Pohon-pohon kebencian, dusta (hoax) telah banyak ditanam di lahan medsos. Tetapi banyak pula pohon-pohon kebaikan, kejujuran dan kasih-sayang yang disebarkan di medsos. Cepat atau lambat semuanya akan memanen apa-apa yang telah ditanamnya.
Terkadang orang mengira buah dari perilaku buruk adalah kebajikan. Tetapi yang terjadi sebenarnya dusta membuahkan dusta, fitnah membuahkan fitnah, caci-maki membuahkan caci-maki. Seringkali, hasil panen itu tak terasa karena wujudnya tak kelihatan. Bahkan bisa jadi tanaman keburukan menghasilkan panen materi, kejayaan, pujian.
Orang bisa kaya dengan cara-cara korupsi, berdusta dan menipu; orang bisa saja tampak di atas angin ketika caci-makinya melebihi takaran caci-maki lawannya. Padahal saling mengumpat adalah celaka. Si A mengumpat si B. Si B mengumpat si A. Adu umpatan adalah perlombaan mencari celaka, sebab “celakalah orang-orang yang mengumpat lagi mencela,” demikian Tuhan berfirman.
Kita terkadang lupa bahwa proses juga penting dalam meraih tujuan. Tahu goreng entah bulat entah kotak bisa jadi sangat renyah dan lezat rasanya walau dalam proses penggorengannya menggunakan minyak yang sudah dipakai berkali-kali plus tambahan borak atau formalin.
Rasanya enak, namun diam-diam tahu goreng itu, jika dikonsumsi setiap hari, akan merusak tubuh dari dalam. Demikian pula dalam kegiatan yang kita klaim menegakkan kebenaran dan kebajikan yang memakai cara buruk.
Ambil contoh berdusta. Pertama kali berbohong, mungkin tak ketahuan. Tetapi lama-lama ketahuan juga, sehingga orang harus menciptakan kebohongan baru untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Berlipatgandalah produk kebohongannya.
Jika dibiasakan, orang yang biasa berbohong tak akan pernah merasa salah jika bohong. Bahkan ia merasa tak cukup hanya berbohong untuk menutupi kebohongannya: ia lalu memfitnah untuk mengalihkan perhatian orang dari kebohongannya. Dalam fitnah jelas mengandung unsur kebohongan.
Level dustanya meningkat, panennya bermacam-macam: fitnah, umpatan, benci, dan seterusnya, yang selain merusak orang lain juga merusak diri sendiri.
Kerusakan pada diri yang gawat adalah ketika pendusta akut menjadi percaya bahwa apapun kebohongan yang datang dari dirinya adalah kebenaran, atau setidaknya, tidak apa-apa berbohong. Ia kemudian memproyeksikan kebohongan dirinya pada orang lain. Yakni apapun yang tidak sesuai dengan keinginan atau gagasan dirinya akan langsung ia tuduh bohong, bahkan jika itu adalah fakta objektif dan empiris sekalipun.
Ketika pohon dusta yang ditanamnya makin subur dan rindang, maka ia mendapatkan buah yang baru yang lebih gawat. Ia tak sadar telah dibohongi oleh hawa nafsunya sendiri. Dengan bantuan setan, hawa-nafsu pendusta membohongi si pendusta sehingga ia merasa dirinya berada di jalan kebenaran.
Si pengumpat dibohongi hawa nafsunya bahwa mengumpat itu tidak apa-apa walau menyakiti hati dan perasaan banyak orang. Pada level ini, ia jadi mudah dibohongi pula oleh orang lain. Hawa-nafsunya mudah ditunggangi oleh hawa nafsu orang lain yang lebih cerdas, misalnya oleh orang yang memiliki syahwat kekuasaan dan keserakahan pada harta.
Maka segala fakta, segala nasihat baik, segala ayat suci, tak lagi bisa ia dengar jika itu semua bertentangan dengan kemauan dan gagasan dirinya sendiri; atau ayat suci akan ia tafsirkan sesuai hawa nafsunya. Misalnya, ayat “celakalah orang-orang yang mengumpat” hanya dia berlakukan untuk orang lain; dirinya sendiri tetap rajin mengumpat setiap hari karena merasa tidak apa-apa mengumpat sebab dirinya selalu benar.
Sekarang bayangkan, jika hawa-nafsunya membohongi dirinya sendiri dalam level yang makin intens dan kuat. Orang bisa mudah mengkafirkan orang lain, walaupun sudah ada peringatan keras dari Nabi agar jangan mengkafir-kafirkan orang lain karena konsekuensinya berat.
Tetapi apakah orang yang sudah biasa berdusta sampai tertutup hatinya mau mendengar peringatan yang bagus ini?
Maka yang terjadi barangkali adalah realisasi dari ayat “summun bukmun umyun ~ pekak, bisu dan buta, maka tiadalah mereka akan kembali ke jalan yang benar.”
Kedustaan menjadi sebab hatinya tertutup dari apapun selain hawa nafsunya sendiri. “Seneng ngafirke liyane, kafire dhewe ora digatekne,” demikian dalam syi’iran yang sempat populer itu.
Kita menanam dan kita memanen. Ngunduh wohing pakarti. Idealnya kita memang mesti hati-hati menanam sesuatu dalam laku kehidupan kita.
Nah, apa yang telah anda tanam hari ini? Saya sih menanam daun sirih untuk obat, karena saya sering sakit gigi.