Populisme Modi di India, Covid-19 dan Serangan Kebencian terhadap Islam

Populisme Modi di India, Covid-19 dan Serangan Kebencian terhadap Islam

Bagaimana populisme Narendra Modi di India selama covid-19 berpengaruh pada sentimen kebencian atas nama Islam di India?

Populisme Modi di India, Covid-19 dan Serangan Kebencian terhadap Islam

Di tengah krisis akibat virus Corona, muncul juga krisis lanjutan berupa serangan kebencian atas nama agama dan etnis. Di beberapa kawasan, Jamaah Tabligh masih mengadakan perkumpulan dalam jumlah besar, meski peringatan pemerintah dan lembaga kesehatan nyaring terdengar. Di Gowa, Sulawesi Selatan, pemerintah daerah dan aparat kepolisian menggagalkan pertemuan besar Jamaah Tabligh, yang rencananya diikuti ribuan anggotanya.

Jamaah Tabligh menjadi sasaran kebencian di tengah pandemi virus Corona, teruma di kawasan India. Di media sosial, muncul hastag-hastag yang mendiskriminasi komunitas muslim, karena persebaran Covid-19. Hastag semisal #coronaJihad, #coronaTerrorism dan #coronabombsTablighi menyeruak di twitter dan jaringan media sosial lain di India.

Selama ini, warga India memang sensitif dengan isu-isu keagamaan, khususnya menyangkut muslim. Beberapa komunitas muslim dipersekusi serta mendapatkan ancaman dan diskriminasi di bawah pemerintahan Narendra Modi. Sebagai pengikut populisme politik, manuver Narendra Modi terasa menjadikan agama sebagai amunisi politik, dengan memainkan isu relasi pemeluk agama dan kepercayaan. Kelompok minoritas di India sering mengalami kekerasan, baik melalui kebijakan politik maupun dari komunitas agama mayoritas.

Kejadian bermula ketika ribuan anggota Jamaah Tabligh berkumpul di Delhi, pada pertengahan Maret 2020 lalu. Ketika itu, virus corona sudah menyebar di India dan negara-negara lain. Bahkan, di Italy dan Spanyol sudah menerapkan pengetatan perbatasan serta lockdown sebagian wilayah. Namun, komunitas Jamaah Tabligh tetap ngotot menyelenggarakan ritual keagamaan, yang dihadiri sekitar 8.000 anggotanya. Sebagian peserta, berasal dari luar India yang jauh-jauh datang ke Delhi, meski sudah ada warning dari pemerintah dan lembaga kesehatan internasional.

Pemerintah India merespon cepat pertemuan Jamaah Tabligh di kawasan selatan Delhi itu, dengan mewajibkan karantina dan isolasi mandiri. Ada sekitar 27 ribu anggota Jamaah Tabligh dan keluarganya serta orang-orang yang pernah kontak dengan mereka, diwajibkan karantina untuk mencegah penularan virus Corona. Bahkan, di kawasan Uttar Pradesh, polisi menawarkan imbalan 10.000 rupe bagi mereka yang memberikan informasi tentang siapa saja yang pernah ikut pertemuan Jamaah Tabligh di Delhi pada Maret lalu.

Di tengah pandemi Covid-19, komunitas muslim India serang mengalami kekerasan simbolik dan psikologis. Dr Zafarul Islam Khan, pemimpin Delhi Minorities Commision, mengungkapkan betapa tidak adilnya perseksusi terhadap komunitas muslim. Di India, menurut Khan, banyak sekali komunitas yang harus diawasi karena berkumpul dalam jumlah besar di tengah pandemi virus Corona.

“But the whole focus is being directed only on Muslims. In the past few days, we have noted a new wave of attack on Muslims across the country. There is a talk of social boycott of Muslims, harrasment of Muslims by Hindutva groups and Muslims are even being harrased by police in various areas,” terang Khan.

Dari pantauan Equality Labs, sebuah lembaga analisa digital kawasan Asia Selatan, mengungkap betapa kampanye terkait ‘corona Jihad’ massif di media sosial. Hastag #coronaJihad tayang sekitsr 300.000 kali pada kurun waktu 29 Maret hingga 3 April 2020.

