Perdebatan relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia telah terjadi sejak Indonesia merdeka bahkan masih ramai sampai dengan hari ini. Perdebatan pertama soal hubungan agama dan negara terjadi pada era menjelang kemerdekaan Indonesia tahun 1945, saat para pendiri negara Indonesia akan menentukan dasar negara Indonesia. Akhirnya setelah berdebat panjang dan dengan kearifan dan kebijaksanaan tokoh-tokoh pendiri republik akhirnya mereka menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Sejarah kedua mencatat tahun 1955 terjadi di sidang Konstituante dimana faksi Islam mencoba kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dengan menyatakan keinginan kembali kepada Piagam Jakarta. Perdebatan panjang yang tidak berkesudahan itu akhirnya memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya menyatakan kembali kepada Pancasila dan UUD 1945.
Setelah orde baru tumbang, dan arus kebebasan berpendapat muulai menguat di era reformasi, pergulatan dan upaya untuk memperjuangan syariat Islam di Indonesia kembali menguat, ada yang melalui parlemen, sebagaimana PKS dan PBB, namun ada juga yang memperjuangan tegaknya syariat islam di Indonesia melalui gerakan-gerakan non parlementer yang menjurus pada radikalisme dan aksi terorisme.
Menguatnya populisme berbasis agama, termasuk di dalamnya politik identitas akhir-akhir ini juga menunjukkan bahwa upaya kelompok politik islam yang menginginkan penerapan syariat islam sekaligus mendirikan negara Islam di Indonesia tidak pernah padam. Penguatan Pancasila sebagai titik temu berbagai agama, suku, dan identitas kelompok menjadi semakin penting bagi keberlangsungan Indonesia masa kini dan masa depan.
Alvara Research Center telah banyak melakukan kajian mendalam melalui berbagai survei terkait hubungan agama dan negara, termasuk juga potensi menguatnya trend radikalisme di Indonesia. Analisis ini didasarkan pada hasil survei nasional Alvara Research Center terhadap 989 responden muslim Indonesia pada bulan Mei 2018.
Berdasarkan 7 indikator dengan menggunakan K-Mean Clustering Analysis dan Discriminant Analyis kami menemukan 3 tipologi masarakat muslim Indonesia, yaitu, Pertama, Nationalist-Oriented (39.43%), mereka adalah umat islam yang menganggap bahwa tidak boleh ada ada idelogi selain Pancasila di Indonesia, mereka juga berpandangan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan dalam bermasyarakat harus memperhatikan norma dan adat yang berlaku.
Kedua, “Nationalist Religious”-Oriented (42.47%), mereka adalah umat islam yang berpandangan bahwa agama dan negara bisa saling melengkapi, mereka berpandangan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai dan inklusif, namun disisi lain mereka juga mendukung penerapan perda syariah diterapkan di Indonesia.
Ketiga, Religious-Oriented (18.10%), mereka adalah umat islam yang memiliki kecenderungan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, mereka berpandangan seharusnya seorang pempimpin dari berbagai tingkatan harus dari kalangan islam, bahkan mereka menolerir penggunaan kekerasan dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar.
Secara profil antar generasi, nationalist-oriented paling banyak terdapat di Gen X dan Baby Boomers, mereka adalah umat islam yang secara usia diatas 37 tahun. Sementara “nationalist-religious”-oriented banyak didominasi oleh Gen Z dan Milenial, meraka yang berusia 17 – 36 tahun.
Ormas Islam memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Ada dua ormas Islam yang paling berperan di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiah. NU dan Muhammadiah sama-sama lebih condong kepada mereka yang masuk dalam “Nationalist-Religious” -Oriented, meski demikian Muhamadiah memiliki Religious-Oriented lebih tinggi dibanding NU. Disisi lain yang menyatakan bukan Anggota Ormas lebih banyak yang masuk dalam tipologi Nationalist-Oriented, dan “Nationalist-Religious” -Oriented.
Dengan demikian secara umum tipologi umat Islam Indonesia masih didominasi oleh masyarakat yang memiliki pandangan bahwa agama dan negara bisa berjalan seiring dan tidak perlu dipertentangkan. Dialektika dan wacana perdebatan ideologi negara antara Pancasila dan Ideologi berbasis agama masih akan terjadi di Indonesia, karena meski jumlah umat Islam yang masuk dalam tipologi Religious-Oriented hanya 18,1%, namun mengingat konsumsi internet mereka sangat tinggi, maka social media di Indonesia akan banyak ditemui perdebatan mengenai ideologi negara antara Pancasila dan Ideologi berbasis agama.
Umat islam yang masuk dalam tipologi “nationalist-religious”-oriented memiliki peran sentral dan menjadi bandul utama yang akan menentukan arah masa depan dasar negara Indonesia. Eksistensi Pancasila sebagai dasar negara saat ini dan masa depan tergantung bagaimana umat islam yang nationalist-oriented mampu merangkul umat islam yang masuk dalam tipologi “nationalist-religious”-oriented. Ini penting karena ada indikasi bahwa terjadi penetrasi yang cukup kuat dari religious-oriented kepada umat islam “nationalist-religious”-oriented untuk beralih dari Pancasila ke ideologi berbasis agama. Indikasi ini semakin kuat terjadi ketika bertemu dengan kepentingan politik jangka pendek.