Beberapa jumat terakhir, ada beberapa teman saya mengeluhkan soal yang sama, yakni khutbah yang menyuarakan kebencian kepada ‘yang liyan’. Kebencian akan perbedaan pilihan politik sudah mulai meracuni masjid sebagai tempat ibadah, yang seharusnya bisa menampung semua perbedaan, mulai mewabah sejak tahun 2017. Saat itu ada himbauan untuk tidak menshalatkan apabila mayit tersebut memiliki pilihan politik yang berbeda.
Politik masuk masjid, menjadi perbincangan yang hangat sejak saat itu. Tak sedikit yang setuju dan memperbolehkan, namun tak sedikit pula yang mengharapkan masjid seharusnya menjadi tempat di mana umat bisa mengekspresikan keberislamannya dengan mudah.
Dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang memasukkan tempat ibadah sebagai tempat yang tidak diperbolehkan untuk dipergunakan sebagai tempat kampanye. Tapi, masjid memang memiliki sejarah yang panjang dalam politik Indonesia maupun Nusantara.
Dalam sejarah Islam pun, masjid kerap dijadikan tempat mendiskusikan beragam hal, diantaranya politik. Namun, apakah perpecahan di antara umat harus terjadi di dalam masjid, hanya karena sebuah pilihan politik. Terlepas dari persoalan itu, ada dua kejadian yang baik bagi kita untuk direnungi apakah kita benar menempatkan masjid sebagai tempat ibadah nan suci.
Dalam bulan Desember tahun 2018 kemarin, kita disuguhi dua kejadian yang berkaitan dengan masjid. Pertama, kejadian terungkapnya fakta dalam persidangan Bupati Lampung Selatan, Zainuddin Hasan, telah melakukan penggelapan uang Negara sebesari 72 miliar. Perilaku kejahatan korupsi ini menjadi terkait dengan masjid, sebab sang Bupati tersebut menggunakan dana tersebut salah satunya ditujukan untuk membangun dan memperbaiki masjid miliknya. Dalam dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa dari KPK, uang tersebut dipergunakan untuk membeli karpet untuk masjid bernama Bani Hasan sebesar 1,5 miliar. Dalam tindak pidana korupsi, perilaku ini termasuk dalam tindak pencucian uang.
Kedua, terbunuhnya seorang mahasiswa di lingkungan masjid karena dituduh melakukan kejahatan pencurian. Seorang mahasiswa, bernama Muhammad Khaidir, tewas dianianya warga di dalam masjid Nurul Yasin Jatia, Kabupaten Gowa. Pengeroyokan ini ditengarai karena tuduhan kepada korban atas pencurian di dalam masjid. Kejadian ini seakan membuka luka lama kita, yaitu kejadian yang menimpa kepada seorang pria di Bekasi tahun kemarin yang dikeroyok dan dibakar massa karna dituduh mencuri ampli masjid. Yang membuat kita miris melihat kejadian ini adalah tuduhan kepada korban tersebut belum sempat dibuktikan kebenarannya sudah dihukum secara sadis hingga terbunuh di lingkungan masjid.
Dua kejadian di atas, seakan menampar keras hati nurani dan rasa kemanusiaan kita. Sebab, kekerasan dan korupsi, yang dianggap sebagai kejahatan yang pantas dihukum berat bisa dilakukan di lingkungan atau untuk kepentingan masjid. Masjid yang seharusnya menjadi wadah umat muslim sebagai umat beragama mayoritas di Indonesia ini dalam mengasah keimanan dan empatinya kepada sesama manusia, menjadi tercoreng atas dua kejadian di atas.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan ini sangat lazim terlontar dari berbagai kalangan melihat dua kejadian di atas. Jawaban dari pertanyaan tersebut pastilah sangat beragam, sebab berbagai sudut pandang akan memberikan tanggapan yang berbeda-beda. Perbedaan sudut pandang dan jawaban ini, akan memberikan pihak-pihak yang terkait untuk memberikan solusi yang komprehensif, agar kejadian seperti ini tidak terjadi kembali. Adapun, saya melihat kejadian ini bersumber dari mendangkalnya sisi spiritualitas masjid, yang disebabkan ada sangkut sengkarut semesta kepentingan yang mendominasi setiap ruang dan momen dalam kehidupan kita, termasuk tempat yang suci bagi umat Islam tersebut.
Dalam kehidupan kita sekarang ini, sangat sulit menilai apakah suatu pilihan, termasuk perilaku, lahir dari niat yang ikhlas atau sudah terkontaminasi dengan berbagai kepentingan. Dalam kehidupan kita sekarang ini, sering berhadapan dengan kemubaziran yang didayagunakan, kepalsuan yang dilembagakan, kekerasan dan ketamakan yang diformalkan, atau penindasan yang membahagiakan. Keadaan ini dihasilkan dari ihwal “imaji” atau citra, yang sudah menjelma menjadi mantra gaib yang menyusup ke segala sisi kehidupan individu dan masyarakat.
