Dalam konteks Indonesia, sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, kata “sabar”, “ikhlas”, dan “syukur” (SIS) punya makna bercabang sekaligus mendalam. SIS mirip bentuk penyerahan totalitas atas apa yang nasib beri pada seseorang. Di kehidupan agraris, ini melekat pada hasil interaksi saling sinambung dan mendalam antara manusia dengan alam beserta kekuatan adiluhung di belakangnya.
Di kehidupan urban, SIS berguna untuk menghadapi ketidak-mujuran nasib (biasanya ekonomi) atas segala upaya material yang telah diupayakan. Tak banyak yang bisa dilakukan saat hasil panen kurang optimal, atau saat tertipu investasi bodong dalam kondisi nganggur, selain SIS.
SIS menjadi bemper penyelamat saat dunia begitu pahit dan menjengkelkan. Ia mencegah orang berubah menjadi Nietzsche-Nietzsche baru yang punya ‘versi lain’ soal makna siapa pemilik kekuatan adiluhung. Beberapa kalangan bahkan menarik SIS lebih jauh. SIS adalah indikator masuk surga atau tidaknya seseorang menurut doktrin fatalis yang menempatkan kemiskinan sebagai ujian tak terpisah kaum-kaum beriman. Lokasi geografis dan budaya, turut menentukan bagaimana tiap individu memaknai bentuk ujiannya.
SIS tidak berdiri sendiri. Kadang ia terhubung dengan konsep usaha (ikhtiar) dan berserah (tawakkal). Kadang mengekspresikan kebuntuan, kelelahan, dan suasana frustatif lain. Sebagai sebuah jagat batin individu maupu kelompok, SIS lekat dengan mentalitas. Beberapa budaya punya istilah serupa. Jawa misalnya mengenal nrimo ing pandum. Sebagai sebuah mentalitas, SIS telah diterima luas dan steril dari interogasi, sampai keberadaan dan operasinya di kehidupan sehari-hari nyaris mendekati alami dan final dalam dirinya sendiri. Apakah SIS benar-benar alami dan final? Sejak kapan?
Keinginan untuk mengubah dunia hampir dimiliki oleh setiap kelompok, dan semakin besar ketika ditambah unsur tertindas, terpinggir, dan termiskin. Negara-negara pasca-kolonial di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin tahu betul soal ini setelah ratusan tahun bermandi asam-garam eksploitasi keringat dan hasil bumi. Kelompok-kelompok yang terbentuk mulai mempertanyakan struktur masyarakat baru dengan sistem sosial, ekonomi dan politik yang sepenuhnya segar. Gugatan sana-sini terhadap kemapanan yang ada tidak bisa terhindar.
Individu dan kelompok di berbagai lapisan dan profesi, yang terikat dalam perasaan kolektif sepenanggungan, mulai merombak dan melawan tatanan setelah mengetahui bahwa bukan miskinnya kondisi alam, melainkan ketimpangan sosial, birokrasi korup, dan monopoli kepemilikan, yang menyebabkan pahitnya hidup.
Di Indonesia masa itu, atau sekitar awal abad ke-20, bahkan seorang petani muslim pun bisa mempraktikkan analisa struktural, menggugat ketidak-adilan yang ada dengan leluasa, dan menitipkan sorotannya pada perwakilan politik yang lebih tinggi tanpa risiko cap ini itu atau kena gebuk.
Di masa abad ke-19, saat ragam saluran organisasi kemasyarakatan dan nasionalis belum menjamur, kondisinya lebih epik. Orang secara naluriah telah mampu mendeteksi ketidakadilan dan eksploitasi, namun tak ada kekuatan sosial yang tersedia selain solidaritas warga dan arahan para pemimpin kelompok, dukun, dan tokoh agama dengan kekuatan supranatural mereka. Sederhananya, bila saat ini dukun identik sebagai sosok fasilitator kedengkian dan kecurangan, justru dulu dukun adalah bagian dari perlawanan terhadap ketidakadilan dan eksploitasi kolonial.
