Kurang lebih satu minggu lalu, perayaan Natal ramai diselenggarakan di berbagai gereja. Bahkan, di dunia maya pun turut hujan kicauan. Dari yang pro perayaan Natal, hingga pengumpat dan penyebar hoaks. Well, kehidupan sudah tentu mengundang banyak perbedaan.
Sesaat setelah kicauan Natal surut, mulai bermunculan ustadz dan ustadzah baru di medsos. Berbagai macam dalil mengharamkan perayaan tahun baru masehi hingga ujaran “menganaktirikan” terompet dan kembang api menjadi trending topic. Tidak hanya itu, berbagai postingan dan meme merendahkan keyakinan agama lain pun turut bertebaran.
Namun, seperti penulis jelaskan di atas, tentu banyak pula warganet yang menyalahkan klaim tersebut. Pun dengan berbagai dalih yang tidak kalah kuat. Bermacam-macam tulisan, gambar hingga video ikut meramaikan. Salah satu alasan yang terkuat dari pembenaran beberapa kelompok warganet tentang perayaan Natal dan tahun baru bagi umat Islam adalah pluralisme agama.
Berbicara pluralisme agama, tentu tokoh yang paling terkenal di Indonesia adalah Gus Dur. Hanya saja, penulis juga mendapatkan penjelasan tentang pluralisme agama beberapa waktu lalu saat kegiatan belajar di kelas. Jadi, pluralisme agama adalah hidup berdampingan dan rukun dengan tetap menjaga dan mengamalkan perintah agama sesuai agama masing-masing. Konsep pluralisme agama demikian sudah sesuai untuk negara Indonesia yang plural.
Nahasnya, memang pluralisme agama atau toleransi beragama sudah mulai terkikis. Contohnya banyak ditampilkan di media massa, klaim kebenaran sepihak (truth claim) terhadap keyakinan beragama orang lain. Bahkan, kini tidak hanya klaim antar agama. Justru klaim kebenaran satu akidah menjadi problem terbesar.
Sayangnya, bukan itu titik pembahasannya. Penulis justru ingin mengejawantahkan pluralisme agama. Kalimat perdamaian semisal ‘toleransi’ dan ‘pluralisme’ agama tentu sudah familiar di telinga kita. Namun, terkadang masih banyak salah faham hingga muncul berbagai anggapan klaim kebenaran sepihak.
Islam mengajarkan pluralisme agama. Bagaimana tidak, bukankah ada sabda Kanjeng Nabi SAW, diriwayatkan dari Abi Hurairah yang berbunyi: “Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman” kemudian bertanyalah seorang sahabat: “siapa wahai Rasulullah?”. Kemudian beliau bersabda: “Orang yang tetangganya tidak merasa aman karena gangguannya”.
Intinya, cuplikan hadits di atas tidak mengatasnamakan agama. Maka, biarpun tetangga kita adalah Yahudi dan Nasrani, kita tetap berdosa jika mengganggunya. Ya, memang Islam mengajarkan pluralisme beragama. Namun, tidak berarti menyamakan Tuhan di masing-masing agama (relativisme) adalah dibenarkan. Itu jelas keliru.
Dalam konsensus internasional telah disepakati bahwa syarat agama adalah millah dan syariat. Di mana setiap agama mempunyai syariat masing-masing. Dan jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak bisa dinamakan sebagai agama. Seperti halnya, agnostik, atheis dan aliran kepercayaan yang lain.
Jadi, mengenai pluralisme agama titik terangnya adalah guyub-rukun, kasih-mengasihi dan bergama sesuai ajaran agama masing-masing. Ironisnya, banyak dari sudara Islam sendiri, tidak paham tentang hal ini. Mereka terlalu kukuh memegang sebuah ayat Innaddiina ‘Indallahil Islam. Ya, memang benar, meyakini agama kita (Islam) sebagai agama yang paling tepat secara iman adalah mutlak. Hanya saja, mengklaim agama kita paling benar di depan umum tidak tepat karena akan menimbulkan gesekan konflik.
Lain lagi dengan pernyataan bahwa Tuhan kita Esa, misalnya dalam Q.S. Al-Ikhlas: 1. Terdapat lafadz qul huwa allahu ahad. Yang berarti, mengabarkan Tuhan kita Esa di depan khalayak ramai adalah suatu hal yang dianjurkan, jika dilihat dari adanya lafadz qul di depan ayat. Mengapa bisa demikian? Singkatnya, dalam penafsiran al-Qur’an pernah dijelaskan bahwa cara mudah membedakan ayat yang harus disyiarkan atau tidak yakni dengan melihat ada atau tidaknya lafadz qul dalam sebuah ayat.
Nah, Q.S. Ali Imran: 19 tidak menyuruh umat Islam menyatakannya kepada khalayak ramai, bahwa agamanya lah yang paling benar. Nyatanya, di depan lafadz Innaddiina ‘Indallahil Islam tidak tertulis lafadz ‘qul’ sebagai penegasan, bukan?
Wallahu A’lam bishowwab.