Kopassus justru ia menunjukkan sudah tidak berlatih keras secara fisik. Akibatnya, di media sosial, tindakan itu menjadi bahan rundungan (bullying) warganet.

Kedua, spontanitas dalam genggaman telepon pintar. Diarak dan kemudian bertelanjang dada ini merupakan tindakan spontanitas. Hal ini terlihat dari kualitas kamera sekaligus acara tersebut yang diselenggarakan di ruang tertutup. Di sini, tim pemenangan Prabowo tidak mengantipasi lebih jauh atas kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sehingga ada orang yang merekamnya kemudian tersebar di media sosial. Meskipun Fadli Zon berupaya untuk membela tindakan Prabowo, hal itu menunjukkan ketidaksiapan mengantisipasi kemungkinan yang muncul sehingga menjadi bahan tertawaan lawan-lawan politiknya, khususnya warganet.

Representasi kuat yang ingin ditunjukkan dari ketidaksengajaan terekam dengan telanjang dada Prabowo itu sebenarnya sedang mempraktikan, apa yang disebut oleh R.W Connel (2005) hegemoni maskulinitas. Dengan memanggil kembali ingatan publik atas kekuatan rejim Orde Baru melalui kebijakan dan tindakan desktruktif militernya, telanjang dada Prabowo itu menunjukkan semacam keunggulan maskulinitas, khususnya yang pernah institusionalisasikan dengan kerja-kerja militeristik, mulai dari kedisiplinan, ketahanan fisik, kematangan emosi hingga kerelaan untuk berkorban untuk bangsa dan negara. Tidak terkecuali di dalamnya, melakukan tindakan kekerasan jika itu diperlukan untuk menyelamatkan negara.

Hegemoni maskulinitas ini menemukan konteksnya di tengah menguatnya budaya patriarki yang dihidupi oleh praktik sosial, budaya, sekaligus interpretasi keagamaan yang menempatkan laki-laki jauh lebih unggul ketimbang perempuan. Di sini, imajiinasi negara kuat juga lahir dari praktik hegemoni maskulinitas semacam ini.

Yang berbahaya dari praktik semacam ini adalah tenggalamnya ruang kepada suara yang lain. Dalam hal ini adalah suara dan kekuatan feminitas. Feminitas ini bukanlah sekedar suara dan kekuatan perempuan. Meskipun hal itu menjadi penting dalam diskursus ini di tengah praktik budaya patriarki melalui hegemoni maskulinitas. Secara lebih luas, feminitas adalah yang terakit dengan suara-suara minoritas dan yang dianggap remeh-temeh yang seharusnya mendapatkan tempat pula dalam pergulatan ruang publik sebagai bagian dari masyarakat sipil yang memiliki hak untuk bersuara, termasuk di dalamnya adalah perempuan.

Tanpa adanya kekuatan pengimbang ini, struktur sosial, budaya, agama, dan politik di Indonesia tidak hanya pincang melainkan terlalu berwajah maskulin, yang berimbas kepada banyak hal. Yang lebih kentara adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang jumlahnya sangat signifikan di Indonesia pasca rejim Orde Baru.

Di sisi lain, seiring dengan pembangunan infrastruktur yang pesat di hampir sebagian wilayah Indonesia, ia membangun budaya visual sebagai bagian dari komunikasi politik tentang dirinya di media, baik cetak, televisi, maupun media sosial dengan cukup baik dan tepat. Ya, Jokowi memang tidak terlatih sebagai orator sehingga bisa mengartikulasikan gagasannya secara rapi dan jelas di ruang publik. Namun, kelemahan itu berhasil ditutupi dengan asesoris gaya hidup yang merepresentasikan anak-anak muda melalui penampilannya, mulai dari jaket, sepatu, hingga tunggangan yang digunakan layaknya anak-anak motor, yaitu Chopper.

Adanya vlogger di kanal Youtube, yang merekam aktivitas keseharian kepresidenan Jokowi memperkuat asumsi menguatnya komunikasi retorik visual yang dibangunnya. Dengan wajah yang merakyat dan ciri khas blusukannya, saat informasi Prabowo menunjukkan dadanya, Jokowi justru terpotret sedang menggendong anak-anak suku Asmat di Papua. Hal ini bukan menunjukkan sikap maskulinitas, melainkan tindakan feminim sebagai seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, termasuk warga Papua yang selama mengalami diskriminasi pembangunan yang sebelumnya terlalu Jakarta dan Jawa sentris.

Membangun representasi visual di tengah kehadiran media sosial inilah yang setidaknya turut membantu menaikkan elektabilitas Jokowi. Sebagaimana dicatat oleh Media Survei Nasional (Median), yang pada 24 Maret-6 April, elektabilitas Jokowi mengalami kenaikan, sementara Prabowo menurun. Sebagai petahana, Jokowi memimpin dengan 36,2 persen dan Prabowo 20,4 persen. Kenaikan elektablitas Jokowi dengan bulan Februari 2018, dari 35,0 persen menjadi 36,2 persennya. Sementara Prabowo, sebelumnya 21, 2 persen menjadi 20, 4 persen. Menyusul di bawahnya Gatot Nurmantyo (7 persen), Jusuf Kalla ( 4, 3 persen), Anies Baswedan (2 persen), Muhaimin Iskandar (1, 9 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (1.8 persen), Anis Matta (1,7 persen), Hary Tanoesoedibjo (1,6 persen) TGB M Zainul Majid (1,5 persen), dan Yusrill Ihza Mahendra (1 persen) (www.kompas.com, 16 April 2018).

Bertolak dari sini, Prabowo dan tim pemenangannya, mau tidak mau harus mengubah komunikasi politiknya di ruang publik dari hegemoni maskulinitas yang menawarkan unjuk kekuatan fisik, imajinasi militeristik, dan orasi ketakutan atas masa depan Indonesia sehingga memberikan rasa kecemasan atas narasi-narasi ketakutan yang dibangun. Ini karena, jika pola ini yang dibangun, ia memiliki penantang serius yang datang dari calon presiden yang lain, yaitu Gatot Nurmanyo, yang secara fisik jauh lebih proporsional untuk seusianya dan baru saja turun dari gelanggang militer.

Hal ini tidak berlaku jika, ia kemudian berpasangan dengan Gatot. Namun, jika pola komunikasi ini yang tetap dipertahankan dan ia menginginkan tidak ada matahari kembar dalam kepemimpinannya, setidaknya satu hal yang bisa dilakukan. Prabowo harus memiliki semacam pelatih personal (personal training) untuk melatih anggota tubuhnya terlihat lebih proporsional sehingga memiliki perut kotak-kotak (six pack) sehingga saat telanjang dada dalam kampanye Pilpres 2019, ia bisa unjuk gigi untuk membungkam mulut warganet yang sempat gaduh sekaligus menantang Jokowi.

Walaupun, nada nyinyir dari warganet pasti ada saja dengan mengajukan gugatan, “ini mau berkompetisi dalam Pilpres atau Bina raga?”.