“Pitu” Sebagai Mahar Pengantin

“Pitu” Sebagai Mahar Pengantin

“Pitu” Sebagai Mahar Pengantin

Hari-hari yang sudah terlewati, ada sebagian pengguna media sosial (FB, Twitter, IG dan WA) membagi nasehat tentang betapa pentingnya jumlah banyaknya mahar sang pegantin laki-laki kepada si pengantin perempuan.
Nasehat ini muncul dari K.H. Maimun Zubair; “Nak, kamu kalo nikah usahakan mahar istrimu yang banyak walaupun calon istrimu cuman minta mahar seperangkat sholat, jika nggak punya uang kalo bisa ya nyari-nyari dulu, karena uang mahar itu berkah jika dipakai usaha, jadi nanti setelah nikah kamu minta izin istri jika uang itu dipakai modal usahamu. Insyaalloh nanti usaha kamu berkah” (Mudzakir Aq-m).
Dawuh K.H. Maimun Zubair bagi penulis sangat tepat bagi laki-laki yang belum menikah, nasehat ini bertujuan jangka panjang karena mahar (mas kawain)-nya nanti untuk dijadikan modal usaha demi kepentingan masa depan pasangan suami-istri. Selain itu juga nasehat ini bertujuan agar laki-laki semangat dalam bekerja, agar maharnya banyak dan semangat bekerja setelah menikah untuk menafkahi istrinya.

Ini hanya penafsiran yang bisa penulis lihat dari nesahat tersebut, dan penafsiran selebihnya penulis berikan kepada pembaca nasehat beliau. Penafsiran penulis ini bisa jadi jauh mendekati maksud dan tujuan beliau bernasehat seperti itu. Karena penulis tidak mendengarkan langsung dari yang memberi nasehat dan yang dinasehati. Nasehat ini penulis dapatkan dari media sosial, dari sekian banyaknya pengguna media sosial yang membagikannya.

Tetapi, rasanya di setiap daerah memiliki konsep yang berbeda akan fungsi mahar tersebut. Ada yang disakralkan maharnya dijaga, ada pula yang memang dijadikan modal usaha seperti yang didauhkan oleh K.H. Maimun Zubair. Meskipun konsep yang berebeda itu tergantung kepada kesepakatan kedua pasangan suami istri, mau diapakan mahar tersebut nantinya.

Sebenarnya tulisan sederhana ini bukan dalam rangka membahas jumlah banyak atau tidaknya mahar tersebut, atau mau diapakan mahar tersebut dan berebentuk apa mahar tersebut. Dari nasehat tersebut, bagi penulis tergantung kepada kondisi sosial, budaya, dan ekonomi. Karena di setiap daerah mempunyai konsep yang berbeda akan mahar seperti yang penulis terangkan diatas. Meskipun kenyatannya agama Islam mewajibkan mahar tersebut, namun bukan kepada jumlah akan tetapi wajibnya kepada adanya mahar walau hanya sebatas bacaan surah al-Qur’an.

Selebihnya tulisan sederhana ini akan menceritakan tentang alasan mengapa pengantin laki-laki memutuskan Emas seberat tujuh gram sebagai mahar pernikahannya pada jum’at (22,04,16) kemaren di kantor Urusan Agama Saptosari Gunung Kidul Yogyakarta.

Cerita ini berawal di waktu mengahadiri undangan resepsi pernikahan teman laki-laki penulis di Gunung Kidul kemaren (23,04,16). Penulis berbincang dengan teman penulis sekaligus pengantin laki-laki di waktu setelah makan bersama.

Mas, sapaanku kepada si penganten.
Pengantin: Dalem Mas, dengan bahasa yang nyaman didengar.
Penulis: Berapa kali membaca bacaan nikah sampai bisa dikatakan sah sama penghulu Mas?
Pengantin: Satu kali Mas, Alhamdulillah langsung sah.
Penulis: Alahdulillah. Bagaima dengan maharnya mas?
Pengantin: Saya memutuskan memberi mahar Emas seberat tujuh gram, untuk istri saya.

Itulah sekilas percakapan penulis dengan si pengantin laki-laki siang itu. Dia menjelaskan panjang lebar mengapa dia memilih Emas dengan berat tujuh gram sebagai mahar pernikahannya. Ketika dia menjelaskan panjang lebar mengenai pilihan tersebut, dia mengatakan sebenarnya yang dia pilih bukan masalah banyak atau tidaknya, tapi dia memilih angka tujuh yang dalam bahasa jawanya adalah pitu. Bagi dia dan keluarganya bahasa jawa pitu jika diteruskan akan menjadi pitulung (bantuan) Allah.

Si pengantin laki-laki beserta keluarganya memutuskan memakai Emas seberat tujuh gram sebagai mahar, melalui perenungan kehidupan jawa dan Islam yang sangat mendalam. Mereka tidak sembarangan dalam memutuskan mahar pernikahan ini. Bagi penulis pilihan ini mempunyai filosofi Jawa dan Islam.

Mengapa demikian? Filosofi jawa ini, coba kita lihat dari penggunaan kata pitu apakah ada dalam bahasa Arab yang menurut mainstream bahasa Surga dan bahasa yang paling Islam? Saya kira hanya jawa yang memiliki bahasa pitu. Dari bahasa pitu inilah sipengatin dan keluarga pengantin mempunyai harapan pitulung (bantuan) yang besar kepada Allah untuk masa depan pengantin dan keluarga pengantin.

Hubungannya dengan Islam? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan ritual memnita bantuan dan sifat berpasrah diri kepada Allah dari semua yang oleh pengatin beserta keluarganya inginkan.

Dari kejadian ini menulis merasakan betapa setiap penggunaan kata dalam bahasa jawa mengandung arti kehidupan dan harapan kepada Tuhannya seperti kata pitu. Mungkin sebab itulah Sujiwo Tejo mengatakan bahwa cuancuk sebagai kata keakraban dan penghormatan. Meskipun menurut sebagian orang kata ini kata yang kasar, apalagi kata ini diucapkan dengan nada yang kasar.

Akhir kata dari penulis, Islam itu tidak harus semuanya bahasa Arab, karena setiap bahasa mempunyai arti sesuai orang yang menggunakannya. Juga, Islam itu tidak harus budaya Arab, Islam itu bisa budaya jawa, Madura, Bugis, dan budaya lainnya selagi budaya tersebut mengandung kebaikan bagi sesama manusianya.

Moh. Affan, Jurusan Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga (24,04,16. 00:25)