Poligami Bukan untuk Ajang Pamer-Pameran

Poligami Bukan untuk Ajang Pamer-Pameran

Poligami Bukan untuk Ajang Pamer-Pameran
Ustadz Arifin Ilham memperkenalkan istri ketiganya di facebook dan hal ini mendapat pelbagai komentar netizen

‘Ngapain sih pada ngelarang-ngelarang poligami, wong poligami diperbolehkan dalam Islam?’ ujar salah seorang warganet di media sosial. Ia menyebut jumlah istri Nabi Muhammad yang sembilan orang. ‘Nabi saja boleh poligami, masa umatnya enggak?’ ujar yang lain.

Perdebatan tentang poligami kembali menguat seiring viralnya foto salah seorang ustad beken Arifin Ilham yang terlihat mesra bersama ketiga istrinya. Walau bercadar semua tapi dari pancaran matanya terlihat aura kebahagiaan. Ada orang yang memuji-muji sang ustad karena bisa membuat ketiga istrinya akur, tetapi ada pula yang mengritiknya karena meyakini poligami bukan hal yang semestinya diumbar-umbar.

Dalam Islam, poligami masih menjadi perdebatan antara pemahaman yang ‘old’ dan yang ‘now’, antara ulama klasik dan ulama modern, juga antara orang modern yang berpaham progresif dan yang berpaham konservatif. Hal ini tak lepas dari ayat dalam Al-Qur’an yang dianggap sebagai dalil diperbolehkannya poligami.

Allah SWT berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa/4 : 3]

Di dalam ayat ini secara eksplisit Allah SWT memperbolehkan poligami hanya pada suatu kondisi yang mampu bersikap adil. Adil dalam apa? Tentu banyak hal, terutama dalam pembagian nafkah dan giliran. Di ayat selanjutnya, Allah SWT menegaskan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisa/4 : 129]

Bagi yang berpendapat bahwa semangat Islam adalah monogami, artinya poligami itu makruh atau bahkan haram, menjadikan ayat ini sebagai dalil. Logikanya adalah diperbolehkannya poligami hanya dalam situasi jika bisa berbuat adil. Sementara Allah SWT mengatakan bahwa manusia tidak mungkin adil. Artinya poligami tidak diperbolehkan alias haram.

Sementara bagi yang keukeuh dengan pendapat poligami itu sunah biasanya menafsirkan ayat ini sebagai komentar atas keadilan yang bersifat non-materi seperti rasa cinta dan kasih sayang. Manusia tidak akan bisa berbagi cinta dan kasih sayang secara adil. Tetapi adil dalam poligami hanya dalam hal nafkah dan giliran. Jadi, selama orang bisa adil dalam memberi nafkah dan giliran, maka poligami diperbolehkan bahkan menjadi sunah.

Saya tidak ingin berdebat mengenai pendapat mana yang paling baik. Namun yang ingin saya komentari adalah mengenai tokoh agama yang mengumbar foto bersama istri-istrinya. Tanpa mengurangi rasa hormat dengan para tokoh agama, saya pernah mendapat cerita tentang beberapa tokoh yang juga melakukan poligami, tetapi tidak pernah menjadi polemik. Kenapa?

Pertama, poligami adalah hal yang tak perlu diumbar-umbar, apalagi dikampanyekan. Sebab, poligami biasanya dilakukan dengan kondisi yang sangat terpaksa seperti adanya janda miskin yang tidak terurus, adanya penyakit pada istri pertama yang membuatnya tidak mampu melayani kebutuhan biologis suaminya, jumlah perempuan dan lelaki yang tidak seimbang dan lain sebagainya.

Karena sebuah ‘keterpaksaan’, poligami kerap sekali disembunyikan agar masyarakat awam tidak menirunya. Sebab, kekhawatiran akan banyak orang berlomba-lomba melakukannya tanpa dibarengi kualitas keadilan yang setara dengan para pemuka agama yang mengenal agama secara baik dan benar. Karenanya, ulama jaman ‘old’ memilih tidak membuat kegaduhan di tengah masyarakat dengan pamer istri selain yang pertama. Kemana beliau pergi, yang diajak selalu istri pertama.

Kedua, jika acuannya adalah Nabi Muhammad SAW, beliau melakukan poligami setelah wafatnya istri pertama, dan di usia yang tak lagi muda (51 tahun). Itu pun setelah bertahun-tahun menduda dan dilakukan untuk tujuan dakwah, bukan untuk memuaskan kebutuhan biologis. Karenanya, selain Aisyah (9 tahun) dan Qibtiyah (25 tahun), istri-istri Nabi adalah seorang janda yang berusia tua. Contohnya adalah Saudah binti Zam’ah yang dinikahi Rasulullah ketika perempuan beranak 12 itu berusia 70 tahun dan Ummu Salamah berusia 62 tahun. Ulama jaman ‘old’ melakukan poligami pun meniru cara ini, bukan dengan menikahi gadis-gadis atau perempuan yang masih ting-ting.

Apakah tidak boleh poligami? Saya cenderung setuju dengan pendapat dari KH Abdurrahman Wahid:

Secara sosio historis, di Arab itu laki-laki ‘kan boleh punya istri berapa saja. Itu dulu ‘kan begitu. Nah, Islam menguranginya menjadi empat. Kalau dipegang spiritnya, kenapa sih Islam menurunkan jadi empat? Mungkin yang managable waktu itu adalah empat. Nah, sekarang pertanyaan saya, apa adil bisa dipertahankan empat itu? Apakah keadilan bisa betul-betul dijalankan, menggilir harinya, sehingga belanja lahir batin itu bisa sama. Jadi, dengan tidak bermaksud menggugat-gugat Islam, saya kalau ditanya apa mau kawin empat balik bertanya. Tanya istri kamu, boleh enggak? Artinya? Ya, kalau istrinya nggak boleh, ya udah. Sebab, saya yakin nggak ada istri yang mau. (LKiS, 1998). Wallahua’lam...

Sarjoko Wahid, penulis adalah pegiat aktif di islami institute, bisa disapa lewat akun twitter @sarjokooo