Sebelum mendarat di Jakarta, penguasa Kerajaan Arab Saudi mengadakan kunjungan ke Malaysia. Saya mengintip laporan media-media Malaysia tentang kunjungan tersebut. Sekalipun suasana hati publik di Malaysia merasakan adanya kunjungan orang penting, namun Raja Salman tidak mendapat sambutan segempita di Indonesia.
Mungkin situasi politik di kedua negara ini berbeda. Malaysia adalah sebuah negara yang jauh bisa dikatakan demokratis. Meeka tidak punya perdebatan politik setajam kita. Di Indonesia, penyambutan terhadap Raja Salman langsung menjadi ajang pertikaian partisan. Bukan antara pro dan anti-Raja Salman namun antara siapa yang paling ‘dekat’ dan paling ‘absah’ (legitimate) untuk mengidentifikasikan diri dengannya.
Kita melihat elit politik pun bermanuver. Salaman dengan raja ini dengan segera menjadi perdebatan sengit. Pihak yang berada diluar pemerintahan berusaha mendapatkan akses untuk bisa berdekatan dengan sang raja. Pihak yang resmi mendapatkan akses menemui raja menggelembungkannya sedemikian rupa.
Perang partisan ini mengangkat suasana hati publik. Raja Salman agaknya menjadi salah satu tamu negara terpenting yang pernah berkunjung ke Indonesia. Hanya saja, tidak dalam kerangka ekonomi. Tidak pula dalam kerangka politik. Indonesia hanya mendapat $6 milyar investasi. Negara yang jauh lebih besar dari Malaysia ini mendapat investasi yang lebih kecil. Dari sisi politik pun hampir tidak ada hal yang siginifikan yang dibicarakan. Tidak ada sikap keras terhadap Israel. Apalagi kegarangan membela nasib bangsa Palestina.
Namun, kunjungan ini mendapatkan bobotnya dalam segi pertunjukan ‘kekuasaan simbolik’ (symbolic power).
Harian The New York Times menurunkan laporan tentang kunjungan Raja Salman ke Asia ini. “Anda boleh bilang bahwa ini adalah diplomasi gemerlap,” demikian kalimat pertama artikel itu. Iya memang betul-betul gemerlap. Mereka datang dengan 6 pesawat jet supermewah, satu hercules C-130 untuk mengangkut 506 ton kargo, dua mobil Mercedes-Benz S600, dan dua elevator elektrik. Perlu 572 pekerja hanya untuk mengurusi koper dari delegasi yang berjumlah 1,500 orang. Mereka antara lain terdiri dari 25 Pangeran yang juga pejabat tinggi, 10 menteri, dan 100 petugas keamanan.
Setelah kunjungan resmi di Jakarta, rombongan ini akan berlibur di Bali.
Apa? Bali? Iya! Bali! Pameran kemewahan yang luar biasa ini membuat saya membuka kembali buku lama, yang untuk saya sangat sulit. Sekali pun tidak persis, toh saya bisa memahami bagaimana pameran kekuasaan dan pameran kekayaan ini bekerja dalam hubungan kekuasaan antara Indonesia dan Saudi Arabia.
Adalah Clifford Geertz yang pada tahun 1980 mengeluarkan sebuah buku tentang ‘Negara” yang diklaimnya sebagai ‘Negara Teater’. Geertz mengulas tentang ‘symbolic power’ dalam negara dalam studi kasusnya tentang Bali pada abad ke 19. Untuk Geertz, negara tidak melulu terdiri dari basis material seperti yang dipahami lewat pendekatan Marxis. Tidak juga melulu sebagai institusi yang mewakili kepentingan kekuatan-kekuatan di dalamnya seperti dalam pemikiran liberal pluralis. Negara juga tidak seperti polisi dalam pengertian Hobessian atau pemegang monopoli kekerasan dalam pengertian Weber.
Dengan mengambil kasus Bali, Geertz mengatakan bahwa kekuasaan simbolik juga sangat penting. Dia mengembang sebuah teori politik bahwa negara juga dibangun lewat kekuasaan puitik (poetics of power) lewat berbagai macam upacara — dimana semua partisipannya adalah pemegang-pemegang peran (roles) baik sebagai pemimpin upacara, pengatur panggung, pelayan, pemain, dan lain sebagainya.
“Power served pomp, not pomp power,” demikian diktum Geertz. Kekuasaan mengabdi pada kemegahan, namun bukan kemegahan kekuasaan.
Sesungguhnya apa yang terlihat pada kunjungan Raja Salman ini adalah sebuah kekuasaan simbolik yang luar biasa. Untuk saya, bukan kemewahan dan kemegahan Raja Salman yang mempesona saya. Yang sangat istimewa untuk saya, sebagai orang yang belajar ilmu-ilmu sosial, adalah kosntruksi publik Indonesia terhadap Raja Salman. Pertunjukan kemewahannya tidak mendapat perhatian di Malaysia, yang juga negara mayoritas Muslim.
Kita, publik Indonesia, benar-benar memunculkan kekuasaan simbolik Raja Salman hingga ke tingkat yang maksimal. Dia tidak saja kita terima dengan normal sebagai sebuah kepala dari sebuah negara. Kita memperlakukannya sebagai sebuah model ideal, sebagai sebuah (mengutip Geertz) “exemplary center.”
Salman dan Arab Saudi adalah “exemplary center.” Tempat kita berkiblat — dimana semua serba mewah, pangeran serba ganteng, putri-putri kerajaan dengan kecantikan kelas dunia. Ditambah lagi, Arab Saudi memang memiliki bobot relijius. Jadilah dia seperti surga — ‘exemplary center’ dalam tingkatnya yang paling tinggi.
Bagunan kekuasaan puitik ini jelas menyembunyikan kenyataan. Saudi adalah negara dimana rakyatnya harus mengetatkan ikat pinggang karena kesulitan ekonomi (namun toh elitnya tetap bergelimang kemewahan). Ini adalah negara dimana tidak ada kebebasan — hanya boleh ada satu agama dengan satu aliran, tidak ada hak untuk perempuan, rekor dalam pelaksanaan hak-hak asasi yang rendah, persoalan perlakukan terhadap buruh migran, hingga ke soal jatuhnya crane yang hingga saat ini pun ganti ruginya tidak jelas.
Persis, di balik karpet kemewahan dan kekuasaan simbolik itu, terbenam tulang belulang.