Politik Identitas dalam Tragedi Bantul

Politik Identitas dalam Tragedi Bantul

Bagaimana politik identitas menguat dalam tragedi Bantul. Tidak percaya?

Politik Identitas dalam Tragedi Bantul
Sedekah laut adalah cara menghargai alam. (ANTARA FOTO/Wahyu Putra)

Di kelas, kami sedang mendiskusikan trikotomi Geertz (santri, priyayi, abangan). Sebuah tema lama yang masih tetap relevan untuk dibicarakan sekarang ini. Jelang akhir perkuliahan, seorang mahasiswa bertanya: apakah tragedi Bantul, saat sekelompok orang menggagalkan acara sedekah laut, merukapan konflik antara kelompok santri dan abangan? Kenapa seolah dua kelompok itu susah untuk bertemu?

Saya lalu meminta mahasiswa untuk membaca satu tulisan pendek di alif.id yang berjudul Dialog Habib Utsman dengan Masyarakat tentang Sedekah Laut. Tulisan itu saya kira cukup bisa menjelaskan bagaimana Islam memandang sedekah laut. Namun saya tidak memaksa satu kelas untuk satu pandangan dengan tulisan itu. Berbeda pendapat tentu hal yang lumrah dalam suatu lingkungan akademik. Diskusi dan debat yang sehat juga jadi hal biasa.

Hanya saja, saya sampaikan bahwa ketika kita tidak sepakat terhadap sesuatu, termasuk sedekah laut, tidak perlu diekspresikan dengan kekerasan. Kebencian cukup disimpang di kepala atau di dada. Meskipun, sebetulnya, tidak ada gunanya juga menyimpan kebencian. Alih-alih menambah keimanan dan ketakwaan,  kebencian hanya mendatangkan penyakit.

Perihal identitas, saya teringat penelitan Subair bertajuk Islam dan Politik Identitas Kebudayaan Jawa. Riset tersebut menunjukkan pembagian santri, priyayi, dan abangan membawa konsekuensi terbentuknya politik identitas. Pada titik tertentu, jika gagal dikelola dengan  baik dapat menimbulkan koflik sosial (vertikal dan horizontal). Nahasnya, ada kelompok tertentu yang justru memanfaatkan hal itu.

Kita saksikan bagaimana jelang pilpres 2019 soal identitas ini coba dimainkan kembali. Tabloid Suara Islam misalnya, membangun opini bahwa Prabowo-Sandi representasi kelompok santri sedangkan Jokowi-Ma’ruf sebagai abangan. Agak aneh sebenernya, mengingat Prabowo dan Sandiaga Uno sama-sama berasal dari partai yang sama, Gerindra, yang bukan “partai santri”. Justru PKB dan PPP yang selalu mencitrakan diri sebagai partainya para santri berada di kubu Jokowi.

Santri diasosiasikan sebagai sekelompok muslim yang menjalankan perintah agama secara hati-hati dan teratur. Sementara di antara ciri-ciri abangan adalah lekatnya mereka dengan tradisi slametan. Sebagian santri, berupaya habis-habisan membersihkan tradisi lokal dari laku peribadatan. Mereka berdalih sedang menegakkan Islam yang murni.

Di salah satu grup WA yang saya ikuti, obrolan setelah gempa Palu adalah perihal kemaksiatan dan kemusyrikan. Penjelasan-penjelasan ilmiah soal gempa seakan dimentahkan. Semua bermuara pada perilaku maksiat, syirik, dan bid’ah yang membuat Tuhan marah dan kemudian alam bergejolak sedemikian hebat. Oleh karena itu, segala hal yang mereka anggap musyrik dan maksiat harus dibabat habis.

Hemat saya, di tengah pandangan masyarakat yang terbelah, semestinnya tidak ada pihak-pihak dengan keentingan tertentu (politik misalnya) yang “mengipasi bara”. Tidak juga meruncingkan politik identitas yang mampu menyulut konflik. Terlalu besar ongkos yang kita bayar untuk semua kerusakan yang akan ditimbulkan. Mungkin ini saat yang tepat untuk melihat trikotomi Geertz secara lebih jernih dan kritis.