Semenjak demonstrasi aksi bela Islam (ABI) 212, 411, dan aksi-aksi lanjutan yang sejenisnya, Masjid menjadi tempat strategis untuk pengumpulan massa yang cukup efektif. Bahkan, ABI 212, 411 dan aksi-aksi lanjutannya, menempatkan Masjid Istiqlal (Masjid terbesar di Asia Tenggara) menjadi tempat berkumpulnya para demonstran. Lebih lanjut lagi, beberapa waktu yang lalu, politisi Amien Rais, menyampaikan ceramah kontroversialnya tentang dikotomi Partai Allah dan Partai Setan juga dilakukan di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Belakangan, ketika situasi politk nasional sedang bersiap untuk menyambut pesta demokrasi, Masjid tak luput menjadi alat yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi tempat kampanye politik. Masjid sengaja dijadikan sebagai arena untuk memobilisasi massa, bagi mereka yang ingin memanfaatkan sentimen identitas sebagai basis pendulang simpati dan suara konstituen.
Dari sekian peristiwa tersebut, ada fenomena penggunaan tempat-tempat ritual peribadatan yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Fenomena ini disebut sebagai upaya politisasi Masjid. Upaya politisasi Masjid ini merupakan sisi gelap yang tak diharapkan dalam sistem demokrasi. Pada dasarnya, demokrasi mengharapkan partisipan politik tidak membawa unsur-unsur primordial, seperti agama, digunakan untuk kontestasi politik. Demokrasi mengharapkan bahwa politik diisi oleh perdebatan-perdebatan publik tentang kepentingan publik, seperti kesejahteraan, keadilan dan segala kepentingan publik lainnya.
Agama sebagai keyakinan privat warga negara, seharusnya dipisahkan dalam perdebatan publik tentang kemaslahatan bersama. Pemisahan antara agama dan politik ini tidak dimaksudkan sebagai upaya anti-agama ataupun anti-islam. Pemisahan ini dimaksudkan supaya perdebatan publik membahas hal-hal yang sifatnya kepentingan khalayak banyak. Berbeda halnya jika agama digunakan dalam urusan politik. Jika agama dan politik tidak dipisahkan, terdapat kesulitan untuk membedakan apa-apa yang merupakan doktrin keagamaan dan apa-apa yang merupakan keputusan politik. Dalam fakta sejarah, ketika agama tidak dipisahkan dengan politik, para politisi selalu menggunakan legitimasi agama untuk mendukung sikap politiknya.
Pada dasarnya, sebaiknya agama tidak dibawa-bawa dalam setiap kegiatan politik. Upaya ini oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) disebut sebagai sekularisasi agama dari kehidupan sosial dan politik. Cak Nur menjelaskan bahwa pada dasarnya Islam itu sudah memisahkan antara hal-hal keduniawian dan hal-hal ukhrawi.
Menurut Cak Nur hal ini dapat dilihat dari doa “rabba atina fiddunya hasanah, wa fil akhiroti hasanah”. Dalam do’a tersebut dibedakan antara keselamatan di dunia dengan keselamatan di akhirat. Dari situ berarti, hal-hal yang menyangkut keduniawian, semisal politik, perlu diupayakan tersendiri dari upaya-upaya keukhrawian. Dengan demikian, politik sebagai upaya “keselamatan di dunia” perlu dipisahkan dengan “upaya keselamatan akhirat” seperi ritual peribadatan. Karena, bentuk “keselamatan dunia” adalah terkait dengan upaya kemaslahatan publik, seperi kesejahteraan. Berbeda dengan “keselamatan akhirat” yang sifatnya adalah privat, seperti kewajiban ibadah setiap muslim.
Dengan demikian, politik sebagai upaya untuk merangkai kemaslahatan duniawi, perlu dibedakan dengan ritual peribadatan. Upaya untuk merangkai kemaslahatan duniawi inilah pada dasarnya diharapkan oleh demokrasi. Akan tetapi banyaknya fenomena politisasi Masjid belakangan ini malah bermaksud sebaliknya, mereka mencampur-adukkan hal-hal yang terkait dengan “upaya keselamatan dunia” dengan “upaya keselamatan akhirat” . Dan naasnya, mereka hanya memanfaatkan agama untuk alat mobilisasi semata, tanpa mempunyai agenda untuk mencari keselamatan duniawi dan keselamatan ukhrawi.
Di tangan para aktor politisasi Masjid, kredo agama sebagai “upaya keselamatan ukhrawi” hanya dimanfaatkan untuk mencari “keselamatan duniawi” para aktornya sendiri semata. Hal ini bertentangan dengan spirit Islam yang mempunyai semangat untuk mengupayakan keselamatan bersama (rakyat). Fenomena demikian itu menggambarkan suasana kegelapan yang pernah terjadi pada abad pertengahan yang lalu. Dimana agama hanya menjadi tameng kebusukan praktik-praktik politik elit dan abai terhadap kemaslahatan publik. Wallahua’lam.
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.