Serangan terhadap warga Muslim India terjadi di Karnataka. Di kawasan ini, Anant Kumar Hedge, seorang anggota parlemen dari BJP, mendeklarasikan Jamaah Tabligh sebagai teroris. Kontan saja, pernyataan Anant Kumar ini menyulut emosi pendukungnya dan simpatisan BJP yang kemudian menyerang warga muslim.

Kekerasan terhadap muslim di India meningkat sejak 2014. Diskriminasi ini mencuat seiring dengan naiknya Narendra Modi sebagai Perdana Menteri India. Modi memainkan manuver populisme politik, dengan menggunakan isu nasionalisme keagamaan yang didukung sentimen umat Hindu. Dalam alur kekuasaannya, Narendra Modi terlihat sekali memainkan peran yang menggeser madzhab politik India dari demokrasi sekuler menuju pemerintahan otoriter yang didominasi Hindu.

Dalam gelombang populisme politik itu, Bharatiya Janata Party (BJP) memainkan peran kunci dalam dukungan politik dan mengkampanyekan kebencian. Beberapa politisi penting dari BJP sering memainkan ucapan kebencian, misalnya ‘Islamic insurrection’ atau ‘corona terrorism’  untuk mendeskripsikan tokoh Jamaah Tabligh India.

Manuver Populisme Modi

Narendra Modi memang dikenal sebagai politisi bermadzhab populisme. Ia tidak segan menggunakan isu-isu etnis dan agama untuk menaikkan sentimen politik yang menguntungkan dirinya, yang dimanfaatkan dalam politik electoral pasa 2014 dan 2019 lalu. Sebagaimana politisi populis, Modi kerap menggunakan reformasi ekonomi sebagai bahan kampanye untuk mendapatkan simpati publik.

Sejak mengawali karir politik di Gujarat, Modi berjanji untuk mendorong pertumbuhan ekonomi India. Ia juga berkampanye menolak westernisasi, seraya mendukung pentingnya modernisasi. Dalam beberapa kampanye, terutama sejak 2014, Modi mengisahkan kemajuan ekonomi Korea Selatan. Di bidang diplomasi politik, Modi membangun aliansi dengan Donald Trump dan Benjamin Netanyahu. Ia sadar betul bagaimana menjalin kontak dengan para pemimpin populis, untuk mendukung kampanye politiknya.

Namun, janji-janji reformasi ekonomi Modi tidak menutup sejarah gelapnya dalam penanganan konflik keagamaan. Pada 2002, Modi mendukung kekerasan yang dilakukan ekstremis Hindu di Gujarat. Peristiwa kelam itu memakan korban setidaknya 1.000 orang meninggal, yang sebagian besar di antara mereka merupakan muslim (Adam Taylor, Washington Post, 23 Mei 2019).

Modi juga bermain api diplomasi dengan Pakistan. Ketika serangan teroris meletus di Pulwama, kawasan Kashmir, Modi langsung memerintahkan penyerangan dengan jet tempur. Ketika serangan jet tempur itu bisa digagalkan oleh Pakistan, Modi mengelak bertanggung jawab. India dan Pakistan memang mengalami pasang surut hubungan diplomatik, terutama terkait dengan relasi Hindu-Islam dan persoalan perbatasan.

Anggota Jamaah Tabligh memang bersalah karena ngotot mengadakan pertemuan, meski ada peringatan keamanan. Mereka menjadi superspreader, yang menyebabkan percepatan penyebaran virus. Kondisinya menjadi memburuk seiring dengan politik represif pemerintah India.

Manuver populisme politik Modi tidak hanya menghukum anggota Jamaah Tabligh, tapi juga menyasar komunitas muslim lainnya. Sebanyak 200 juta warga muslim India terancam dengan kampanye-kampanye kekerasan Modi dan pendukungnya dari kelompok ekstrem Hindu. Di tengah krisis covid-19, virus kebencian menyebar mengakibatkan efek yang lebih berbahaya (*).