Gairah untuk membersihkan ketimpangan sosial, birokrasi korup, dan monopoli kepemilikan terus berlangsung sampai setelah kemerdekaan. Pembudayaan analisa struktural sebagai lensa sosial dan politik mulai memberikan hasil: pemberantasan buta huruf dan reforma agrarian masuk prioritas kebijakan, dan petani saling mengawasi siapa cikal-cikal tengkulak di antara mereka―dalang monopoli harga panen. Namun, di mana ada wong cilik, di situ ada wong gede.
Pasca Perang Dunia II, dunia terbelah antara mereka yang menginginkan kelanggengan eksploitasi dan kapitalisme, dan mereka yang menginginkan berakhirnya dua hal itu. Tetapi kelompok pertama tidak membiarkan begitu saja. Ekspansionis dan crazy-rich nomer wahid masa itu, Amerika Serikat (AS), menyesihkan jutaan dollar untuk ‘menyesuaikan’ negara-negara pasca-kolonial menurut garis ekonomi-politik Paman Sam, mendongkel siapapun pemimpin negara Dunia Ketiga yang tidak ramah kepentingan AS: izin operasi perusahaan ekstraktif, pembangunan kapitalistik, dan modernisasi.
Mengikuti garis ekonomi-politik AS berarti mengadopsi sistem ekonomi ala AS dan mengadopsi teori modernisasi, sebuah asumsi ilmiah untuk mengakselerasi masyarakat tradisional ke masyarakat modern dengan stigma hierarkis dalam jargon-jargon ilmiahnya. Indonesia resmi mengadopsi garis AS setelah Suharto pada tahun 1966 meresmikan rezim Orde Baru setelah menjagal sekitar 1 Juta komunis (dan terduga komunis)―sebuah token pembuktian layak-tidaknya menerima bantuan pembangunan AS.
Negara-negara Dunia Ketiga lain bernasib tidak jauh berbeda. Kalau bukan masyarakatnya, maka pemimpinnya kena jagal. Tergantung mana yang lebih efektif untuk konteks sosial-politik dalam negeri masing-masing. Sejak tahun 1966, Indonesia mengalami titik balik. Asumsi soal perihnya hidup bukan lagi tentang ketimpangan sosial, birokrasi korup, dan monopoli kepemilikan. Teori modernisasi, sistem ekonomi baru, dan pembangunan kapitalistik, melihat bahwa perihnya hidup berasal dari tak adanya mentalitas enterprener/kantoran, kerja keras, dan mind-set modern.
Selama 32 tahun rezim Orde Baru, pemberian bantuan rezeki dan pelatihan keterampilan menjadi solusi resmi untuk mengobati perihnya hidup, menggantikan pengawasan dan pembaruan struktural. Sejak pembangunan kapitalistik adalah hasil pemaksaan prematur, negara-negara Dunia Ketiga mengalami dampak sosial beragam. Guatemala mengalami perang saudara, Brasil menderita kemiskinan dan ketimpangan berlarat-larat dari langgengnya pembagian kerja (division of labour) berbasis rasial secara ekstrim, Filipina dirundung kediktatoran yang gila harta dan pamer kekerasan.
Akan tetapi, persahabatan militer Indonesia dengan AS dan dominasi mereka dalam negeri mencegah Indonesia pada pengalaman yang sama, melainkan pada apa yang jurnalis Vincent Bevins sebut sebagai ‘kapitalisme kroni’, sekelompok kecil orang bercokol di lapisan atas masyarakat mengelola bisnis dan mengontrol keamanan. ‘Old State, New Society’, negara lama masyarakat baru, kata Benedict Anderson untuk mengiaskan tak ada yang berubah dari eksploitasi, kroni, dan represi pemerintah kolonial di negara Orde Baru selain kemasan dan masyarakatnya.
Kondisi ini berdampingan bersama pemberian bantuan rezeki dan pelatihan keterampilan selama 32 tahun rezim Orde Baru. Setelah diplomat, teknokrat, jendral, dan petinggi lain sepakat membangun garis besar ekonomi baru, kini giliran petani, neyalan, asongan, dan wong cilik lain terpelanting di sela-sela kompetisi tambang, industri, perumahan, dan urbanisasi mencaplok ruang hidup, mengatur harga komoditas, dan menentukan ketersediaan lapangan kerja. Mereka yang pernah tau manisnya analisa struktural, akan sangat merah menyaksikannya.
