Suasana menjadi tampak gaduh. Abu Nawas pada hari itu menyuruh murid-muridnya untuk untuk pulang dan datang kembali dengan membawa cangkul, penggali, kapak, dan batu. Tentu saja para murid itu bingung, tetapi karena yang menyuruh gurunya perintah itu dilaksanakan juga.
Yang lebih aneh adalah malam harinya. Bersama dengan Abu Nawas, murid-murid tersebut datang ke rumah seorang hakim atau kadi.
Sesampainya di tempat Kadi, Abu Nawas menyuruh muridnya untuk menghancurkan rumahnya. Tentu saja perbuatan anarkis Abu Nawas dan muridnya ini membuat heboh. Orang-orang yang ada disekitarnya lari tunggang langgang. Mereka tidak berani mencegah. Bahkan kadi pun hanya marah-marah namun tidak berbuat apa-apa.
Keesokan harinya kadi melaporkan perusakan rumahnya kepada Khalifah Harun al Rasyid. Menerima pengaduan ini, Khalifah langsung memerintahkan pengawalnya untuk memanggil Abu Nawas.
“Abu Nawas mengapa engkau merusak rumah hakim ini, “ tanya Khalifah.
“Maaf Khalifah sebelum merusak rumah Tuan Kadi ini, saya bermimpi beliau menyuruh saya merusak rumahnya. Rumah itu tidak cocok baginya,” jawab Abu Nawas.
“ Lho kok bisa begitu Abu Nawas. Apakah boleh sebuah mimpi dijadikan perintah untuk dilakukan? Hukum negeri mana yang kau pakai itu?” tanya sang Khalifah.
Dengan tenang Abu Nawas menjawab, “Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi Tuanku.”
“Hai Kadi benarkah kau mempunyai hukum seperti itu,” tanya Khalifah ganti bertanya.
Mendengar pertanyaan Khalifah, Kadi tidak berani menjawab. Wajahnya pucat tubuhnya gemetaran karena ketakutan. Kemudian Abu Nawas menjelaskan kepada Khalifah musabab mengapa dia merusak rumah Kadi itu.
Ia menerangkan bahwa beberapa hari sebelumnya,ada pemuda Mesir yang datang ke Bagdad. Pemuda itu membawa harta yang banyak tetap Kadi merampas harta benda pemuda itu berdasarkan mimpinya.