Pilpres, Quick Count dan Narasi Islam yang Menyesatkan

Pilpres, Quick Count dan Narasi Islam yang Menyesatkan

Bagaimana jernih perdebatan hasil Quick Count dalam narasi Islam yang dibangun?

Pilpres, Quick Count dan Narasi Islam yang Menyesatkan

Perdebatan alot terjadi selepas coblosan 17 April dan semakin riuh setelah data Quick Count selesai serta televisi merilis hasilnya. Kedua kontestan memang menganjurkan pendukungnya menahan diri dan menunggu hasil dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan diumumkan 35 hari ke depan. Tapi, faktanya kemudian, pendukung tetaplah manusia yang lapar pada hasil kemenangan, maka hasil Quick Count yang tidak menguntungkan pihaknya dianggap manipulatif.

Tagar #matikantelevisi menggema di media sosial saat hari sudah semakin gelap, karena penolakan dari kubu pendukung capres 02 (Prabowo-Sandi) atas hasil quick count yang muncul di hampir seluruh stasiun televisi yang menayangkan program khusus Pemilu 2019 ini. Namun, yang menarik dari penolakan tersebut adalah sikap dari kubu 02 tersebut beberapa kali memunculkan narasi Islam. Tercatat ada tiga kali narasi Islam digunakan dalam sikap politik mereka sepanjang malam kemarin hingga tengah malam.

Pertama, saat UBN (Ustadz Bachtiar Nasir) muncul di tengah pendukung 02 dan para wartawan dengan membagikan doa yang dibaca oleh Nabi Daud bersama Thalut saat melawan Jalut. Kedua, saat Neno Warisman atau lebih akrab dipanggil “Bunda Neno” yang bertakbir bersama para pendukung 02 di dalam rumah sang Capres di Kertanegara 4.

Ketiga, malam kemarin ditutup dengan sujud syukur yang dilakukan oleh Prabowo bersama beberapa tokoh penting dalam koalisi Adil Makmur. Seluruh kegiatan di atas memang bisa diperdebatkan apakah dimasukkan sebagai manifestasi dari Islam politik, yang memang diusung oleh tokoh penting di koalisi yang mengusung Prabowo-Sandi melawan Jokowi-Amin tersebut, seperti Neno Warisman, Ustadz Bachtiar Nasir, hingga Yusuf Martak sebagai salah satu pemimpin PA 212.

Narasi Islam politik terus digunakan dalam kancah politik yang sedang mencapai puncak ini memang oleh kedua kubu Capres baik pendukung atau tokoh yang aktif di dalam tim pemenangan di masing-masing kubu. Namun, yang menarik dari tiga kejadian di atas adalah kesamaan narasi yang dibangun adalah populisme Islam. Semua pidato atau kata-kata yang keluar tiga tokoh tersebut sama menjelaskan ada “rezim” atau elit yang dimusuhi atau lawan baik secara ideologi dan politis sehingga menuntut umat islam untuk “bersatu” di bawah aliansi dalam panji-panji Islam.

Populisme memang menjadi narasi utama dalam seluruh proses Pilpres hingga kemarin, termasuk juga anjuran untuk melaksanakan salat subuh bersama di masjid-masjid dan mencoblos massif setelahnya. Entah apakah aksi tersebut terlaksana atau tidak dan keberhasilan aksi itu juga perlu dipertanyakan kemampuan mendongkrak suara kubu 02, tapi yang jelas Islam masih jadi primadona hingga saat akhir dan pasca pemungutan suara.

Jika populisme dinihilkan dalam kedua kubu mustahil bisa meraup suara dan memiliki pendukung garis keras seperti sekarang. Maka di tiga kejadian di atas, terlepas benar atau tidak klaim yang mereka usung, aksi tersebut berfungsi untuk menjaga emosi pendukung yang masih bisa diperas sampai benar-benar habis untuk kepentingan oligarki politik yang masih bercokol di arena politik Indonesia hingga sekarang.

Gerakan populis mulai menjamur sejak beberapa tahun lalu, puncaknya di Pilkada DKI Jakarta kemarin, jelas sulit dihentikan dan menelisik bagaimana daya rusak yang akibatkannya. Rusak hubungan dari pertemanan hingga keluarga hanya “luka” kecil dari dampak populisme dipakai dengan serampangan. Tapi yang paling sulit disembuhkan adalah Islam politik yang kehilangan arah untuk menjadi alat perjuangan melawan penindasan bagi kemanusiaan.

Islam, sejak kehadiran di tangan Nabi Muhammad, telah menjadi pembebas bagi seluruh umat manusia yang mengalami penindasan, tanpa membedakan warna kulit, ras, bangsa apalagi agama. Konsep Rahmatan lil Alamin merujuk kehadiran Islam di tengah masyarakat sebagai pembebas dari segala jenis penindasan yang dilakukan siapapun.

Tidak ada narasi politik praktis yang jumud seperti di atas bagi umat Islam yang ingin memperjuangkan nilai-nilai humanisme di masa sekarang, contoh yang sahih ditunjukkan oleh Abu Dzar al-Ghiffari yang menegur beberapa sahabat yang melaksanakan ritual mengkaji Islam tapi tidak membangkitkan rasa perlawanan pada perilaku korup para pejabat pemerintahan yang hobi menumpuk kekayaan.

Nasib Islam politik di Indonesia mendapatkan angin segar kala para santri progresif mengumumkan sikap politik yang menuntut untuk kemunculan politik alternatif yang berorientasi pada keberpihakan terhadap kaum mustadhafin atau rakyat tertindas. Selain mengungkapkan sikap tidak menggunakan hak politik mereka, para santri tersebut mendedahkan sikap mereka dengan menyeru untuk berpihak pada rakyat yang terpinggirkan dan ditindas oleh sistem politik-ekonomi sekarang ini dan menolak segala bentuk politisasi Islam dan identitas santri untuk kepentingan oligarki, untuk mewujudkannya mereka juga menyerukan mengembalikan kekuatan politik alternatif yang melawan segala bentuk kekuasaan oligarki dan berpihak pada pihak tertindas.

Pilihan Presiden sudah diberikan di 5 menit kemarin di bilik suara oleh semua pihak yang memberikan suaranya, tapi yang perlu disadari adalah pekerjaan rumah dari Pileg dan Pilpres adalah kita semua bertanggung jawab untuk menjaga negeri ini dari gangguan para oligarki dan komprador politik yang melihat Islam hanya sebagai alat memeras emosi umat sebagai investasi mereka sendiri.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin