Polemik izin pendirian rumah ibadah hampir selalu terjadi secara periodik. Kadang tiba-tiba muncul, kadang muncul di momen politik, dan kadang juga muncul menjelang hari besar agama tertentu.
Boleh dibilang, ini adalah isu klasik sejak reformasi 1998 yang juga diikuti oleh ragam letupan religi, keyakinan, maupun etnisitas di daerah. Mulai dari yang berdarah sampai yang sebatas perundungan. Apapun derajatnya, tetap bukan sesuatu yang positif untuk dibiarkan.
Di belakangnya, unsur politik, budaya, kependudukan, dan bahkan ekonomi ternyata ikut bermain. Beberapa waktu lalu, saat rapat bersama kepala-kepala daerah se-Indonesia di Sentul, Bogor, Presiden Jokowi juga menyayangkan soal keberulangan pelarangan pendirian rumah ibadah. Presiden melihat pelarangan rumah ibadah jelas sebuah pelanggaran konstitusi. Semua rakyat Indonesia punya hak kebebasan beragama.
Pertanyaannya, mengapa beberapa kepala daerah ikut melarang izin pendirian rumah ibadah?
Usut punya usut, ada aturan kolaboratif antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tahun 2006. Pasal 14 ayat (2) dari BAB IV Permen Nomer 8 dan 9 tahun 2006 mensyaratkan, harus ada minimalnya 90 penduduk pengguna rumah ibadah tersebut, dan dukungan dari minimalnya 60 warga sekitar yang disahkan lurah/kades setempat. Mendirikan rumah ibadah boleh jadi tantangan bagi umat yang bersangkutan, sekaligus ujian toleransi bagi warga setempat.
Terlepas dari ada atau tidaknya keterlibatan sentimen religi dalam praktik pemerintahan maupun kebijakan tata kelola umat beragama, aturan itu sepertinya masih menggunakan imajinasi kependudukan statis sebagai asumsi dasarnya: umat beragama diimajinasikan sebagai penduduk tetap dan terikat di suatu daerah dan terisolasi dari mobilitas.
Entah konteks geografis mana yang banyak mewarnai asumsi dasar di baliknya. Tetapi, kegiatan peribadatan tidak lepas dari perpindahan penduduk. Jika misalnya ada lima desa di suatu kecamatan, dan pra-syarat di atas baru bisa terpenuhi bila jumlah umat dari lima desa itu digabung, maka salah satu desa harus rela berbagi ruang dengan umat non-mayoritas. Mau tidak mau, umat bersangkutan harus melakukan mobilitas penduduk walau hanya lintas-desa dalam satu kecamatan.
Kondisi lain juga bisa terbayang, jika misal suatu wilayah desa/kelurahan urban berisi para perantau dengan ragam agama. Penduduk asli mungkin memeluk agama tertentu. Tetapi saat populasi mereka digabung dengan para perantau, ternyata tidak ada salah satu agama yang menjadi mayoritas. Dalam konteks ini, pendirian rumah ibadah sepertinya bukan tentang restu maupun kebutuhan warga asli semata, maupun juga bukan tentang keberlangsungan kemurnian iman setempat, melainkan soal kebutuhan hak sesama manusia di satu ruang hidup tertentu untuk menunjang keharmonisan bersama.
Di beberapa desa yang kebetulan berlokasi di jalur lintas kota, boleh jadi desa ini memikul tanggungjawab regional atas kebutuhan ibadah umat-umat tertentu saat mereka dalam perjalanan. Ada atau tidaknya suatu rumah ibadah umat tertentu kemudian menjadi pembuktian ada atau tidaknya keramahan regional (regional hospitality). Dalam beberapa kasus, ada juga pembangunan rumah ibadah umat minoritas di suatu daerah justru mendatangkan manfaat sosial maupun ekonomis bagi umat mayoritas sekitar.
Skenario-skenario di atas hanya sebagian dari aneka kemungkinan yang mungkin terjadi. Tetapi semuanya menyiratkan bahwa, pembangunan rumah ibadah umat tertentu tidak bisa berpatok pada pengandaian statis. Masalahnya adalah, banyak polemik izin pendirian rumah ibadah berasal dari masih kuatnya perasaan kolektif yang melihat satu wilayah tertentu adalah ‘kavling’ milik umat tertentu.
Satu sisi, ini tidak salah. Namun di lain sisi, di sinilah toleransi sedang diuji. Kalau ditelusuri, bagaimana pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama diajarkan juga punya peran tidak langsung atas penolakan rumah ibadah. Di sekolah dasar, ataupun jenjang lainnya, anjuran untuk menghargai dan menghormati agama lain jelas ada. Tetapi ketika memasuki usia dewasa, pelajaran sekolah sering kali tergantikan oleh pemahaman-pemahaman baru yang diperoleh dari majelis pengajian sekitar, anggapan umum komunitas (common sense), maupun ceramah di YouTube.
Toleransi kemudian terpangkas dalam makna-makna kerangka keumatan dan keagamaan, walau kadang-kadang sering juga dikaitkan dengan kebangsaan. Kearifan sosial soal seperti apa komposisi penduduk sekitar, bagaimana kondisi regional dan bagaimana kebiasaan mobilitas penduduk di luar komunitasnya kemudian terlewat untuk terbayang. Dan ini sebenarnya mengantarkan kita pada pertanyaan yang lebih besar: mengapa toleransi sering diucap walau frekwensi tindakan intoleran juga silih berganti?
Sebagai sebuah wacana dan angka statistik, toleransi di Indonesia punya tampilan yang mengagumkan. Namun, sejak keberadaannya juga punya kaitan dengan kekuasaan dan dominasi mayoritas tertentu, maka interogasi dan kemungkinan bias-bias di dalamnya juga patut diwaspadai. Sebagai contoh kecil: seorang mahasiswa jurusan pendidikan Islam di suatu kota dengan penduduk mayoritas santri, pernah mengajukan skripsi tentang sikap toleran siswa SMP di wilayah itu. Bagaimana toleransi bisa terpotret jika sehari-hari siswa SMP bertemu penduduk yang homogen dan tidak pernah menjadi minoritas di suatu wilayah lain?
Contoh lainnya: saya tinggal di satu perumahan kecil. Satu komplek hanya ada 20 rumah. Semuanya muslim, kecuali satu tetangga depan rumah saya. Komplek itu cukup hening di malam hari, jadi setiap malam Natal atau Paskah, kami bisa mendengar tetangga Kristiani kami menyanyi puji-pujian dan senda-gurau bersama sanak-kerabatnya.
Kebetulan, ada dua rumah di sebelahnya dikontrakkan. Saat lebaran tiba, ibu-ibu menduga-duga, apakah dua rumah itu akan segera terisi penghuni baru? Salah seorang ibu-ibu dari latar belakang santri merespon, “kalau bisa cari orang Islam saja yang mau ngontrak.” Ibu-ibu lain menimpali, “iya, kalau malem natal rame banget.” Saya terperangah mendengarnya.
Saya tidak tau apakah dua contoh itu termasuk anomali dari kegemilangan wacana dan statistik toleransi di Indonesia atau bukan. Namun, sepertinya perlu untuk menguji lebih jauh soal realitas toleransi yang selama ini sering kita pahami melalui normativitas tertentu (khususnya normativitas kelompok mayor), mengingat Indonesia juga mewarisi enklav kependudukan yang sedemikian terkotak dari warisan pemerintah Hindia-Belanda. Secara regional, kita bisa terbayang soal kawasan pecinan, arab, dan pribumi di suatu kota tertentu.
Hal itu belum ditambah dengan ‘ruang gema pergaulan’, di mana identitas ataupun kelompok tertentu hanya bergaul dengan sesamanya. Bukan karena individunya tidak mau, melainkan karena jejaring sosialnya sulit―atau bahkan tidak memungkinkan―untuk mengantarkannya pada perjumpaan―apalagi persahabatan―dengan si liyan. Ketika siklus ini tereproduksi dari waktu ke waktu, maka tidak menutup kemungkinan tumbuh suatu primordialisme yang mungkin bisa meletup secara tidak sadar saat individu berinteraksi dengan liyan.
Jadi, menguji kembali toleransi agar melampaui batas-batas normatif maupun statistik adalah satu hal tersendiri. Tetapi, masalah penolakan izin mendirikan rumah ibadah yang terus berulang terjadi adalah alarm atas pendekatan dan aplikasi toleransi yang selama ini kita terapkan. Niat politik (political will) dan kepemimpinan politik (political leadership) dari kepala daerah jelas punya pengaruh signifikan, tetapi tidak bisa dilupakan juga bahwa wacana dan pendidikan toleransi yang selama ini dihembuskan banyak pihak juga perlu dilengkapi dengan ruang-ruang perjumpaan dari hasil evaluasi kritis atas tata pergaulan dan kependudukan kita, supaya manfaat yang melampaui kepentingan suatu komunitas agama bisa terbayang oleh anggota-anggotanya saat mendengar di daerahnya akan dibangun rumah ibadah umat lain.