Ada sekelompok orang yang menganggap kontestasi perebutan kekuasaan hari ini sebagai perang suci (holy war) melawan “musuh islam”. Semua lawan politik mereka dianggap musuh Islam. Bagi mereka, politik elektoral ritual lima tahunan bukan sekadar memilih pemimpin, melainkan “perang” membela dan menyelamatkan Islam.
Untuk memenangkan pertempuran, seperti orang kalap terdesak dalam peperangan, mereka menggunakan pelbagai macam cara, termasuk cara-cara keji tidak islami seperti menebar fitnah, membuat hoax, menyebar ujaran kebencian, dll. Meski menggunakan cara-cara kotor dan amoral, mereka tidak merasa bersalah dan bukan dianggap hal yang bertentangan dengan Islam. Mereka berdalih itu semua bagian dari strategi dan siasat perang (al-siyasatu khid’atun).
Mereka membentuk barisan tentara perang yang mereka sebut “moslem cyber army” (MCA). MCA bertugas meracuni pikiran-pikiran sehat dan waras dengan fitnah, kebencian, permusuhan, dan perasaan saling curiga sesama agama dan anak bangsa. Inilah akibat agama diseret-seret dalam politik. Semua peristiwa politik dilihat menggunakan kaca mata kuda: islam dan tidak islam.
Inilah—-seridaknya yang saya baca dari medsos—-fenomena politik di jagat maya. Tidak ada yang menarik selain fenomena politik. Politik ibarat lubang hitam (balck hole) yang menyerap habis fenomena apapun yang terjadi di negara ini. Seolah-olah kita dihadapkan pada situasi perang tak berkesudahan.
Namun, ketika saya mencoba sejenak berpaling dari media sosial, saya justeru mendapati fenomena lain. Saya masuk ke warung kopi di kampung saya. Warung kopi ini biasa dikunjungi dan dijadikan tempat mangkal tukang becak, para petani, pedagang pasar, tukang ojek dan santri. Mereka hampir semuanya tidak memiliki gadget.
Saat masih beredar ramai kasus pembakaran bendera HTI, saya mencoba menyelipkan obrolan tentang kasus ini. Mereka sama sekali tidak tertarik dan mereka tidak merasa Islam sedang dilecehkan.
Bukan berarti mereka tidak tahu. Mereka lebih tertarik pada obrolan yang mereka hadapi sehari-hari. Mungkin, bagi mereka, realitas empirik lebih jujur dan lebih menarik dibanding relitas virtual. Realitas virtual, meskipun berasal dan bersumber dari realitas faktual, tapi memiliki logika dan hukum sendiri. Sebuah peristiwa yang terjadi di dunia nyata ketika diangkat dalam dunia maya seringkali malah kehilangan konteks dan maknanya. Ia malah membentuk konteks dan maknanya sendiri. Tidak lagi merujuk dan mewakili realitas sebelumnya (realitas faktual)
Bagi orang-orang desa fenomena politik di jagat maya bukanlah konsumsi mereka. Mereka lebih suka berhadapan dengan pengalaman-pengalaman kongkrit sehari-hari. Mereka memiliki dunianya sendiri yang tidak mau didikte dan dikendalikan dunia lain.
Kira-kira sederhananya begini, Bagi mereka urusan orang Jakarta jangan dibawa-bawa ke desa. Bukan bererti mereka apolitik karena untuk apa politik (pilpres) jika hasilnya tak menyentuh urusan mereka. Saya menemukan kearifan pada orang-orang desa.