Beberapa pakar dan pengamat Islam belakangan ini telah mempromosikan istilah post-Islamisme. Istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi sebuah fenomena baru di kalangan Islamis yang sering diidentifikasi sebagai kelompok-kelompok garis keras Islam. Kecenderungan baru ini tidak hanya terjadi dalam satu atau dua kelompok garis keras Islam di suatu negara, tetapi juga terjadi di hampir semua kalangan garis keras Islam di berbagai negara, meski dengan tingkat dan frekuensi yang berbeda-beda.
Karakter minimal yang dilekatkan pada post-Islamisme ini adalah munculnya kecenderungan global di kalangan garis keras untuk berpartisipasi dalam sistem politik nasional yang dahulunya dianggap sebagai sistem politik yang sama sekali tidak Islami. Bentuk partisipasi ini dapat saja berwujud peningkatan signifikan penggunaan hak suara dalam pemilu. Namun, sebagai gerakan dan kelompok, mereka yang dulunya bergerak sebagai oposisi tidak resmi atau hanya bergerak di belakang layar (underground), dewasa ini berpartisipasi langsung dengan beraliansi dengan partai politik resmi atau langsung membentuk partai politik resmi.
Post-Islamisme sebenarnya pertama kali digunakan dalam melihat perkembangan kontemporer Islam di Iran dengan segala konteks budaya dan sosial-politiknya. Secara umum, fenomena ini merupakan metamorfosis terbaru dari segala ide, pendekatan dan praktek Islamisme di Iran. Istilah ini kemudian digunakan beberapa pengamat dan akademisi Barat dalam meneliti perkembangan terakhir gerakan militan di dunia Islam lainnya. Sebagai istilah yang relatif baru, karenanya, makna post-Islamisme cukup bervariasi, bahkan cenderung membingungkan.
Menurut Gilles Kepel misalnya, istilah ini menandai perubahan di kalangan Islamis dengan meninggalkan doktrin-doktrin jihad dan Salaf. Sementera itu, Oliver Roy (“Le Post-Islamisme”, 1999) memaknainya sebagai bentuk ‘privatization of Islamization’ dengan menekankan bagaimana dan di mana Islamisasi diterapkan, terlepas dari content Islamisasi itu sendiri. Lain halnya dengan James Piscatori (“Islam and the Electoral Process”, 1999), ia melihat keinginan kelompok-kelompok militan atau negara-negara yang dicap Islamis, melaksanakan atau berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai bentuk keberhasilan implementasi liberalisme dan civil society, sehingga pada gilirannya mereka sedang bergerak ke arah post-Islamisme atau post-fundamentalisme. Tidak ingin terjebak dalam polemik terminologis, Asef Bayat (“The Coming of Post-Islamist Society”, 1996) tidak melihat post-Islamisme sebagai kategori yang analitik, yang mewakili masa tertentu dan akan berakhir pada masa tertentu pula, tetapi sangat empirik.
Bayat menegaskan bahwa post-Islamisme menunjukkan sebuah perubahan –meski berbeda-beda– dari ideologi Islamis yang universal, eksklusif, dan didominasi oleh kebenaran agama, ke arah pandangan yang menghargai ambiguitas, keterbukaan, pluralitas, serta kompromi.
Kategori post-Islamisme ini menarik karena ia –menurut Bayat– bukan anti Islam, bukan pula tidak Islami, tetapi sekaligus bukan sekuler. Ini menjadi menarik karena kategori yang selama ini disepakati menjadi kabur dengan munculnya kategori post-Islamisme. Selama ini misalnya, kalau anti Islam, ia pasti tidak Islami atau sekuler. Tetapi, sekali lagi, post-Islamisme ini tidak anti Islam, bukan tidak Islami, dan sekaligus tidak sekuler. Karena pengkaburan kategorik inilah, istilah post-Islamisme cukup controversial. Banyak yang menilai bahwa istilah ini masih belum matang, karena generalisasi yang terburu-buru.
Akan tetapi, benang merah yang dapat dipertemukan dari semua perbedaan ini adalah bahwa terdapat kesepakatan umum sementara bahwa kelompok-kelompok militan Islam sedang mengalami metamorfosis signifikan, khususnya dalam melaksanakan strateginya. Negara Islam, misalnya, tidak lagi menjadi icon utama bagi kelompok-kelompok garis keras. Pemilihan umum menjadi hal yang mutlak dalam sebuah sistem politik.
Bayat mencatat bahwa sejak berakhirnya Perang Iran-Irak (1988) dan setelah wafatnya Khomeini (1989), serta rekonstruksi pasca-perang di bawah pengawasan Rafsanjani, telah terjadi transformasi sosial dan intelektual yang luar biasa. Kampanye demokrasi, isu gender, hak-hak individu, toleransi, bahkan pemisahan agama dan politik menjadi wacana utama di Iran. Bayat bahkan mengamati bahwa terjadi fenomena religiusitas inklusif di kalangan ulama dan intelektual Iran dengan mempromosikan sekularisasi negara tanpa meninggalkan etika agama.
