Politik GUSDURian adalah Politik Kebangsaan

Politik GUSDURian adalah Politik Kebangsaan

Bagaimana Para GUSDURian mengambil peran politik dalam kebangsaan dan tidak hanya elektoral semata?

Politik GUSDURian adalah Politik Kebangsaan
Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan, Kata Gus Dur.

Sore ini muncul berita yang dinanti-nantikan sebagian orang: konferensi pers mengenai arah politik keluarga Gus Dur. Mbak Yenni Wahid, seusai meminta masukan kepada para sesepuh dan berdiskusi dengan berbagai pihak kemudian menyatakan mendukung Jokowi-Yai Ma’ruf untuk pemilihan presiden 17 April 2019 mendatang. Sebagian senang. Sebagian biasa saja. Sebagian kecewa.

Orang yang senang dengan konpres Mbak Yenni tentu saja para pengagum Gus Dur yang sejak awal punya kecenderungan mendukung Jokowi. Mereka menanti-nantikan arah politik keluarga Gus Dur sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Banyak faktor mengapa orang-orang semacam ini sangat bahagia mendengar keputusan keluarga Gus Dur tersebut. Salah satunya mereka melihat Jokowi lebih dekat secara kultur dibandingkan dengan lawannya.

Kelompok yang biasa saja adalah orang-orang yang memang tidak pernah melihat Gus Dur sebagai komoditas yang mampu menggerakkan jutaan orang untuk menentukan pilihan. Mereka kurang sadar bahwa social capital seorang Gus Dur sangatlah besar di negeri ini. Walhasil, kelompok ini masa bodoh dengan apa yang sudah keluarga Gus Dur putuskan.

Kelompok ketiga adalah orang yang kecewa karena sejak awal punya kecenderungan politik memilih lawan Jokowi. Mereka mengungkit-ungkit quote Gus Dur “orang yang paling ikhlas di negeri ini ya Prabowo”. Mengapa keluarga Gus Dur malah ‘berbeda’ dengan Gus Dur?

Media menjadi bagian penting dalam melakukan pemberitaan. Berbagai diksi dilontarkan oleh beragam media, mulai dari ‘Keluarga Gus Dur’, ‘Putri Gus Dur’, ‘Barikade Gus Dur’, dan tak ketinggalan adalah ‘GUSDURian’. Diksi ini kemudian yang menjadi ramai diperbincangkan karena gerakan GUSDURian menyatakan tidak berpolitik praktis. ‘Benarkah GUSDURian mendukung Jokowi?’

Untuk menjawabnya cukup riskan mengingat saat ini adalah masa kampanye. Saya beberapa kali diminta penjelasan mengenai arah politik Jaringan GUSDURian (JGD) yang semuanya tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Sebab JGD memang tidak punya urusan dengan politik praktis. Mereka menanyakan siapa pemenang pilihan elektoral kepada seseorang yang setiap hari berkeliling dari daerah ke daerah untuk menyuarakan perdamaian, terlepas siapa yang akan memenangkan pertarungan 2019 nanti.

Sejak 2014 saya ambil bagian dari gerakan JGD di wilayah kultural ini. Haqqul yaqin, kami selalu menyuarakan untuk tidak ribut hanya gara-gara kontestalasi politik. Sebab keributan hanya menambah beban bangsa ini yang sedang sakit akibat terlalu sering diobok-obok elit yang gila jabatan. Sampai kapan pun, JGD tegas untuk tidak menyeret gerakan kultural ini ke wilayah politik praktis. Ini semacam sumpah bagi siapapun yang menjadi bagian dari Jaringan GUSDURian.

“Lha, Mbak Yenni bagaimana?”

Di kalangan pengagum Gus Dur, ada wadah bagi mereka yang ingin berjuang di politik praktis. Mereka menamai dirinya sebagai Barisan Kader (Barikade) Gus Dur. Ini memang wadah yang dibentuk oleh keluarga Ciganjur (keluarga Gus Dur) untuk menampung aspirasi politik para murid Gus Dur yang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa  disalurkan melalui Jaringan GUSDURian. Barikade ini dikomandoi oleh Mbak Yenni Wahid.

“Apakah Barikade Gus Dur berseberangan dengan GUSDURian? Lebih lanjut, apakah keluarga Gus Dur pecah?”

Pertanyaan yang menjebak semacam itu sering kami dengar, bahkan di internal JGD sendiri. Tetapi perlu ditegaskan bahwa keduanya punya arah perjuangan yang berbeda. Barikade adalah wadah untuk para murid dan pengagum Gus Dur di wilayah politik praktis. Sementara JGD adalah wadah bagi siapapun yang ingin memperjuangkan nilai-nilai, pemikiran, gagasan dan keteladanan Gus Dur di wilayah Non-Politik praktis.

Nilai itu, Kami menyebutnya sebagai 9 Nilai Utama Gus Dur. Yakni: ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, kearifan tradisi. Apapun yang diputuskan oleh Barikade tidak mengikat kepada para GUSDURian. Sebab ranahnya saja sudah berbeda.

Jika ada GUSDURian yang ikut keputusan dari keluarga Ciganjur, tentu saja itu hak pribadi, bukan seruan dari Jaringan GUSDURian yang dikoordinatori oleh Mbak Alissa Wahid. GUSDURian tidak pernah melakukan konsolidasi dan gerakan secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam menyambut apa yang diputuskan oleh Barikade.

Politik praktis bukanlah wilayah kerja Jaringan GUSDURian. Lagi pula, potongan orang-orang GUSDURian ini ndak pantes ikut-ikutan politik praktis. Lha wong orang-orangnya gak pada serius, suka guyon, masih doyan cari pelatihan gratis, siap mati tapi tidak siap lapar dan sukanya kumpul dengan para petani, tukang becak, kaum yang dilemahkan dan orang-orang yang beberapa di antaranya tidak menguntungkan secara elektoral untuk didampingi. Memangnya timses Jokowi atau Prabowo berani mengadvokasi korban pembangunan? Berani menyuarakan kebebasan beragama? Berani mendampingi orang-orang Syiah yang diusir? Berani bersuara di isu-isu perusakan lingkungan?

Untuk itu tidak perlu gelut hanya gara-gara beda pilihan apalagi sampai jotos-jotosan, fitnah-fitnahan, hoaks-hoaksan, entut-entutan. Sebab, seperti halnya yang sering dikatakan Gus Dur, ‘Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.’