Pluralisme Nusantara yang Dilupakan, Membincang Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur soal Multikulturalisme

Pluralisme Nusantara yang Dilupakan, Membincang Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur soal Multikulturalisme

Pluralisme Nusantara yang Dilupakan, Membincang Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur soal Multikulturalisme
Ilsutrasi: muslimah sedang berkunjung ke Borobudur, tempat suci Agama Budha (Shutterstock)

Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku, dan beragam agama bisa hidup dalam harmoni? Apakah keberagaman ini adalah berkah, atau justru tantangan yang terus menuntut kedewasaan kita sebagai bangsa?

Nusantara adalah rumah besar bagi keanekaragaman budaya, bahasa, agama, dan tradisi. Bukan hanya sebagai fakta geografis, tetapi juga sebagai realitas sosial yang membentuk wajah Indonesia hari ini. Di tengah dunia yang semakin homogen karena globalisasi, keberagaman ini bukan hanya harta karun budaya, melainkan juga tantangan besar dalam membangun masyarakat yang adil, damai, dan manusiawi.

Pluralisme di Nusantara tidak cukup dipahami sebagai sekadar hidup berdampingan dalam perbedaan.

Ia adalah cara hidup—sebuah falsafah yang mengajak kita menyadari bahwa perbedaan bukan sesuatu yang harus ditoleransi semata, tetapi sesuatu yang harus diterima, dihargai, dan bahkan dirayakan. Namun, perjalanan pluralisme di negeri ini tidak selalu mulus.

Sejarah mencatat bahwa konflik horizontal, politisasi identitas, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih terus terjadi. Munculnya intoleransi dalam ruang-ruang sosial dan politik menunjukkan bahwa pluralisme bukanlah sesuatu yang otomatis hadir dalam masyarakat majemuk. Ia harus diperjuangkan secara sadar.

Di sinilah pentingnya kembali membaca pemikiran tokoh-tokoh bangsa yang telah lebih dahulu menegaskan pentingnya pluralisme sebagai fondasi kehidupan berbangsa. Nurcholish Madjid (Cak Nur), seorang cendekiawan Muslim yang progresif, menyatakan bahwa “Pluralisme adalah keniscayaan dalam masyarakat modern.”

Menurutnya, keberagaman adalah kehendak Tuhan, dan karena itu, penerimaan terhadap perbedaan bukan hanya keharusan sosial, tapi juga spiritual.

Bagi Cak Nur, pluralisme adalah jalan menuju kedewasaan iman: semakin dalam keyakinan seseorang, semakin ia terbuka dan damai terhadap keyakinan orang lain.

Sementara itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengajarkan kita bahwa kemanusiaan lebih utama daripada sekadar identitas agama atau suku.

“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan, katanya.

Melalui tindakan dan keberpihakannya pada kelompok minoritas, Gus Dur menunjukkan bahwa pluralisme sejati lahir dari sikap hidup yang mengutamakan keadilan, empati, dan kebersamaan. Sebagai penulis dan warga bangsa, saya memandang pluralisme Nusantara bukan hanya sebagai cita-cita sosial, tetapi juga sebagai panggilan spiritual dan moral.

Kita hidup dalam masa ketika perbedaan sering kali dimanipulasi demi kepentingan sempit. Dalam situasi seperti ini, kita dituntut untuk bersikap lebih berani: bukan hanya diam ketika menyaksikan intoleransi, tapi juga aktif membangun ruang-ruang dialog dan perjumpaan antar kelompok.

Pluralisme sejati tumbuh melalui perjumpaan yang tulus, pendidikan yang terbuka, serta kebijakan negara yang berpihak pada keadilan sosial. Di sinilah peran penting pendidikan multikultural, media yang bertanggung jawab, dan kepemimpinan politik yang beretika. Sebagai bangsa, kita telah mewarisi semboyan agung: Bhinneka Tunggal Ika. Ini bukan sekadar slogan, melainkan kompas moral yang mengingatkan kita bahwa kesatuan bukan berarti keseragaman. Kita bisa berbeda dalam keyakinan, budaya, bahkan cara hidup—tetapi tetap satu dalam tujuan: membangun masyarakat yang bermartabat dan berkeadilan.