Seperti pandangan banyak pengamat, Revolusi Islam Iran juga mempengaruhi gerakan Islam di dunia Islam lainnya. Meski tidak sedikit pengamat yang menilai bahwa Revolusi Islam turut andil dalam menyuburkan militansi Islam di seluruh dunia, Bayat justru menilai bahwa berkat Revolusi Islam, berbagai gerakan Islam di dunia Arab dan Timur Tengah mengalami anomali ideologis ke arah post-Islamisme sebagaimana ideological shift yang dialami partai Islam al-Da‘wa pimpinan Rashed Ghannoushi di Tunisia, Hizbullah di Lebanon (meski mengalami perpecahan internal), partai al-Wasat di Mesir yang menjadi alternatif bagi kalangan Islam militan dan Ikhwân al-Muslimîn pada 1990-an, partai-partai Islam di Turki (Refah, Virtue, dan Justice and Development Party), atau bahkan fenomena “Islamo-Liberal di Saudi Arabia ada akhir 1990-an.
Menurut penulis, kerangka post-Islamisme inilah yang paling tepat digunakan dalam mengamati perkembangan dan fenomena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia. Meski tidak seradikal pengamatan Bayat di atas, PKS mampu mengawali dan mewakili post-Islamisme di Indonesia. PKS dianggap sebagai satu-satunya partai Islamis yang berdiri secara resmi dan berpartisipasi penuh dalam sistem politik nasional. Gerakan dan organisasi Islamis lainnya seperti Jundullah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Penyelamat Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), gagal, tidak ingin, atau memang tidak dapat berpartisipasi secara resmi dalam pentas dan sistem politik nasional. Sistem politik nasional malah dianggap sebagai sistem politik kafir, tidak Islami, bahkan bertentangan dengan Syariat Islam.
Isu negara Islam dan penerapan Syariat Islam selalu menjadi icon utama dalam gerakan dan propaganda mereka. Penggunaan kekerasan bahkan menjadi salah satu opsi dalam operasi mereka.
Agenda-agenda ini tidak lagi menjadi perhatian PKS dalam lima tahun terakhir ini, meski banyak kalangan tetap yakin bahwa isu negara Islam dan penerapan Syariat Islam akan tetap menjadi agenda abadi PKS. Paling tidak, dua agenda ini dijadikan agenda terselubung di balik semua kampanye PKS. Namun, perubahan eksternal dan strategis ini perlu diapresiasi, mengingat tidak semua organisasi atau partai sejenis mampu beradaptasi dan melakukan perubahan seperti ini.
Perubahan ini tidak hanya mendapat simpati pengamat, tetapi juga memenangkan sambutan besar rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih. Pada pemilu 1999 yang pertama kali diikuti, meski tidak memenuhi standar electoral threshold, PKS (ketika itu masih bernama Partai Keadilan/PK) berhasil meraih 1.36% suara dan menempatkan tujuh wakilnya di DPR. Hasil ini menempatkan PKS sebagai partai terbesar ketujuh di Indonesia di bawah PDI-P (33.76%), Golkar (22.46%), PKB (12.62%), PPP (10.72%), PAN (7.12%), dan PBB (1.94%), sebuah prestasi luar biasa bagi sebuah partai baru yang tidak memiliki sejarah besar di masa lalu.
Prestasi the rising star ini juga luar biasa mengingat PKS mampu mengungguli partai-partai lain yang punya sejarah besar di masa lalu seperti PSII (0.36%), Murba (0.06%), IPKI (0.31%), PPII Masyumi (0.43), Masyumi Baru (0.14), dan mengalahkan partai-partai baru yang dipimpin oleh tokoh yang sangat marketable seperti PUDI (0.62%) pimpinan Sri Bintang Pamungkas, PUI (0.25%) pimpinan Deliar Noer dan Harun Al-Rasyid, PDR (0.40%) pimpinan Adi Sasono, dan PRD pimpinan Budiman Sudjatmiko (0.07%).
Prestasi PKS semakin unggul pada pemilu berikutnya di 2004 di mana PKS berhasil secara signifikan naik menjadi partai terbesar ke-enam secara nasional, berhasil meraih 50 kursi di DPR, dan akhirnya memisahkan diri dari Fraksi reformasi dan membentuk sendiri Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS). Dalam pemilu 2004, PKS juga berhasil menjadi partai nomor satu di Jakarta dan nyaris di semua pemilu luar negeri.
Fenomena post-Islamisme PKS ini memang sangat mengundang perhatian pengamat, meski dengan kekhawatiran dalam tingkat tertentu. PKS yang pertama kali berdiri dipimpin oleh Nurmahmudi Ismail masih menyimpan kekhawatiran, mengingat identifikasi yang ketat dengan kelompok Islamis. Jaringan internasionalnya yang kuat dengan Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia, semakin menambah kekhawatiran identifikasi itu. Mungkin karena itu, seorang anggota MPR menuntut janji Hidayat Nur Wahid, Presiden PKS yang terpilih menjadi Ketua MPR pada 2004, untuk tidak mengungkit lagi masalah Piagam Jakarta.
Sayangnya, tren post-Islamisme yang menjadi fenomena di kalangan gerakan Islamisme di seluruh dunia ini, nyaris tidak terjadi pada organisasi dan gerakan Islam kanan lainnya di Indonesia dewasa ini, kecuali PKS. Meski sudah ada komitmen untuk tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan, agenda-agenda Islamis masih menjadi target utama gerakan mereka. Mereka masih absen dalam pentas sistem politik nasional karena menganggapnya sebagai sistem non-Islami. Mereka bahkan masih mengkampanyekan sistem khalifah sebagai opsi terbaik dalam menyelesaikan segala persoalan bangsa yang sangat akut. Semoga, dengan fenomena post-Islamisme ini, aksi-aksi kekerasan di nusantara, dapat diminimalisir.[]
*Tulisan ini pernah dimuat di Republika 2 November 2007 lalu dan diterbitkan lagi atas persetujuan penulisnya.