Politik dan Pilpres Memecah Belah Kita? Udah, Silaturahmi Aja

Politik dan Pilpres Memecah Belah Kita? Udah, Silaturahmi Aja

Silaturahmi adalah modal yang kita miliki untuk hidup bersama

Politik dan Pilpres Memecah Belah Kita? Udah, Silaturahmi Aja

Belakangan saya kerap mendengar kisah beberapa kawan yang tercerai berai akibat politik maupun beda tafsiran agama. Bahkan, ada kisah nyata yang saya dengar ada silaturahmi keluarga terputus, hanya karena beda dukungan politik. Receh memang, tapi itulah faktanya. Padahal silaturahim itu penting dalam Islam.

Ada hadis berbunyi “Barang siapa yang ingin dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan usianya hendaklah bersilaturahim”. Bahkan hadist lainnya Rasulullah sangat keras bagi orang yang memutuskan silaturahim: Tidak akan masuk surga pemutus (silaturahim). Sampai segitunya loh.

Di Indonesia, ada tradisi Halal bil Halal sebagai bentuk silaturahmi. Kegiatan ini sebagai upaya untuk memupuk tali persaudaraan. Mulai dari kantor, warga dekat rumah hingga teman ngopi sekalipun.

Kegiatan yang sering dilakukan pasca Hari Raya ini, sering dimanfaatkan untuk saling maaf-memaafkan antara satu dengan lainnya.  Salah satu tujuannya yakni hubungan kekeluargaan dan kebersamaan terus dipupuk sehingga nuansa kebersamaan tetap terjaga dengan baik. Lambat laun semangat toleransi akan tumbuh demi tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI.

Silaturahmi Lintas Iman

Saya pribadi sering menjadikan silaturahmi untuk menumbuhkan rasa toleransi kepada pemeluk agama lain. Sebagai seorang muslim, saya beberapa kali datang ke acara hari besar umat agama lain. Bukan untuk mengikuti ibadah, tetapi mengetahui dan belajar langsung tentang agama lainnya.

Silaturahmi lintas iman yang saya lakukan bertujuan membebaskan prasangka dan memiliki sudut pandang yang luas. Dalam Psikologi, hal ini  disebut sebagai kematangan beragama (Mature Religion).

Salah satu jagoan di dunia Psikologi, Gordon Allport menjelaskan ciri-ciri kematangan beragama yakni berpengetahuan luas dan rendah hati (well-differentiated and self critical). Orang beragama dengan ciri ini mengimani dan memiliki kesetiaan yang kuat terhadap agamanya, namun juga ia mengakui kemungkinan “kekurangan” untuk diperbaiki sehingga mau belajar kepada siapapun termasuk kepada pemeluk agama lain.

Silaturahmi Agar Adil Kepada Berbeda

Masih menurut Allport, orang yang beragama matang juga bisa menerima kritik tetapi memiliki fondasi kuat tentang agama dan istitusi agamanya. Dari sini saya teringat sebuah kisah Umar Bin Khattab yang menerima silaturahmi dari Yahudi Tua.

“Ada keperluan apa Tuan datang jauh-jauh kemari dari Mesir?” tanya Sahabat Umar.

Kemudian Yahudi tua itu menyampaikan maksudnya datang bersilaturahmi terhadap perlakuan semena-mena gubernur Amr bin Ash yang membangun masjid megah diatas tanah miliknya tanpa persetujuannya.

Dengan murka Sahabat Umar berkata, “Perbuatan Amr bin Ash sudah keterlaluan.”

Umar lantas menyuruh Yahudi tersebut mengambil sebatang tulang. Oleh Umar yang juga Khalifah, tulang itu digoreti huruf alif lurus dari atas ke bawah, lalu di tengahnya diberi tanda menggunakan ujung pedang.

“Tuan. Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir, dan berikanlah pada gubernurku Amr bin Ash,” kata Sang Khalifah.

Begitu tulang tersebut diterima oleh Gubernur Amr bin Ash, tak disangka mendadak tubuh Amr bin Ash menggigil dan wajahnya menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Rupanya pada tulang itulah ada peringatan kepada Amr bin Ash agar bertindak adil seperti huruf alif yang lurus, adil di atas dan di bawah.

Penutup. Kuy, rajinlah silaturahmi. Biar kita sering ketemu banyak orang, barangkali dapat membantu kita menemukan solusi. Jangan lupa juga untuk silaturahmi lintas iman, barangkali selama ini kita kadang tidak adil atau bahkan semena-mena kepada mereka. Biar kita menjadi umat Islam yang matang beragama, bukan jadi Bani Micin. Wallahu ‘alam bishawab.