Kebanyakan dari para penguasa sekarang juga menaruh perhatian yang besar pada pentingnya pencitraan. Mereka sekarang merawat citra dirinya sebagai publik figur dan berlaku seperti selebritis dari dunia hiburan. Bahkan yang lebih parah adalah dominasi citra ini sudah masuk juga di wilayah praksis kekuasaan dan menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan. Dari fenomena inilah muncul istilah yang lazim didengar sekarang, yaitu “populis” dan “tidak populis”.
Terminologi populis yang dipakai oleh penguasa adalah hal yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh rakyat. Dalam kacamata penguasa, kebijakan populis adalah terkenal dan “merakyat” tanpa memperhitungkan apakah hak dan kepentingan rakyat yang sesungguhnya untuk menjadi ukuran, pedoman, dan tujuan nyata dari kebijakan pembangunan dan keputusan politik tersebut. Iklim politik sekarang ini akhirnya terjebak pada pertimbangan untung-rugi. Akhirnya, massa yang lemah dan miskin berada di luar lingkaran perhitungan politis.
Kebijakan-kebijakan dalam bingkai “populis” sangat melimpah ruah di negara kita sekarang ini. Berbagai peraturan hingga seruan dilahirkan, hanya untuk menaikkan popularitas demi menjaga satu cita-cita penguasa yakni pelestarian kekuasaan atas rakyatnya. Rakyat akhirnya cuma menjadi objek, tidak lagi menjadi subjek pembangunan. Oleh sebab itu, membangun masjid memakai dana korupsi adalah hal yang bisa saja dilakukan oleh penguasa yang sudah terjangkiti persoalan citra ini. Sisi spiritualitas tidak lagi menjadi panglima dalam diri penguasa seperti itu.
Proses populis ini juga mendobrak semua bidang termasuk agama. Jadi bila seseorang atau keputusan ingin dianggap kredibel, rasional, ilmiah, dan agamis, harus mengadopsi bahasa dan wacana emperistik, yaitu bisa diindera manusia melalui panca inderanya. Keadaan ini adalah warisan dari modernitas yang mensyaratkan semua hal bisa diindera baru bisa diakui keberadaannya.
Dampak yang disebabkan dari proses populis ini saat masuk ranah agama, selain dari penilaian agamis yang sangat empiris, adalah melahirkan generasi yang lebih mementingkan bungkus daripada isi, kesan daripada substansi, peran daripada jati diri. Keadaan seperti ini kemudian diperparah dengan kehadiran narasi akan ketertindasan yang dialami oleh umat Islam. Narasi ini ditancapkan melalui medium atau perantara, seperti otoritas keagamaan dan media itu sendiri, ke dalam jiwa masyarakat muslim.
Rasa tertindas inilah yang kemudian menjadikan kaum muslimin hidup dalam keadaan terancam, yang akhirnya kaum muslim sekarang yang hidup dalam habitus seperti itu sangat rentan berbuat kekerasan sebagai reaksi pembelaan diri. Sehingga, orang muslim mudah sekali tersulut emosinya saat ada kejadian yang menyangkut agamanya. Kasus Gowa dan Bekasi adalah bukti kekerasan mudah sekali dilakukan dengan alasan yang berkaitan dengan agama.
Masjid sebagai simbol keislaman, tidak lagi menjadi ruang yang disusun dari pengalaman hidup yang damai dalam masyarakat muslim. Masjid sudah menjadi ruang menampung pengalaman yang penuh emosi dan dendam akan keadaan tertindas yang dialami kebanyakan masyarakat muslim. Inilah yang membuat kekerasan juga bisa saja terjadi di dalam atau lingkungan masjid.
Hal tersebut selaras yang disebut oleh Henri Lefebvre, bahwa sebuah ruang adalah produksi atau konstruksi sosial. Jadi pemaknaan masjid sebagai tempat menempa spiritualitas manusia, sudah semakin menghilang seiring juga mendangkalnya spiritualitas masyarakat muslim karena terjangkiti virus pencitraan.
Sehingga, melakukan tindak korupsi yang dikaitkan pada masjid atau kekerasan di dalam atau wilayah masjid, bukanlah sesuatu hal yang tabu lagi. Hal ini yang harus dilawan sejak sekarang dengan melawan segala jenis pencitraan dan menjadikan masjid menjadi tempat bertemunya seluruh masyarakat, demi terbangunnya kehidupan bermasyarakat yang baik dan damai.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifiin