Membahas masalah hijab, cadar atau apapun yang berhubungan dengan pakaian wanita muslim seperti tak ada habisnya. Sebagai negara yang sedang belajar berdemokrasi selalu saja timbul pro dan kontra di kalangan masyarakat, ini saya rasa bagus untuk proses pendewasaan demokrasi. Belum lama saya menulis tentang alasan yang melatar belakangi penggunaan hijab oleh seorang publik figur. Dan tulisan ini dibuat terkait ramainya perbincangan aturan pelarangan penggunaan cadar di UIN Sunan Kalijaga Jogja oleh rektor.
Saya bisa memahami sepenuhnya kegelisahan di kalangan kampus ini. Apalagi sebelumnya pernah dituduh telah melakukan diskriminasi oleh seorang ulama yang bermahzab wahhabi. Apakah pelarangan tersebut merupakan reaksi atas protes sang ulama? Tentu hanya pihak kampus yang bisa menjawab ini.
Terlepas dari itu semua, bagi saya melarang seseorang untuk menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu sepertinya hanya akan menimbulkan keributan baru. Karena akan banyak sekali argumen yang mendasari kedua hal tersebut. Dari sudut yurisprudensi rasanya tidak ada undang-undang untuk melarang penggunaan cadar bagi warganegara Indonesia. Alangkah mundurnya peradaban kita ketika ini sampai terjadi.
Kalaupun dianggap pengguna cadar sangat dekat hubungannya dengan ajaran radikalisme itu lebih lucu lagi, bahkan saya anggap sebagai sesat pikir. Saya setuju dengan pendapat Najib Azca, dosen sosiologi Universitas Gajah Mada yang mengatakan bahwa tidak ada kaitan langsung antara cadar dengan radikalisme. Lebih tepat kalau cadar itu adalah konservatisme, yaitu cara hidup yang menafsirkan agama secara konservatif, ketat, skripturalis. Nah, kalau seperti itu artinya pelarangan cadar justru akan menimbulkan perlawanan, yang awalnya tidak radikal malah bisa jadi radikal karena hak-hak mereka yang terusik.
Pelarangan HTI misalnya, apakah dengan dibubarkannya HTI kemudian memadamkan ideologi ini? Tidak ! Bahkan mereka semakin gencar dan sulit dikontrol. Organisasi ini bisa jadi sudah tidak eksis lagi, tapi ideologi khilafah yang diusung semakin nyaring terdengar. Mereka bergerilya dengan berbagai macam cara, menyusup ke berbagai elemen masyarakat.
Bukan sedang tidak setuju dengan pelarangan HTI tapi akan lebih baik jika pelarangan tersebut diikuti dengan fungsi kontrol terhadap aktivitas mereka. Kondisi sekarang justru seperti membenturkan antara umat Islam yang anti dan pro khilafah, ideologi usungan HTI. Fungsi kontrol yang semestinya menjadi domain pemerintah, karena terjadi pembiaran, akhirnya diambil alih oleh ormas lain yang tidak setuju dengan ideologi khilafah.
Dan ketika itu terjadi di lapangan bisa berakibat fatal. Entah sudah berapa kali Ansor dan Banser difitnah karena hal ini, padahal tujuan mereka benar, untuk mengeliminir gerakan kelompok anti Pancasila.
Kembali ke masalah pelarangan penggunaan cadar, sepertinya akan lebih baik jika dilakukan secara persuasif dan tetap mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Saya kira lembaga seperti perguruan tinggi tidak pernah kekurangan strategi untuk membuat mahasiswa menjadi “tidak berdaya” tanpa terkesan melakukan tindakan yang melanggar hak asasi manusia.
Mereka yang kuliah di tahun ’90an pernah merasakan bagaimana tidak enaknya duduk seharian selama 1 minggu mendengarkan doktrin tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, dan itu dijadikan sebagai syarat wajib supaya bisa diterima jadi mahasiswa.
Dengan konteks yang hampir sama, kenapa ini tidak coba dilakukan? Misalnya, pengenalan budaya Islam Nusantara. Kalau mau lebih ekstrim jadikan ini sebagai MKDU untuk setiap fakultas, dengan bobot 3 sks, misalnya. Semakin banyak yang mengulang mata kuliah ini tentu akan semakin bagus. Karena hasilnya, mereka akan semakin moderat dan toleran.
Sebagai perguruan tinggi, UIN telah melahirkan banyak cendekiawan muslim yang moderat. Jangan sampai isu pelarangan penggunaan cadar ini membuat institusi malah menjadi terjerembab kedalam hipokritisme. Namun, para ukhti yang menggunakan cadar juga harus sadar, bahwa kalian hidup di Indonesia yang juga memiliki aturan.
Jangan dengan dalih menjalankan syari’at jadi seenaknya melanggar aturan. Data sebagai mahasiswa, berupa nama, alamat dan yang terpenting adalah foto wajah sebagai identitas adalah wajib. Karena dosen juga berhak mengenali ciri dan identitas kalian. Kalau kalian tetap bersikukuh tidak mau melepas cadar, saat ujian skripsi bagaimana dosen bisa tahu kalau kalian tidak menggunakan joki?
Jadi, buatlah aturan sesuai dengan porsinya dan gunakanlah cadar sesuai dengan porsinya.
Wallahu a’lam