Pluralisme Nusantara harus menjadi semangat yang hidup dalam keseharian: dalam cara kita bertetangga, bersekolah, bekerja, dan berpolitik. Ia bukan milik elit, bukan sekadar wacana akademik, tapi nilai yang harus diperjuangkan oleh setiap warga negara. Pluralisme bukan hanya milik wacana akademik, tetapi harus turun ke jalan-jalan kampung, ke ruang kelas, ke tempat ibadah, ke ruang kerja, hingga ke dunia digital. Ketika kita mendapati seseorang yang berbeda—dalam keyakinan, warna kulit, kebiasaan makan, bahkan gaya bicara—kita sedang diundang untuk belajar tentang dunia yang lebih luas dari diri kita sendiri.

Namun ada satu tantangan besar yang kerap dilupakan: pluralisme bukan sekadar “hidup berdampingan dalam damai”, tetapi juga “berani menghadapi ketidaknyamanan”. Sebab perjumpaan dengan yang berbeda sering kali mengguncang keyakinan dan identitas kita. Maka pluralisme yang sejati justru mengharuskan keberanian untuk berproses—tidak selalu nyaman, tidak selalu sepakat, tetapi tetap setia menjaga ruang bersama. Kita tidak butuh keseragaman agar bisa hidup damai.

Kita hanya butuh satu komitmen: bahwa setiap manusia, dari latar belakang mana pun, berhak untuk hidup dalam martabat yang sama. Dan itulah semangat utama dari pluralisme Nusantara.

Di tengah tantangan zaman—ketika media sosial mudah menjadi sarang polarisasi, ketika agama dijadikan alat politik, dan ketika identitas kelompok lebih sering digunakan untuk memecah ketimbang menyatukan—kita perlu menghidupkan kembali narasi-narasi kebersamaan. Kita perlu menyuarakan kembali cerita-cerita tentang gotong royong lintas iman, pernikahan lintas budaya, atau komunitas-komunitas kecil yang bekerja sama membangun desa meski berbeda suku dan keyakinan.

Pluralisme bukan slogan. Ia adalah praktik hidup sehari-hari. Ia tidak butuh panggung besar.

Ia cukup hadir dalam tindakan kecil: menyapa tetangga yang berbeda agama, berdialog dengan tenang saat tidak sepakat, memberi ruang bagi orang lain untuk menjadi dirinya sendiri. Sebagai generasi pewaris bangsa, kita punya tugas penting: menjadikan pluralisme bukan hanya sebagai ide yang agung, tetapi sebagai laku hidup. Kita perlu menanamkan kesadaran ini dalam keluarga, dalam lembaga pendidikan, dalam kebijakan publik, dan dalam kehidupan bernegara. Sebab tanpa pluralisme yang sejati, demokrasi hanya akan jadi angka; hukum hanya akan jadi alat; dan bangsa hanya akan jadi slogan.

Kita mungkin tidak bisa menghindari perbedaan. Tapi kita selalu bisa memilih untuk membangun jembatan, bukan tembok. Kita selalu bisa memilih untuk menjadi bangsa yang besar, bukan karena jumlah penduduknya, tapi karena kebesaran jiwanya.

Sebagaimana Gus Dur pernah katakan, “Tidak penting apa agama dan sukumu… Kalau kamu bisa berbuat baik kepada semua orang, orang tidak akan tanya kamu dari golongan apa.” Dan itulah sejatinya ruh dari pluralisme Nusantara: menjadi manusia yang melihat kemanusiaan orang lain lebih dulu, sebelum embel-embel identitas lainnya.

Pluralisme Nusantara bukan proyek sekali jadi, tapi perjalanan panjang yang menuntut keberanian, kesabaran, dan kebijaksanaan. Di tengah dunia yang terus berubah dan sering tak pasti, falsafah hidup ini menawarkan kompas moral: untuk tetap menjadi manusia yang terbuka, adil, dan penuh welas asih.

Dalam perbedaan, kita tidak kehilangan arah—justru di sanalah kita menemukan wajah kemanusiaan yang paling utuh.