Tidak mudah memang “membaca” strategi politik Jokowi. Presiden RI yang satu ini memang telah banyak makan garam. Di balik bullyan “planga-plongo”-nya, strategi politik Jokowi memang–harus diakui–tak tertandingi. Seorang “tukang kayu” justru bisa menjadi Presiden selama dua periode. Aneh tapi nyata.
Tidak jarang orang yang justru menyangka bahwa Jokowi hanyalah “boneka”-nya Megawati, entahlah anggapan itu justru tidak mempan. Jokowi selalu punya seribu “jurus” untuk menyikapi kawan maupun lawan politiknya. Berbekal dua periode sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, pada periode kedua ini, saya yakin kepemimpinan Jokowi akan semakin matang dan tak terkalahkan.
Padahal serangan demi serangan jahat kepada Jokowi tak kurang-kurang. Segala sesuatu pasti dianggap “salahnya Jokowi.” Apapun yang menjadi kebijakan Jokowi di mata oposisi (yang berasal dari partai politik maupun Ormas radikal) pasti akan dianggap kebijakan yang hanya mementingkan pencitraan.
Serangan SARA, hoaks, ujaran kebencian dan lain serupanya terus datang bertubi-tubi. Rasa-rasanya inilah kondisi paling menyesakkan dada dari sepanjang sejarah Presiden di Republik Indonesia. Kalau bukan karena pengalaman Jokowi dan pertolongan Allah, pastilah Jokowi tidak akan bertahan lama.
Percaya atau tidak, kubu oposisi parpol, Prabowo dan Sandiaga Uno ditekuk tak berdaya. Fadli Zon, selain Fahri Hamzah dibuat kocar-kacir, ibarat pepatah: buruk muka cermin di belah. Gerinda malah santer diberitakan akan bergabung dengan Pemerintah. Ini benar-benar strategi politik “gila” dari Jokowi. Jadi nyaris hanya PKS saja yang akan menjadi oposisi.
Mau ditaruh di mana itu muka para kader Gerindra dan terutama para pendukung fanatiknya saat Pilpres kemarin. Ini benar-benar akan menjadi pengalaman dan pembelajaran berharga bagi bangsa kita terkait dengan konstalasi perpolitikan di masa yang akan datang.
Inilah saatnya Jokowi menuntaskan strategi politik tersembunyinya. Apa itu? Memberangus radikalisme dan intoleransi. Ya saya justru membaca strategi politik
Jokowi pada periode kedua kepemimpinannya ini, sebagai jusrus jitu melumpuhkan gerakan radikalisme di Indonesia. Sebab harus kita pahami bersama, dukungan terbesar Prabowo dan Sandiaga Uno, termasuk saat Pilkada DKI Jakarta yang memenangkan Anies Baswedan, tidak lain adalah berkat dukungan “lumayan” dari mereka Ormas-ormas radikal.
Pantas saja jika perwakilan PA 212 sudah menyatakan sikap untuk tidak mengakui kepemimpinan Jokowi. Pastilah mereka ini kocar-kacir akibat kehilangan tunggangan politik karena Gerindra justru berkoalisi dengan Pemerintah.