Salah satu kegiatan yang banyak diadakan di pondok pesantren adalah musyawarah. Musyawarah dilakukan untuk mencari solusi atas sebuah problematika. Di pesantren saya, rujukannya adalah kitab-kitab klasik bermadzhab Syafi’i.
Biasanya, pengurus yang meng-handle kegiatan musyawarah menyebar kertas formulir pertanyaan ke kelas-kelas beberapa hari sebelum musyawarah dilakukan. Problem sehari-hari bisa dijadikan bahan, mulai persoalan kamar mandi hingga hal-hal yang seolah tak masuk akal. Misalnya bagaimana hukumnya mencuri hati santri banat (perempuan). Dari formulir tersebut dipilihlah pertanyaan-pertanyaan untuk didiskusikan.
Selain untuk memecahkan suatu permasalahan, dari forum musyawarah di kelas, pengurus akan melihat potensi santri-santri berbakat yang akan dikader sebagai tim debat. Tim debat akan dikirim ke berbagai forum antar-madrasah dan menjadi previllege tersendiri bagi seseorang. Biasanya, si tukang debat akan melanjutkan pendidikannya di Arab pasca lulus Aliyah.
Perlu diketahui, tidak semua santri yang sedari orok belajar nahwu dan sharaf itu bisa memahami kitab kuning. Di kelas saya mayoritas memiliki kemampuan biasa-biasa saja. Sementara santri yang lancar membaca kitab, di forum musyawarah akan dijadikan andalan. Tanpa ada pendapat pembuka, biasanya si pintar didorong memberikan jawaban penutup agar forum cepat selesai.
Namun pernah satu waktu suasana kelas ramai. Bahkan beberapa sandal japit sampai melayang di udara. Pasalnya, ada salah seorang santri yang marah karena pendapatnya ‘dihabisi’ oleh si pintar. Mungkin karena terbisa memberi jawaban yang terlihat seperti doktrin, si pintar ahli debat selalu merasa di atas angin.
Sebenarnya si pintar tidak salah. Ia menghabisi pendapat dengan dalil yang tertulis di kitab. Di forum debat, hal-hal semacam itu sangat biasa terjadi. Akan tetapi kelas adalah persoalan lain. Seorang santri yang marah itu kemudian mengeluarkan jurus sakti. “Untuk persoalan ini, pokoke hukumnya ini. Ini pendapat dari Yai Fulan dan saya sudah catat baik-baik.”
Teman-teman lain yang sama-sama kurang literasi menimpali, “Wah kok bisa pendapatmu bertentangan sama Pak Yai. Jangan sok pintar mentang-mentang bisa baca kitab.”
Dulu kejadian itu saya anggap biasa saja. Lha wong namanya anak pesantren yang agak ngokol (ngotot) juga ada. Tetapi perkawanan tetap terjalin dengan baik. Nah, saya mulai menyadari ada yang salah dengan cara itu justru setelah lulus dari pesantren.
Misalnya soal sweeping atau penutupan warung di bulan Ramadan. Saat masih Aliyah, saya memang tidak setuju jika ada warung buka di bulan Ramadan. Ada orang sedang beribadah kok malah berani-beraninya menggoda? Begitu pikir saya waktu itu. Namun kalau pun ada warung buka, ya sudah. Toh yang punya warung pasti punya alasan sendiri. Apalagi mereka sudah berupaya menutup warungnya dengan tirai.
Masalahnya, ada sebagian orang justru melakukan langkah yang menurut saya kelewatan. Memaksa sebuah warung tutup bahkan dengan cara kekerasan. Tak jarang berbagai bentuk makian menyembur dari mulut si tukang sweeping. Saya pun mbatin, puasa-puasa kok malah marah-marah gak jelas? Marah memang tidak membatalkan puasa, tetapi membuat pahala orang tersebut hilang. Puasanya jadi puasa penuh haus dan dahaga tanpa ganjaran.
Salah satu alasan mereka memaksa warung tutup adalah meminta orang yang tidak berpuasa untuk menghormati yang berpuasa. Pokoknya, karena ini adalah bulan suci, semua harus menyesuaikan diri. Prinip pokoknya alias pokok’e ini menjadi barrier kuat seseorang untuk menutup diri dari pendapat lain.
Perihal warung buka di bulan puasa sebenarnya bisa ditinjau dari banyak sudut pandang. Di antara sekian banyak orang yang berpuasa, ada banyak pula yang tidak berpuasa. Entah karena menganut agama selain Islam atau pun umat Islam yang sedang libur berpuasa seperti orang haid atau pun orang yang melakukan perjalanan jauh alias musafir.
Bagaimana orang-orang yang tidak berpuasa ini makan apabila tidak menemukan satu pun warung yang buka? Bagaimana dengan satu kondisi khusus ada orang kelaparan namun mereka kesulitan menemukan warung karena semua dipaksa tutup?
Apa-apa yang menggunakan prinsip pokoke, terutama yang menyangkut agama, akan semakin jauh dari pokok sebenarnya. Mau bagaimana pun kita hidup di tengah dunia yang sangat beragam. Agama mengajarkan untuk menghargai keberagaman itu. Dalam hal puasa, saya setuju dengan Gus Dur yang mengatakan bahwa muslim yang baik akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa.
Toh, bulan puasa itu bulan refleksi. Kita disunahkan untuk memperbanyak ibadah dan berdiam diri di rumah atau iktikaf di masjid. Lha masak sama warung yang nun jauh di sana kita tergoda? Emangnya puasa kita habiskan untuk jelajah warung?
‘Lha kan kami melindungi akidah orang lain.’ Halah, alasan! Akidah orang lain tidak akan selemah akidahmu yang hanya karena warung buka jadi ingin membatalkan puasa. Semakin kuat akidahnya, semakin ia terbiasa dengan berbagai cobaan. Mending fokus saja memperbaiki akidah sendiri daripada sibuk mengukur akidah orang lain dengan standar diri sendiri. Wallahua’lam.