Setelah melumat komunisme, Orde Baru tau satu-satunya kelompok dengan potensi subversi skala massal adalah kelompok Muslim. Tawarannya adalah menerima asas tunggal Pancasila versi Orde Baru dan mendukung agenda pembangunannya, atau pilih kena gulung rezim.
Sejak saat itu narasi pembangunanisme (developmentalism) dan nafas-nafas teori modernisasi masuk mimbar masjid, kurikulum peguruan tinggi Islam, dan tayangan religi populer. Kuantifikasi pahala dan menjadikan agama sebagai asuransi multi-guna mulai tumbuh, menandai kelahiran masyarakat religius-ekonomis. Di lain sisi, Orde Baru memodifikasi budaya jawa sebagai wahana politik kebudayaan. Suharto menekankan pentingnya pengabdian, kerukunan, tanpa pamrih, kolektivisme, dan nrimo ing pandum untuk cara pandang masyarakat menghadapi hidup.
Jubah budaya Orde Baru akan mengingatkan seorang korban perihnya hidup untuk eling pada falsafah nrimo, pengabdian dan kerukunan. Sedangkan jubah agenda pembangunan kapitalistiknya akan mengingatkan tentang pentingnya mental kerja keras, mindset modern, lengkap dengan jadwal bansos dan pelatihan wirausaha. Bahwa perihnya hidup lantaran ketimpangan sosial, birokrasi korup, dan monopoli kepemilikan membutuhkan perubahan struktural, akan bertentangan dengan falsafah jawa versi Orde Baru, dan dengan sendirinya menjadi hal tabu.
Setelah nafas teori modernisasi merambah mimbar masjid, perguruan tinggi Islam, dan tayangan religi, wacana agama memberikan pandangan bahwa penderitaan dunia adalah ujian bagi kaum beriman. Semakin sabar, semakin tebal iman. Kunci bahagia ada di rasa syukur, bukan harta. Semakin ikhlas, semakin lebar peluang mendapat nikmat akhirat. SIS mengakar luas saat batang pohon tumbang sementara beton tumbuh.
Politik budaya, doktrin modernisasi, dan agama era Orde Baru bertemu dalam satu hal: rekayasa kesadaran agar realita ketimpangan sosial, eksploitasi dan birokrasi korup tak terdeteksi di radar individu dan kelompok. Realita masalah struktural tetap hadir, namun ketiganya menekuk dan meriasnya pada bentuk anggun. Baru pada tahun 1980an, saat ketimpangan, represi dan eksploitasi semakin intens, muncul wacana Islam Tranformatif, sebuah inspirasi dengan sekelumit irisannya dengan Marxisme, Ali Syariati, dan Madzhab Frankfurt.
Akan tetapi, inspirasi ini tidak berlangsung lama. Islam Transformatif yang populer di kalangan Gerakan pemuda Islam masa itu mampu memberikan kritik, namun belum sampai mampu mencabut kapitalisme kroni dan oligarki Orde Baru yang terlanjur mengurat-mengakar. Segera setelah kekuasaan dan pasar warisan Orde Baru berevolusi di tahun 1998, kenyataan hidup serba uang dan meritokrasi mendesak sejumlah simpatisan Islam Transformatif menukar basis sosial mereka untuk posisi tertentu di ranah politik maupun sektor lain, menjadikan mereka bagian baru dari struktur ekonomi politik lama.
Sebagai sebuah mentalitas, SIS (sabar, ikhlas, dan syukur) mungkin identik berasal dari agama. Namun dimensi sosial, politik, dan ekonomi yang mengitarinya sering dilupakan. Boleh jadi, situasi, kondisi ataupun hal yang kita sabar, ikhlas, dan syukuri merupakan produk dari rangkaian peristiwa besar yang sangat manusiawi dari ‘tangan gaib’ yang tak terdaftar dalam perbendaharaan keagamaan. Dalam konteks apa orang desa, orang miskin kota, dan korban pembangunan boleh sabar, ikhlas, dan syukur ketika perihnya hidup mereka jelas berasal dari faktor-faktor yang sangat manusiawi?